FeaturePerspektif

Pilpres 2019 dan Pertarungan Kaum Muda Milenial

5 Mins read

Oleh: Hanapi*

Politik anak muda millenial dekade ini mengalami kebangkitan secara signifikan dalam mengisi makna bagi politik Indonesia yang dipenuhi oleh generasi tua yang korup, haus akan kuasa, dan oligarki. Kebangkitan partisipasi anak muda ini disebabkan oleh munculnya PSI (Partai Solidaritas Indonesia) yang sejak awal membangun representasi anak muda secara wacana, gerakan, massa dan kader-kader muda diberikan ruang lebih besar untuk mengaktualisasikan gagasan progresif bagi kemajuan Indonesia.

Hadirnya PSI di pentas nasional membuka regenerasi politik bagi anak muda millenial di semua partai politik, mungkin ini semacam kesadaran elit politik dengan jumlah populasi anak muda yang besar sebagai pemilih, mempunyai implikasi signifikan terhadap kemenangan partai politik dalam pertarungan elektoral, sehingga kran-kran rekrutmen politik perlu dibuka dan memberikan kesempatan anak muda untuk bertarung. Kemunculan PSI hanya salah satu penyebab menguatnya narasi politik kaum muda di aras nasional meskipun secara representasi kekuasaan tidak ada anak muda yang menduduki jabatan strategis di kabinet Jokowi terutama menjadi Menteri.

Posisi ini lebih banyak diisi aktor lama, ini berbeda dengan kemenangan politik kaum muda Malaysia yang dimana Menteri Pemuda dan Olahraga dipimpin oleh Syed Syaddiq yang berhasil menjadi representasi suara politik millenial Malaysia, di usia 25 tahun ia diberikan amanah untuk mempelopori perubahan di bidang pemuda dan olahrga (Tempo,2/7/18).

Situasi ini berbeda sekali dengan politik Indonesia dimana anak muda tidak mempunyai representasi dalam. Politik padahal secara populasi mereka memiliki dampak fundamental bagi kelangsungan demokrasi maupun kemenangan partai politik di elektoral. Namun tidak adanya wakil anak muda ini menandakan bahwa anak muda belum berhasil membangun representasi politik pasca reformasi di struktur kekuasaan strategis tetapi bukan berarti anak muda ini tidak melakukan pergerakkan progressif di akar rumput.

Representasi Kaum Milenial

Pasca diumumkan Ma’aruf Amin sebagai Cawapres Jokowi, para elit politik nasional berusaha membangun citra bahwa Ma’aruf bisa merepresentasikan generasi millenial. Usman Sapta Odang mengatakan “millenial itu bukan soal usia tetapi soal tindakan dan sikap” (www.jakarta.post.com, 18/01/19). Apa yang dikatakan oleh Usman sebagai cara untuk mengkonstruksi bahwa Maaruf Amin bisa menjadi cawapres yang mampu menangkap aspirasi anak-anak muda millenial meskipun secara usia dan gaya tidak bisa dikatakan millenial. Ini membuktikan bagaimana kontestasi akan makna ‘millenial’ menjadi pertarungan untuk mendapatkan suara generasi baru Indonesia, yang secara kuantitas menjadi faktor penentu bagi kemenangan elektoral dua kandidat.

Baca Juga  Hoaks Corona dan Etika Jurnalisme

Hanta Yuda Direktur Poltracking Indonesia mengatakan pemilu Indonesia 2019 ini akan diikuti oleh 40 % pemilih millenial yang berusia 17 sampai 35 tahun (www.kumparan.com, 14/07/18). Jumlah kaum muda yang banyak ini sangat penting untuk dimobilisasi dan membangun citra bahwa kandidat Presiden dan Wakil Presiden mampu menjadi representasi kaum muda secara total.

Kontestasi reprsentasi politik kaum muda millenial ini dibangun melalui tiga cara yaitu, pertama, kandidat menggunakan style politik anak muda yang tidak formal, bahasa yang asyik, populer dan pakaian yang trendy. Hal ini ditunjukkan dari perubahan gaya Jokowi yang menunjukkan sisi anak muda yang mandiri, dengan mengunjungi pengusaha muda di daerah dengan membuat video singkat sambil mempromosikan produk mereka. Pada posisi ini Sandiaga Uno juga melakukan hal yang sama.

Kedua, representasi programatik. Dua kandidat ini khususnya Jokowi dan Sandi saling bertarung untuk mengkampanyekan program yang mampu menjawab persoalan kaum muda. Pada isu penganguran, Jokowi dan Sandi sama mempromosikan program kewirausahaan untuk kaum muda, hanya pada satu sisi Sandiaga Uno memiliki langka-langkah operasional untuk mendorong kebijakan bagi kaum muda.

Misalnya, rumah siap kerja Sandi menjadi langkah konkrit untuk menjawab penganguran yang terjadi di anak muda dan narasi membangun program start-up lebih massif dikampanyekan tetapi adanya PSI di dalam koalisi Jokowi dan Ma’ruf Amin, representasi programatik diwakili oleh PSI yang berusaha mendorong agar jenis-jenis pekerjaan baru diakui oleh negara seperti youtuber. Namun Jokowi juga akan memberikan program rumah murah bagi anak muda millenial agar kaum muda bisa membeli rumah.

Ketiga, representasi kekuasaan. Keberhasilan politik kaum muda harus dilihat dari adanya representasi aktor di dalam posisi-posisi strategis terutama menduduki jabatan menteri, keberhasilan politik anak muda di Malaysia menjadi blok kekuatan politik yang terorganisir bisa menjadi pelajaran bagi gerakan sosial kaum muda di Indonesia untuk bersatu dalam merebut posisi agar program negara benar-benar bisa mewakili aspirasi kaum muda. Pertarungan untuk kekuasaan ini bukanlah kehendak untuk menjadi batu loncatan tetapi membangun blok alternatif politik kaum muda.

Baca Juga  Unilever, LGBT, dan Tantangan Masyarakat Plural

Pertarungan politik antara Jokowi dan Prabowo pada pilpres ini, anak muda lebih banyak dilibatkan dalam kampanye team prabowo, misalnya kampanye Sandi mengajak Sabyan untuk menarik pemilih muda muslim. Keterlibatan anak muda yang menjadi bagian dari salah satu kandidat menjadi pertanyaan pasca pemilu nanti, siapakah representasi kaum muda di lingkaran kekuasaan, apakah Jokowi akan mengangkat kader Muda dari PSI atau Dahnil Azhar mampu menjadi representasi kaum muda kalau Prabowo-Sandi menjadi pemenang.

Politik Kaum Muda di Pilpres

Anak muda pada pilpres ini membangun beragam model partisipasi politik yang menunjukkan anak muda semakin peduli akan kondisi politik Indonesia yang penuh gejolak dan daya transformasi yang belum menyentuh persoalan fundamental bangsa. Meskipun harus diakui representasi politik anak muda belum terbangun secara utuh dikarenakan kelemahan politik Indonesia adalah persoalan representasi (Sigit Pamungkas, 2018).

Belum kuatnya politik representasi membuat anak muda mengambil peran yang agak berbeda dalam pemilu ini, mereka mendirikan komunitas pemilu untuk mengawal demokrasi agar berjalan sebagaimana visi idealisnya. Pengawalan yang dilakukan oleh anak muda ini menjadikan diri mereka bagian aktif atau menjadi aktivis pro demokrasi yang berada di ring terdepan bersama KPU dan Bawaslu untuk bekerja demi kepentingan bangsa.

Salah satu komunitas pemilu yang diinisiasi anak muda ini ada di Yogyakarta yang bernama KISP (Komite Independen Sadar Pemilu). Komunitas ini digerakkan oleh anak muda terdidik yang memiliki tradisi keilmuwan yang baik secara politik dan agama. Para anak muda ini memainkan peran progresif dengan mendidik pemilih pemula dan membuat desa anti politik untuk menghadapi serangan fajar yang sering terjadi pada pemilu. Komunitas yang berangkat dari kesadaran aktivis Islam untuk mengisi ruang dan mewarnai demokrasi dengan tujuan untuk memperkuat demokrasi di akar rumput.

Baca Juga  Jadilah Guru Sekaligus Murid: Memahami Pesan KHA Dahlan untuk Guru Milenial

Komunitas ini sebenarnya bentuk partisipasi anak-anak muda yang ingin mengawal agar aspirasi publik tidak hanya selesai setelah pencoblosan, tetapi menjadi agenda strategis dalam pembuatan kebijakan. Anak muda ini mengambil peran utama dengan mengajak masyarakat menjadikan pemilu sebagai pesta kedamaian. Edwar pendiri KISP mengatakan komunitas ini sukak melakukan aksi damai, mengedukasi masyarakat dan memberikan bunga di jalan untuk mewujudkan pemilu yang membahagiakan dimana sikap saling menegasikan itu harus digantikan dengan sikap yang saling menghargai perbedaan (www.kabar24.bisnis.com, 28/10/18).

Gerakan komunitas pemilu anak muda ini bukan hanya bersifat edukatif dan pemberdayaan pemilih millenial tetapi mereka juga melakukan research sebagai upaya agar suara dan karakteristik kaum muda ini dipahami oleh para politisi. Penelitian yang menarik diadakan komunitas ini melihat bagaimana kampanye yang dilakukan caleg melalui baleho kurang disukai oleh anak muda millenial. Para kaum muda ini lebih suka kampanye melalui media sosial dan mereka belum memutuskan pilihan mereka terhadap capres dan cawapres nanti. Research ini diselenggarakan di Yogyakarta, yang secara statistik menunjukkan sebanyak 47 % millenial belum memutuskan pilihan mereka terhadap kandidat capres dan cawapres. Hal ini disebabkan oleh mereka belum mengetahui visi dan misi capres cawapres (www.voaindonesia.com, 08/03/19).

Peran politik kaum muda di dalam kontestasi politik 2019 ini beragam sekali, keterlibatan anak muda dalam politik baik sebagai kelompok informal maupun formal kehadiran mereka dalam politik Indonesia memiliki implikasi besar bagi bangunan demokrasi, ditangan anak muda inilah masa depan bangsa ditentukan, setiap peran yang mereka ambil sebagai cara kaum muda berkontribusi bagi bangsa.

*Mahasiswa Magister Political Science UGM, Direktur Research PP. IPM dan Pegiat Literasi Rumah Baca Komunitas

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds