Perspektif

Menyambut Keberagaman Melalui Pendidikan

4 Mins read

Suatu saat, orang-orang NU, Muhammadiyah, dan aliran Islam yang lain duduk bersama dalam satu majelis mendiskusikan ilmu agama tanpa ada caci maki. Kita juga menyaksikan orang-orang Islam dan penganut agama lain saling menyambut keberagaman dalam pendidikan Islam maupun perayaan keagamaan masing-masing. Mereka juga sangat mendukung pembangunan rumah ibadah agama lain, tanpa ada penolakan. Inilah yang disebut toleransi umat beragama.

Begitu juga, kita sudah jarang sekali mendengar orang-orang yang menuduh sesat, bid’ah, dan bahkan kafir yang ditujukan kepada individu ataupun kelompok tertentu. Serta argumen “mayoritas” dan “minoritas” sudah tidak lagi diminati.

Pada saat itu, lingkungan kita sangat menghormati kebebasan berpikir. Perbedaan pendapat hanya disikapi dengan perang pena melalui buku, esai artikel ataupun jurnal ilmiah tanpa ada ad hominem atau bahkan tuduhan penistaan agama.

Menyambut Keberagaman

Begitulah gambaran masa depan pendidikan yang ingin kita capai bersama. Terdengar seperti gambaran yang utopis. Tapi bukan tidak mungkin kita sampai pada titik itu. Apakah pendidikan yang berwawasan toleran adalah suatu cita-cita yang mustahil? Tentu tidak, bukan?

Jika kita menggapai semua hal itu melalui hal yang paling mendasar ialah pendidikan itu sendiri. Melalui mata pelajaran pendidikan Islam, misalnya, maka cita-cita itu bukanlah hal yang mustahil. Fakta sejarah yang tidak bisa dibantah, pendidikan selalu berhasil mengubah suatu peradaban menjadi lebih baik.

Pertanyaan mendasarnya, mengapa menyambut keberagaman perlu dilakukan melalui pendidikan Islam? Sebuah kenyataan yang harus kita terima bersama, pendidikan Islam banyak menyumbang praktek intoleransi di masyarakat. Terlalu banyak problematika, khususnya dalam hal intoleransi.

Survei Intoleransi

Itu terlihat dari penelitian survey yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta pada tahun 2010 dalam Jurnal Pendidikan Islam (Vol. 1, No. 2) yang hasilnya sungguh mengejutkan. Sebanyak 48,9% siswa di Jabodetabek menyatakan persetujuannya terhadap aksi radikal. Survey ini dilaksanakan di 10 kota di Jabodetabek. Penelitian ini dilakukan kepada 100 sekolah tingkat SMP dan 100 sekolah tingkat SMA.

Baca Juga  Ulama-Ulama Sufi yang Dikritik Ibnu Taimiyah

Penelitian yang serupa ialah penelitian yang dilakukan PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pada tahun 2018. Hasil penelitiannya: 81% guru agama Islam setuju untuk menolak memberikan pembangunan rumah ibadah agama lain di wilayah tempat tinggal mereka. Sementara dalam buku ajaran agama Islam sempat ditemukan muatan yang mengandung intoleransi dan bernuansa kekerasan.

Jika penelitian itu benar, berarti ada sesuatu yang perlu dievaluasi bersama dalam pendidikan Islam. Ada praktek yang salah di dalam Pendidikan Islam. Entah pembelajaran, guru ataupun buku ajarnya yang bermasalah. Di sinilah pentingnya mengevaluasi Pendidikan Islam.

Fikih Toleransi

Fikih Toleransi adalah koleksi hukum-hukum Syariah Islam dari berbagai pendapat Fuqaha, sebagai medium mewujudkan rasa toleransi terhadap keberagaman pendapat. Seperti yang kita tahu, perbedaan pendapat ulama dalam Fikih sangat beragam. Dalam bidang hukum, misalnya, dikenal lima mazhab besar Sunni: Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hanbali dan Zahiri. Ini belum dalam bidang yang lain. Menariknya, walaupun mereka berbeda pendapat dalam hukum, tapi mereka tetap saling menghormati satu sama lain.

Nah, perbedaan pendapat di antara ulama ini menarik untuk diajarkan kepada murid. Di samping untuk mengetahui teori dan worldview dari berbagai pandangan ulama. Ini sekaligus sebagai medium mewujudkan toleransi keberagaman pendapat dalam hukum Fiqh seperti yang sudah dicontohkan oleh para ulama terdahulu.

Hal ini penting dipahami oleh murid, khususnya guru pendidikan Islam. Agar mereka mengerti bahwa ulama juga berbeda pendapat dalam memutuskan hukum. Namun perbedaan itu tidak menjadi penghalang mereka untuk saling menghormati satu sama lain. Dengan mengajarkan perbedaan pendapat ulama, ini juga sekaligus sebagai praktek di kelas bagaimana toleransi diaplikasikan dalam pembelajaran pendidikan Islam.

Guru sudah tidak bisa lagi menutup-nutupi atau bahkan sengaja menghindari tema perbedaan pendapat ulama. Karena pada kenyataannya, di lingkungan kita, perbedaan itu juga sangat tajam. Bahkan di beberapa tempat, tidak jarang perbedaan itu memantik konflik di masyarakat. Maka sudah semestinya guru pendidikan Islam sudah menyadari keadaan genting ini.

Baca Juga  Adanya Polaritas & Buzzer Politik: Humor Menjadi Tak Lucu Lagi!

Penerapan

Cara positif yang bisa dilakukan oleh guru untuk menyikapi tradisi ikhtilaf (perbedaan) dalam Fikih secara bijak, dengan cara menyajikan perbedaan tersebut kepada murid. Dengan sebuah catatan penting: bahwa dalam Islam sangat menghormati ijtihad. Siapapun yang berijtihad dan ijtihadnya benar maka dapat dua pahala, pahala kebenaran dan pahala ijtihad itu sendiri. Sedangkan jika ijtihadnya salah maka dapat satu pahala, ialah pahala ijtihadnya saja.

Pemahaman seperti ini juga sangat penting untuk dipahami oleh murid, khususnya guru di lembaga pendidikan Islam. Agar diskursus perbedaan ulama sudah bukan lagi pembahasan asing atau bahkan dianggap terlarang bagi murid. Sehingga pada nantinya, ketika dihadapkan pada permasalahan ini di masyarakat, murid sudah bisa memaklumi perbedaan pendapat tersebut. Pada tingkat selanjutnya, menumbuhkan rasa toleransi yang besar terhadap perbedaan yang ada di masyarakat.

Keterlibatan Pemerintah

Hal yang tak kalah penting dalam menyambut keberagaman, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan perlu untuk mengevaluasi kembali buku ajar Pendidikan Agama Islam dan Kebudayaan yang sudah beredar selama ini. Perbedaan pendapat ulama yang selama ini sengaja tidak dibahas dalam buku ajar, perlu kiranya untuk ditambahkan serta dijelaskan juga bagaimana cara kita menyikapi perbedaan itu dengan bijak. Dengan begitu, murid semakin menyadari keberagaman di masyarakat bukanlah suatu hal yang tercela.

Kementerian Agama juga harus ikut terlibat dalam pembuatan buku ajar pendidikan Islam agar lebih selektif lagi memilih penulis yang siap memberikan perspektif keberagaman. Hal yang perlu dievaluasi oleh Kemenag antara lain; buku ajar Fiqih yang sangat kaku, pemahaman Fikih yang tidak universal, dan pengajaran Fikih yang fanatik terhadap satu madhab. Sehingga hal itu berdampak pada sikap-sikap intoleran ketika murid nanti terjun di masyarakat.

Baca Juga  Siapa Presiden di Tahun 2024? Refleksi Filosofis atas Kompleksitas Politik Indonesia

Begitu juga yang paling utama dalam hal pola perekrutan guru agama Islam. Perekrutan guru pendidikan Islam harus mengedepankan guru yang toleran dan mempunyai wawasan keberagaman yang luas. Karena kunci utama Fikih Toleransi bisa terwujud ada di tangan guru. Guru yang moderat harus diutamakan, sehingga pada nantinya ketika menghadapi persoalan perbedaan ulama, guru bisa bijak dalam menyikapi perbedaan tersebut, begitu juga perbedaan pendapat hukum yang terjadi di tengah masyarakat.

Bila semua ini sudah terlaksana, bukanlah hal yang mustahil untuk mencapai masa depan pendidikan yang terdengar utopis seperti yang telah disebutkan di awal, selama semua unsur-unsur yang telah disebutkan saling bekerjasama.

***

Ngomong-ngomong soal perekrutan guru agama. Entah tiba-tiba saya langsung teringat guru agama yang meributkan lagu “Balonku ada lima” dan “Naik-naik ke puncak gunung” di forum pengajiannya. Apakah lagu “Balonku ada lima” lebih menarik dibahas daripada Fikih Toleransi?

Editor: Sri/Nabhan

Avatar
2 posts

About author
Guru Agama Islam. Tinggal di Pare, Kediri, Jawa Timur.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds