Falsafah

Teori Keadilan Sekuler Belum Menjawab Problem Kemiskinan

4 Mins read

Wajah kaum dhuafa dan mustadh`afin di negara Indonesia makin kusut. Seolah kehilangan harapan dan tidak memiliki kesempatan untuk menentang ketidakadilan sekaligus melakukan perubahan. Kesengsaraan dan deprivasi sistemik semakin  terasa setidaknya dalam beberapa hal berikut ini.

Pertama, orang-orang miskin dibuat mati menyedihkan karena kelaparan dan gizi buruk justru terjadi “di lumbung pangan” sendiri. Tidak ada jaminan dari negara atas pemenuhan kebutuhan hidup minimum bagi orang miskin. Mereka yang hidup di bawah garis subsistens “harus” terus sehat. Jangan sakit, karena obat mahal, jasa dokter juga tinggi. Kartu jaminan kesehatan bagi kaum miskin belum menjadi jaminan atas pelayanan medis yang memadai.

Kedua, situasi deprivasi orang-orang miskin bukan semata pada urusan perut dan kesehatan. Untuk jadi orang melek huruf sekalipun, si miskin sulit setengah hidup. Kasus-kasus siswa-siswi gantung  dan bunuh diri karena malu menunggak SPP. Negara seolah lari dari tanggung jawab “mencerdaskan kehidupan bangsa” sebagai bagian dari tujuan luhur. Mudah dijumpai orang miskin tidak sanggup menyekolahkan anak-anaknya secara layak. Angka putus sekolah masih terus terjadi.

Ketiga, orang-orang miskin dibuat nelangsa oleh keadaan dan struktur karena mereka tidak punya pekerjaan, kehilangan pekerjaan, atau menjadi setengah pengangguran. Padahal pekerjaan merupakan sarana untuk meningkatkan kesejahteraan hidup setiap warga. Kewajiban negara menyediakan kesempatan yang sama bagi setiap orang dan membuka lapangan kerja bagi yang membutuhkan. Sementara jumlah penduduk usia produktif terus bertambah.

Kelemahan Formula Keadilan Sekuler

Formula-formula keadilan sosial sudah banyak ditawarkan oleh beragam prinsip-prinsip keadilan sekuler seperti: Nilesen’s radical egalitarianism (1979), Carens’s difference principle (1981), Rawls’s theory of justice  (1971), Dworkin’s resource-based approaches (1981), Goodin’s welfare-based approaches (1995) dan Rescher’s (1966), Elster and Roemer’s desert-based approaches  (1991), Nozick’s libertarianism (1974),  dan Sen’s comparative justice (2009).

Namun prinsip-prinsip keadilan di atas untuk sebagian belum dapat menjawab problem kemiskinan dan ketidakadilan sosial dan sebagian lainnya memiliki keterbatasan-keterbatasan baik secara teoretik maupun praksis, lebih-lebih bila diterapkan untuk konteks negara-negara Muslim.

Baca Juga  Manusia dan Ego: Gagasan Muhammad Iqbal

Inilah kenyataan keadilan sosial yang masih senjang dari tujuan-tujuan syariah Islam (maqasid al-shari`ah). Tentu saja ini mendorong kita untuk mengkaji kembali bagaimana prinsip-prinsip keadilan sosial dapat diterjemahkan ke dalam formula yang lebih layak dan manusiawi.

Keadilan Sosial dalam Maqasid al-Syariah

Maqasid al-shari`ah pada dasarnya adalah untuk mencapai kemaslahatan yang terkumpul dalam al-kulliyat al-khams atau al-dharuriyyat al-khams (memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta/properti). Al-Ghazali (1970, pp.286-287) mendefinisikan mashlahah sebagai “mengambil manfaat dan menolak mudarat” dalam rangka merawat tujuan-tujuan syariah. Al-Shatibi (n.d., 2, pp. 30) memandang maqasid al-shari`ah sebagai kelanjutan dari teori maslahah. Maqasid al-shari`ah mengandaikan bahwa kemaslahatan  harus merujuk pada nilai-nilai kebaikan yang diringkas dalam lima prinsip di atas.

Prinsip kerja mashlahah dapat dioperasikan untuk mencegah terjadinya kerusakan lingkungan yang dimanifestasikan dalam penjagaan atas lima prinsip di atas. Melalui perspektif ekologis, lima prinsip ini menjadi bagian dari komponen-komponen lingkungan yang niscaya keberadaannya.

Qardhawi dan Sway adalah sarjana pioneer yang mengemukakan perlunya prinsip ini dimasukkan ke dalam maqasid al-shari`ah. Qardhawi (2001) menyatakan bahwa merusak lingkungan sama dengan menodai kesucian agama, dan tujuan-tujuan syariah lainnya.

Sementara Sway (n.d.) menggunakan konsep maslahah sebagai rujukan mengembangkan prinsip memproteksi lingkungan dan bahkan ia mengatakan bahwa “memelihara lingkungan” sebagai tujuan tertinggi syariah. Jadi, Sway adalah sarjana pertama yang secara eksplisit dan tegas mengemukakan posisi utama “hifz al-bi’ah” sebagai maqasid al-shari`ah tertinggi.

Dengan memperkuat argumen hifz al-bi’ah sebagaimana di atas, maka  saya menyepakati pendapat Sway agar prinsip ini menjadi bagian tak terpisahkan dari maqasid al-shari`ah. Oleh karena itu, penulis dapat menyebutnya sebagai al-kulliyyat al-sittah atau al-dharuriyyat al-sittah (menjaga lingkungan, agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta/properti). 

Baca Juga  Kedaulatan Negara: Dari Kekuasan Mutlak Hingga Chauvinisme

Enam Kriteria Keadilan Sosial

Enam prinsip rasional bertujuan yang utama di atas kemudian akan digunakan untuk memaknai kriteria keadilan sosial dalam rangka pengurangan kemiskinan.  Pemenuhan atas enam prinsip tersebut secara layak dipandang sebagai upaya mewujudkan tujuan-tujuan syariah dalam kehidupan.

Mendefinisikan keadilan sosial sangat penting dalam rangka memahami kemiskinan, karena ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi enam kebutuhan utama sebagaimana dalam al-kuliyyat al-sittah merupakan pertimbangan mendasar untuk menilai apakah ia termasuk miskin atau tidak. Semua kebutuhan ini merupakan dasar bagi kehidupan individu dan sosial yang baik.

Enam kebutuhan mendasar seperti disebut di muka adalah sesuatu yang niscaya untuk dipenuhi, satu dengan lainnya saling bergantung, dan jika satu kebutuhan tidak terpenuhi maka seseorang masih dikatakan miskin.

Pendekatan Baru Memahami Kemiskinan

Memang tidak ada satu pun cara yang paling tepat untuk mendefinisikan kemiskinan. Namun demikian, perspektif Islam berada dalam suatu konsensus luas tentang kemiskinan sebagai masalah multidimensional, yang bersandar pada kebutuhan-kebutuhan manusia yang mencakup enam hal di atas dan tidak dapat direduksi sedemikian rupa ke dalam masalah pendapatan dan keuangan semata. 

Sejauh kita memerhatikan ukuran-ukuran yang sifatnya operasional, empat macam kebutuhan terakhir menurut sudut pandang Islam serupa dengan indikator-indikator dalam Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia (Human Development Index) yang menekankan pada pentingnya pendapatan, pendidikan, dan kesehatan. Faktor kebutuhan agama dan kebutuhan kelestarian lingkungan belum diakomodasi dalam indeks tersebut. Di sinilah kiranya letak kelebihan dari perspektif Islam dalam memandang kebutuhan dan kemiskinan secara komprehensif.

Konsep kemiskinan yang ada di dunia saat ini menjelaskan tentang sejumlah penduduk dunia yang hidup dengan konsumsi keseharian per kepala dalam sebuah rumah tangga dengan ekuivalensi sekitar 1.08 dolar (sejak tahun 1993). Alternatif ukuran lain yang biasa digunakan adalah 1 dolar per hari sebagai garis kemiskinan.

Baca Juga  Immanuel Kant: Cara Menciptakan Perdamaian Hidup

Di beberapa negara seperti Amerika dan India misalnya, menetapkan garis kemiskinan  dengan merujuk kepada kebutuhan nutrisi untuk menjaga kesehatan. Ada juga yang mempergunakan pendekatan makanan pemasok energi  (food energy intake) dengan menghitung total pendapatan atau belanja yang setara dengan kebutuhan nutrisi individu. Pendekatan ini digunakan oleh Pakistan untuk memprediksi garis kemiskinan yang didasarkan pada kebutuhan kalori sebanyak 2550 bagi orang dewasa per hari, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.

Pendekatan lain adalah biaya kebutuhan dasar. Garis kemiskinan adalah jumlah total biaya makanan dan non-makanan dalam keranjang konsumsi dasar dan karenanya berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi garis kemiskinan harus memasukkan total pembiayaan atau belanja item-item makanan dan non-makanan.

Cara Baru Mengatasi Kemiskinan

Cara-cara untuk mengukur kemiskinan sebagaimana dijelaskan di muka, dipandang sangat objektif, terukur, dan dapat dibandingkan. Sementara kita tahu bahwa kemiskinan jauh lebih luas dari sekadar pendapatan dan keuangan. Ia berhubungan dengan ketidakcukupan dalam hal kesehatan, nutrisi, intelektual, relasi sosial, ketidakamanan, harga diri rendah, dan ketidakberdayaan.

Oleh karena itu, masalahnya adalah bahwa hubungan antara kemiskinan pendapatan dan deprivasi dalam hal kemampuan dasar masih belum jelas dan dalam banyak hal belum diterangkan dengan memadai. Dengan kata lain, meskipun pendapatan jelas merupakan suatu indikator kesejahteraan, namun ia jauh dari ukuran yang mendekati sempurna dalam melihat dan memihak kemiskinan.

Karena itu, kita membutuhkan suatu informasi dan cara baru untuk memahami kemiskinan. Pendekatan Islam berbasis enam kebutuhan dasar (al-kulliyyat al-sittah) beserta indikator-indikator operasionalnya dapat membantu memudahkan gambaran tentang aspek-aspek penting dalam kehidupan ini.

Editor: Yahya FR
9 posts

About author
Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Editor in Chief Indonesian Journal of Islam and Muslim Societies (IJIMS). Dosen Program Doktor Universitas Muhammadiyah Surakarta. Dewan Syariah LazisMu Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds