Sebagai ujung tombak dalam peradilan pidana, Pemasyarakatan menjadi pihak yang paling sering berinteraksi dengan narapidana, baik ketika mulai ditahan, hingga menjelang bebas. Akan tetapi kenyataannya, selama ini pemasyarakatan dianggap tidak begitu penting dan hanya menjadi pelengkap dalam Sistem Peradilan Pidana.
Selain itu, image buruk tentang Pemasyarakatan telah mengakar kuat di tengah masyarakat. Bukti termutakhir adalah saat program Asimilasi bagi Narapidana yang menghebohkan masyarakat beberapa waktu lalu.
Pemasyarakatan yang Pancasilais
Ada pihak yang pro dan ada pula yang kontra. Ironisnya, informasi negatif di berbagai media semakin mengaburkan nilai positif Pemasyarakatan di tengah polemik. Sehingga program Asimilasi yang memiliki tujuan baik menjadi tidak tersampaikan dengan baik. Seperti halnya pemahaman masyarakat tentang konsep pemasyarakatan dan tujuannya.
Akhirnya, masyarakat menjustifikasi pemasyarakatan dengan hal yang serba hitam seakan tidak ada cahaya terang. Bahkan tidak sedikit masyarakat yang memaknai Pemasyarakatan hanya sebagai lapas, bahkan penjara. Padahal lapas dan penjara merupakan dua hal yang berbeda.
Lapas merupakan sub-bagian dalam pemasyarakatan, sedangkan pemasyarakatan itu sendiri merupakan sistem penanganan narapidana secara umum. Tujuannya memulihkan kembali kesatuan hidup (hubungannya dengan Tuhan), penghidupan (hubungannya dengan ekonomi), dan kehidupan (hubungannya dengan masyarakat) Narapidana.
Sedangkan penjara merupakan tempat untuk membalas serta menjerakan orang-orang yang melakukan tindak pidana. Penanganannya pun sering berdasarkan pada prinsip retributive (pembalasan). Bahkan di zaman kolonial, tidak sedikit tindakan tidak manusiawi yang dilakukan di dalam penjara.
Pancasila sebagai dasar negara kita pun tidak menghendaki dengan sistem kepenjaraan yang tidak manusiawi. Karena tidak sesuai dengan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Maka atas dasar itulah, Dr. Sahardjo pada tahun 1964 memilih pemasyarakatan sebagai sistem penanganan narapidana.
Pemasyarakatan memiliki metode yang lebih humanis dan mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat Indonesia. Karena proses penanganannya dilakukan dengan memberikan pembinaan dan pembimbingan terahadap narapidana.
Pembinaan dan Pembimbingan
Pembinaan, secara sederhana diartikan sebagai kegiatan yang diselenggarakan untuk meningkatkan kualitas narapidana, baik aspek kepribadian maupun kemandiriannya (UU No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan). Pembinaan diberikan kepada narapidana yang berada di dalam lapas. Harapannya agar narapidana mendapatkan bekal untuk merubah perilakunya ke arah yang lebih baik.
Sedangkan pembimbingan merupakan tindak lanjut dari pembinaan di dalam lapas dengan melibatkan masyarakat dalam prosesnya (reintegrasi sosial). Artinya, narapidana mendapatkan program untuk berbaur dengan masyarakat dalam rangka pembinaan.
Harapannya, terjadi internalisasi nilai-nilai positif masyarakat kepada narapidana sehingga memulihkan hubungannya dengan lingkungan sosial. Tentu ada syarat dan ketentuan dalam melaksanakan program pembimbingan ini.
Baik pembinaan maupun pembimbingan, tujuan utamanya agar perilaku narapidana berubah ke arah yang lebih baik. Perilaku atau sikap narapidana menjadi tolak ukur dari tahapan pembinaan yang diberikan. Narapidana dikatakan berhak mendapatkan program pembinaan selanjutnya, bahkan pembimbingan, ketika telah dinyatakan mengalami perubahan perilaku ke arah positif.
Penentuan program untuk mendapatkan perubahan perilaku narapidana didasarkan pada hasil asessmen risiko dan kebutuhan yang dilakukan oleh petugas pemasyarakatan.
Asesmen Risiko dan Kebutuhan
Asesmen risiko dinilai berdasarkan risiko tingkat pengulangan tindak pidana seseorang. Sedangkan penilaian kebutuhan narapidana didasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi tindak pidananya. Faktor tersebut dapat berupa pendidikan, pekerjaan, kondisi finansial,keuangan, kondisi keluarga, ekonomi, penyalahgunaan alkohol, lingkungan, dan lain sebagainya (Andrews & Bonta, 2003).
Dengan melihat risiko dan latar belakang penyebab tindak pidananya, maka akan lebih tepat pemberian pembinaan yang mendukung pada perubahan perilaku narapidana. Klasifikasi ini bertujuan untuk membedakan resiko keamanan dan kebutuhan penanganan tertentu kepada narapidana (Austin, 2003).
Manfaat diterapkannya asesmen risiko dan kebutuhan akan meningkatkan kinerja pemasyarakatan dalam mengidentifikasi dan menentukan pembinaan serta pembimbingan yang tepat untuk narapidana. Selain itu, manfaat yang paling besar, karena memberikan perlindungan serta rasa aman pada masyarakat umum.
Masyarakat akan merasa tenang karena narapidana yang bebas sudah terjamin kualitasnya. Kita tahu bahwa masa pidana seseorang itu ada batasannya dan sebuah kebebasan itu merupakan keniscayaan.
Bayangkan seorang yang terputus pidana telah mencapai batasnya lalu bebas kembali ke masyarakat tanpa ada pembinaan dan pembimbingan yang sesuai sehingga menyebabkan dia tidak sadar dan belum pulih. Kira-kira akan muncul permasalahan lagi atau tidak? Tentu akan muncul masalah yang sama atau mungkin lebih besar lagi.
Tetapi jika dia mendapatkan pembinaan dan pembimbingan sesuai kebutuhannya, pasti akan mengurangi risiko-risiko tersebut. Itulah urgensi Pemasyarakatan. Sehingga diharapkan ketika Narapidana kembali ke masyarakat, mereka benar- benar pulih dan dapat berkontribusi yang positif bagi masyarakat
Semangat Pemasyarakatan sangat kental nuansanya dengan nilai-nilai Pancasila. Seharusnya Pemasyarakatan sangat diterima oleh masyarakat, karena sesuai dengan nilai yang kita miliki sebagai bangsa. Nilainya pemulihan bukan penjeraan. Kalau jera belum tentu pulih, tapi kalau pulih sudah pasti jera.
Editor: Nabhan