Report

Haedar Nashir: Islam Wasathiyah dan Negara Pancasila bagi Muhammadiyah

4 Mins read

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, dalam pembukaannya mengatakan bahwa merawat Islam Wasathiyah atau Islam moderat adalah penting. ‘Islam Wasathiyah’ dapat menjadi sumber energi kolektif ruh beragama untuk memperkuat ukhuwah umat muslim Indonesia dan non-muslim. Dengan menyikapi negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah, merawat ‘Islam Wasathiyah’ menjadi penting untuk menjaga dari potensi perpecahan.

Hal ini ditegaskan beliau sebagai pembicara utama dalam acara Halal Bi Halal yang diadakan oleh PD Muhammadiyah Kabupaten Tuban, bersama dengan PW Muhammadiyah Jatim dan Bupati Kabupaten Tuban. Acara tersebut dilaksanakan secara virtual melalui Facebook dan Zoom Meeting pada Ahad (21/06/2020).

Dinamika Umat Islam Indonesia

Haedar menjelaskan bahwa Islam dalam perjalananya sudah banyak mengalami berbagai dinamika tantangan zaman. Oleh karena itu kita perlu mengikuti jejak Nabi Muhammad yang menebar rahmat bagi semesta dengan Islam. Selain menebar rahmat, Nabi juga membangun peradaban mulia, membangun kehidupan yang bisa berelasi dengan siapa pun dengan semangat wajalnaakum syuuban wa qabaaila litaarafu (QS. Hujurat: 13).

Kemudian dengannya, Islam menjadi uswah hasanah dalam peradaban bangsa maupun dunia. Pondasi akhlakul karimah dan taaruf dalam silaturahim yang bersifat insaniyah menjadi bagian penting dari bangunan peradaban Islam. Dengan mayoritas muslim menjadi pondasi tersebut–sebagaimana di Tuban, muslim mampu menghadirkan Islam yang damai.

Dengan prinsip Islam Wasathiyah (Islam Moderat), muslim memberi solusi pada persoalan bangsa. Sebagai contoh ketika Indonesia dijajah, seluruh kekuatan muslim dari Samudera Pasai ke kawasan timur serempak bahu membahu berjuang dengan iman, jihad dan dakwah.

Walaupun dengan kekuatan teknologi sederhana seperti bambu runcing, tetapi ia tidak menghalangi kemerdekaan Indonesia. Mengamini Islam Wasathiyah bukan berarti menjadi pasif, namun ia memberi semangat perjuangan dengan penghayatan yang benar.

Selanjutnya Haedar berkata, tanpa mayoritas muslim di negeri ini tentu Indonesia tidak akan merdeka, walaupun perjuangannya begitu panjang. Kaum muslim dengan semangat wasathiyyah sebagai modal mampu menjalin hubungan dengan kelompok lain di negeri ini. Maka, modal ini tidak boleh dilupakan, baik oleh yang ada di pemerintahan pusat maupun oleh generasi muda yang bersebaran di berbagai struktur pemerintahan maupun swasta.

Baca Juga  Pak AR Fachruddin: Sejarah Pancasila di Muhammadiyah dan Peran Pak AR

Peran Islam Wasathiyah

Kontribusi peran mayoritas muslim di Indonesia tidak bisa tergantikan oleh apapun. Dari sini lah pentingnya umat muslim beserta lainnya—termasuk elit negara–untuk bersama merawat modal nasional yang sangat penting dan strategis ini. Dan ingat, ketika pilar Islam dan umat muslim Indonesia runtuh atau sengaja diruntuhkan, maka Indonesia akan kehilangan keberadaannya dan eksistensinya.

Kemudian pada awal abad ke-20, lahirlah organisasi Islam modern yang memberikan kontribusi besar bagi perjalanan kemerdekaan Indonesia, baik Muhammadiyah maupun Nahdlatul Ulama (NU) atau pun organisasi Islam lainnya.

Jika dalam beberapa hal kita sering berbeda, seperti dalam hal praktik ibadah kita Muhammadiyah dan NU sering berikhtilaf, tetapi tasamuh di antara kita tetap terjaga. Seperti dalam surat al-Hujurat ayat 10, meskipun ada perbedaan maka muslim harus saling berishlah. Dan hendaklah Islam Wasathiyah waspada atau bertakwa, baik dalam konteks habluminallah maupun habluminannas.

