Falsafah

Agama Itu Hanya Satu Saja!

5 Mins read

Tulisan saudara Fajar Siddiq berjudul “Islam Bukan Satu-Satunya Agama yang Allah Sediakan untuk Kita” cukup membuat saya tergelitik. Tanpa bermaksud mendebat gagasan dalam tulisan itu, saya ingin menyampaikan versi saya sendiri tentang agama hanya satu, yang mungkin dapat memperkaya perspektif kita bersama.

Meskipun, jujur, kening saya berkerut karena menangkap kesan Tuhan bermain ‘jebakan Batman‘. Menyediakan banyak agama dan hanya mengakui satu yang benar. Dipertegas pula dengan analogi Fajar Siddiq tentang “pilihan ganda”. Dimana hal ini mengesankan bahwa dalam beragama itu tersedia banyak opsi dan hanya satu jawaban yang benar.

Saya cenderung berpikir, memilih agama bukan seperti menjawab soal pilihan ganda, tapi lebih semacam menjawab soal esai. Sehingga berlaku istilah “banyak cara menjawab yang dibolehkan, namun hanya ada satu konsep kunci yang paling cemerlang.” Dan yang paling penting untuk dituntut bukan “apa jawabanmu” tapi “bagaimana jawabanmu”.

Agama dan ‘Para Pendaki’

Manusia beragama adalah diibaratkan para pendaki yang menuju puncak. Berpulang menuju Allah, Sang Sumber yang dariNya ruh manusia berasal. Entah kapan dimulainya, namun Allah terus menerus mengirimkan para nabi sebagai pemandu bagi para pendaki.

Dikabarkan dalam hadis bahwa jumlah nabi ada ratusan ribu. Setiap umat pun ada nabinya. Sebagian diceritakan dalam kitab-kitab, sebagian lagi tidak terceritakan sehingga lenyap bersama tradisi lisan umatnya.

Para pemandu dan para pendaki bergerak ke puncak gunung yang sama. Puncaknya hanya satu, namun jalan menuju puncak ada di semua sisi. Masing-masing pemandu membawa rombongan pendaki yang jumlahnya berbeda-beda. Masing-masing pemandu juga mendapat petunjuk Ilahi, baik yang disimpan dalam tradisi lisan maupun yang kemudian tertuliskan.

Panduan tersebut berisi peta jalan menuju puncak dan aturan-aturan bagi para pendaki agar mereka tidak terjerembab ke jurang, dicekam hawa dingin, atau diterkam binatang buas. Sehingga nantinya mereka dapat mencapai puncak dengan selamat.

Meski aturan yang diterapkan tiap pemandu dapat bervariasi, tergantung medan yang dilaluinya dan tergantung pula karakter rombongan pendaki yang dipimpinnya. Namun tujuan mereka tetap sama, bahkan tujuan akhirnya juga ke puncak yang sama.

Baca Juga  Suara Adzan Disorot Media Asing, Berikut Aturan Adzan dari Kemenag

Sampai di sini, saya hanya mengajak memahami pluralitas jalan menuju Tuhan. Dan saya berjanji tidak mengajak pembaca mengimani pluralisme, tidak akan dan tidak perlu sejauh itu.

Islam Itu Satu

Setiap pemandu memimpin rombongan pendaki dengan latar belakang budaya tertentu dan zaman tertentu pula. Apakah para pemandu itu pasti menunjuk puncak dengan nama yang sama?

Salah satu pemandu menyebut bagian paling tinggi dari gunung sebagai puncak. Pemandu lain bisa saja menamainya pucuk, ujung, pol, pencit, top of the top dan mungkin nama-nama lainnya. Begitu pulalah Sang Maha Tinggi dinamai lewat bahasa para nabi. Dan akan muncul banyak nama meski realitanya hanya satu.

Namun perhatikan, esensi ajaran mereka sama: jangan membunuh, jangan mencuri, jangan berzina, jangan bersaksi palsu, hormati orang tua, sayangi anak yatim, bantu yang miskin, berlakulah yang adil, dan seterusnya. Itu konsep tunggal. Saya katakan tunggal karena memang ada dan identik di semua agama.

Jika sedikit meminjam istilah dari Frithjof Schuon, persamaan itulah yang disebut dimensi esoteris dan menjadi titik temu agama-agama. Tuhan yang satu dengan banyak nama bolehlah saya sebut esoteris-teologis. Sedangkan ajaran yang identik pada banyak agama saya sebut saja esoteris-etis.

Saya hanya ingin mengatakan, bahwa dalam banyak agama, etika yang dibangun hanya bermuara pada satu puncak, yaitu “kepasrahan” pada Tuhan dengan segala petunjukNya demi “keselamatan” hidup di dunia dan alam selanjutnya. Dan dari dua kata bertanda kutip itulah nama Islam diambil.

Maka, agama hanya satu, Islam itu hanya satu saja. Islam yang satu itu adalah “agama” semua pemandu yang memimpin rombongan pendaki menuju Tuhan. Maaf jika anda mencium aroma pluralisme di sini, sekali lagi saya berjanji tidak mengajak anda ke sana.

Agama dan Truth Claim

Alur pikir di atas pada akhirnya akan menggiring pada pertanyaan: “Mas bro, lalu apakah semua agama sama?”. Tibalah kita pada keasyikan membanding-bandingkan agama. Kerjaan yang tidak akan ada habisnya, bahkan jika kita dedikasikan seluruh umur kita untuk urusan itu. Jutaan perbedaan pada level eksoteris (aspek luaran, furu’iyah) akan anda temui.

Baca Juga  Kebijakan Covid-19 Telah Diatur dalam Islam

Namun jika melihat aspek esoterisnya, baik esoteris-teologis maupun esoteris-etis, maka agama-agama menjumpai titik temu. Pada level ini, rasanya semua agama sama. Jika ada agama yang bersebarangan dengan prinsip etis di atas dan tidak berpusat pada kepasrahan terhadap Sang Realitas Mutlak, saya sendiri malas menyebut kepercayaan macam itu sebagai agama.

Tentu pendapat di atas hanya berdasarkan perspektif saya sebagai manusia. Namun jika yang ditanyakan adalah perspektif Tuhan, maka biar Tuhan sendiri yang menjawabnya.

Misalnya, apakah orang-orang baik atau saleh di semua agama akan masuk surga? Maka hanya Pemilik Surga yang dapat menjawabnya, bukan saya. Ketika manusia tetap memaksakan diri menjawab pertanyaan ini, maka hampir pasti ia masuk ke ranah klaim kebenaran (truth claim).

Meskipun truth claim sering disandarkan pada kata-kata Tuhan dalam kitab suci. Namun tetap saja hanya berupa penafsiran manusia terhadap teks kitab suci, bukan pernyataan Tuhan sendiri. Ini wilayah teologis murni yang apologetis, sehingga konteksnya menyempit, bukan lagi kebenaran umum.

Lalu apakah truth claim itu buruk? Sama sekali tidak. Justru truth claim lah yang membuat agama bertahan dengan kekhasannya sendiri. Truth claim pula yang menjadi pemersatu umat dalam satu agama.

Truth claim semacam keyakinan pendaki bahwa pemandu saya adalah yang paling benar dan paling mengerti peta sehingga saya yakin akan sampai ke puncak. Yakinlah, truth claim ini bermanfaat sekali dalam beragama.

Mengapa Saya Islam?

Sekadar contoh, mengapa saya beragama Islam? Dengan berbekal truth claim saya dapat mengatakan ada beberapa alternatif jawaban.

Pertama, Islam agama terakhir. Ibarat gadget ia keluaran terakhir yang lebih canggih dan lebih sempurna dari versi sebelumnya, fiturnya lebih komplit dan lebih kekinian. Tapi umat agama lain dapat saja membuat truth claim sendiri. Misal agama saya lebih tua, sumber inspirasi bagi agama-agama yang muncul berikutnya, yang tua tapi masih bertahan tandanya kualitas unggul, ibarat barang antik juga makin tua makin bernilai, dan seterusnya.

Kedua, Allah bagi saya adalah Tuhan yang paling jelas karena dapat “ditemui” langsung tanpa perantara. Oleh karena itu konsep ketuhanan dalam Islam paling mudah dipahami. Namun agama lain dapat saja berkata: jika ada manifestasi Tuhan di luar yang satu, itu bukan berarti tuhan banyak atau tak jelas. Namun sebagai bukti bahwa Tuhan penuh kasih sehingga rela dikenal lebih dekat di dunia dengan cara mampu dijangkau indera hambaNya.

Baca Juga  Rasionalisasi Kosmologi: Filsuf Islam Klasik vs Sains Modern

Ketiga, Nabi Muhammad adalah nabi terakhir untuk seluruh umat manusia, bukan hanya untuk orang Arab. Al-Qur’an dengan tegas telah menyatakan itu. Agama lain akan bilang:  di kitab kami juga tegas, bahwa agama kami untuk umat manusia seluruhnya.

Keempat, Saya lahir dari orang tua muslim, dididik secara Islam, menikmati peribadatan dan tradisi Islam. Tuhan telah pilihkan Islam untuk saya. Umat agama lain pasti juga akan punya argumen yang sama.

Artinya, truth claim selalu bersandar pada ketegori normatif yang dimiliki masing-masing agama. Oleh karenanya, ia bersifat eksklusif. Sehingga menjadi tabu untuk dipertentangkan. Ketika menghadapi kenyataan ini, orang yang melakukan studi agama umumnya memilih sikap “respect to other”, “unity in diversity”, “agree in disagreement ”, dan “lakum dinukum wa liy ad-din”.

Bersyukur Saja!

Saya ingin menutup uraian ini dengan statemen saya di awal, “banyak cara menjawab yang dibolehkan, namun hanya ada satu konsep kunci yang paling cemerlang.” Konsep kunci itu adalah kepasrahan pada Tuhan yang Esa (teologi yang lurus) dan mengutamakan keselamatan (etika yang bagus), konsep ini disebut Islam.

Inilah Islam yang satu-satunya itu, yang diajarkan oleh ribuan nabi. Jadi, alih-alih menanyakan mana agama yang benar, saya cenderung menyerukan “bagaimana sikap beragama yang benar”.

Syahadat atau pernyataan iman kita bukan satu-satunya jaminan keselamatan. Bukankah Tuhan tetap menyiapkan neraka bagi orang yang mengaku beriman namun takabur, munafik, dan fasik? Bahkan, iblis dijanjikan jahanam bukan karena tidak percaya Tuhan kan?

Maka, syukuri saja agama yang kita anut saat ini. Buktikan bahwa dengan agama ini kita terus terdorong menjadi rahmat bagi semesta alam, bukan menjadi horor dan teror seisi bumi. Wallahu a’lam.

Editor: Rifqy N.A./Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Penggemar Studi Agama-Agama dan Filsafat. Saat ini masih menempuh S3 di Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds