Mendengar nama Ali Syariati, rasanya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ali Syariati adalah seorang pemikir asal Iran yang berkontribusi besar dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Pasalnya di tengah pusaran budaya yang penuh kezaliman dan penindasan, kebodohan dan apatisme, atau lebih tepatnya masa ketika kebenaran telah mengalami pemasungan dan pelacur intelektual bermunculan demi jabatan dan kedudukan, Ali Syariati datang sebagai Rausyan Fikr, cendikiawan yang progresif meneriakan kebenaran. Maka tak heran, siapapun yang menempuh jalan itu, akan mati dalam usia muda dan masa-masa produktif.
Syariati meninggal di usia 44 tahun. Ditemukan sudah tidak bernyawa di kamar apartemennya di Inggris. Menurut buku biografi Ali Syari’ati karangan Ali Rahnema, Syarati meninggal sebab serangan jantung. Namun, banyak orang menduga dia kemungkinan dibunuh oleh dinas rahasia Iran. Karena rezim Shah Reza Pahlevi sedang berkuasa dan menganggap gagasan Ali Syariati membahayakan pemerintahan.
Meski nafasnya berhenti, Ali Syariarti telah memperpanjang usia dengan menuliskan gagasan yang sampai saat ini masih relevan, terutama mengenai seputar problematika sosial dan agama. Salah satu gagasan sebagai refleksi dewasa ini ialah bagaimana Ali Syariati bicara sosok Fatimah dan isu perempuan.
Krisis Moral Pasca Perang Dunia II
Sesudah perang dunia kedua, masalah perempuan dipandang sebagai masalah utama dan sensitif di dunia Barat. Perang itu sendiri penyebab utama keretakan dan kehancuran keluarga. Sebagai studi kasus, kita menyaksikan bagaimana sejarah kekalahan Jerman atas Uni Soviet menjadi catatan kelam terhadap perempuan.
Di masa itu, banyak ibu mengorbankan gadis mereka untuk mencari selamat. Bahkan ada banyak tentara Soviet yang menginap dan mendekati gadis-gadis di dalam rumah. Petakanya, biarawati, perempuan tua, ibu hamil, dan ibu yang baru melahirkan, semua diperkosa tanpa belas kasihan.
Munculnya Wacana Kebebasan Seksual
Catatan hitam ini berdampak pada kemerosotan nilai-nilai agama dan ajaran kerohanian yang berkenaan dengan etika, moral, dan sosial terganggu kacau. Maka, seruan-seruan perjuangan mengenai hak-hak wanita, nilai-nilai spiritual, dan kemanusiaan banyak dikumandangan.
Kemudian, secara mendadak munculah masalah kebebasan seksual. Wanita menyadari bahwa dengan slogan kebebasan seksual, maka segala batas-batas, restriksi-restriksi, dan segala ikatan-ikatan anti-kemanusiaan yang menentang mereka, haruslah dihancurkan. Sehingga, mereka menyambutnya dengan hebat. Sampai masalah seksual dimasukkan dalam wilayah ilmu pengetahuan.
Namun di samping itu, Ali Syariati jutru berpandangan hal demikian seharusnya tidak hanya berhenti pada kebebasan seksual semata. Lebih luasnya, mengharapkan adanya perempuan yang memperjuangkan kebebasan politik, ekonomi, budaya dan sosial.
Fatimah az-Zahra: Sosok Perempuan yang Ideal
Melihat ini, Ali Syariati berpandangan bahwa sosok perempuan ideal adalah seperti Fatimah Az-Zahra putri Rasulullah Saw. Dia meyakini Islam itu hidup. Maksudnya adalah, Islam hidup karena ia merupakan koleksi-koleksi pemikiran dan ide yang hidup. Ia hidup karena hak-hak dan hukum-hukum sosialnya hidup. Ia hidup karena pribadi-pribadi simbolik yang hidup telah dibina.
Fatimah sebagai simbolik perempuan. Mengapa demikian ? Budaya Arab jahiliah selalu memandang perempuan hina, bahkan sampai dikubur hidup-hidup. Sebagai refleksi, Allah telah mewafatkan semua anak Nabi Muhammad berjenis kelamin laki-laki dan menyisakan Fatimah seorang perempuan sebagai penerus estafet perjuangan. Fatimah merupakan simbol pembebasan dan pendobrak tradisi sejarah jahiliyah.
Beginilah Islam mengajarkan kedudukan wanita. Bahkan dalam suatu riwayat mengatakan bahwa Nabi ketika berpegian senang pamit dan menanyakan kabar kepada putrinya. Nabi juga kadang kerap mencium tangan Fatimah. Perilaku demikian pada semasa itu merupakan pukulan revolusi bagi kalangan keluarga jahiliyah. ‘’Nabi Muhammad mencium tangan Fatimah’’ hubungan seperti itu membuka mata orang-orang penting, kaum politisi, dan warga di sekitar nabi dengan rasa takjub akan kebesaran Fatimah.
Fatimah menikah dengan laki-laki yang dibesarkan pendidikan dan pimpinan Muhammad Saw sendiri. Walaupun begitu, Fatimah sadar, Ali tidak mempunyai sesuatu kekayaan materiil. Ali tidak memiliki apa-apa kecuali sebilah pedang dan cinta. Dia juga bukanlah lelaki rumahan, melainkan ia orang pertempuran. Meski begitu, menurut Ali Syariati, keluarga Fatimah telah melahirkan anak-anak yang hebat. Hasan sebagai model kesabaran dan perdamaian. Husen model jihad dan syahid, Zainab perlambang misi sosial yang berat tentang kebenaran dan keadilan.
Wajah Fatimah, wajah yang hidup. Dia memainkan segala dimensi kehidupan. Menjadi ibu rumah tangga, mendidik anak-anak, dan terlibat aktif perjuangan sosial. Maka sudah seharusnya kisah ini tetap diceritakan dalam segala dimensi kepada generasi kini.