Oleh karena itu, jika perbedaan tanpa beriftiroq, maka segala perbedaan pandang dan kepentingan dapat dieleminasi, sehingga yang muncul adalah ukhuwah berbasis iman dan kebangsaan Indonesia. Dengan menyikapi negara Pancasila sebagai kesepakatan, ia membuktikan bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara garisnya sama. Ia berarti menjadikan Pancasila sebagai dasar negara dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa. Karena itu, kita berharap bahwa torehan sikap ini tentu harus gayung bersambut.

Perdebatan Negara Pancasila

Lebih dalam, Haedar menjelaskan kontribusi umat muslim Indonesia sepanjang sejarah lebih lanjut. Seperti dari para tokoh Islam, di antarannya Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimejo, Kahar Muzakir, dan KH. Wachid Hasyim menjadi penentu kompromi Indonesia. Mereka menjadi penentu kompromi pada pidato Pancasila pada 1 Juni 1945. Setelah itu, terjadi kompromi yang kedua pada 22 Juni 1945. Pada waktu itu, lahirlah piagam Jakarta di mana sila Ketuhanan masih terdapat tujuh kata syariat Islam dalam Pancasila.

Baca Juga  Azyumardi Azra: Pilihan Non-Politik Muhammadiyah Sudah Benar

Tetapi demi Indonesia yang baru satu hari lahir, Ki Bagus Hadikusumo menjadi kunci terakhir merelakan dicoretnya tujuh kata itu. Sila Ketuhanan yang awalnya masuk sila kelima, diubah menjadi sila pertama, termasuk terkait konsep Ir. Soekarno akan Ketuhanan yang Berkebudayaan. Maka, kemudian kata itu kita ubah dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sehingga pada 18 Agustus 1945 PPKI secara resmi mengesahkan UUD 1945, termasuk di dalamnya adalah pembukaan UUD 1945. Ia kemudian menjadi kesepakatan dan hadir lah negara Pancasila sebagai dasar NKRI, walau ada amandemen empat kali yang tidak mengubah apa pun dari aspek ini.

Sebagaimana dalam Keppres Nomor 24 tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila, disebutkan bahwa rangkaian perumusan Pancasila dimulai sejak tanggal 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Soekarno, kemudian rumusan Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945 hingga rumusan final tanggal 18 Agustus 1945 adalah satu kesatuan proses lahirnya Pancasila sebagai dasar negara.

Bahkan dalam Kepres nomor 18 tahun 2008, disebutkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Lahir Konstitusi. Penetapan Hari Pancasila itu untuk melengkapi sejarah ketatanegaraan Indonesia. Ia tidak untuk mengubah isi dari Pancasila itu sendiri, maka jangan ada yang menarik-narik kembali ke 1 Juni 1945 maupun ke 22 Juni 1945, apalagi memasukkan Trisila, Ekasila, dan Ketuhanan yang berkebudayaan. Hal itu akan meretakkan persatuan Indonesia.

Pancasila dan Islam Wasathiyah bagi Muhammadiyah

Bagi Muhammadiyah sesuai dengan keputusan Muktamar ke-47, Muhammadiyah menyikapi negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah yang berarti hasil konsensus nasional dan tempat pembuktian untuk menjadi negara yang maju, aman, adil, makmur dan berdaulat dalam naungan ridho Allah SWT.

Baca Juga  Bagaimana Upaya Menghidupkan Kembali Pancasila?

Pancasila bukanlah agama, tetapi substasinya mengandung dan sejalan dengan nilai-nilai ajaran Islam, terutama nilai-nilai Islam Wasathiyah. Ia menjadi rujukan ideologis dalam kehidupan kebangsaan yang majemuk dan yang mengikat seluruh rakyat dan komponen bangsa.

Lebih jauh Haedar berpesan, alangkah baiknya DPR bersama-sama dengan pemerintah secara resmi mencabut dan tidak meneruskan pembahasan RUU HIP sebagai bahan legislasi. Bahkan itu menunjukkan jiwa negarawan sekaligus juga pemahaman sejarah yang benar. Tidak perlu malu atau bahkan rendah diri, bahkan rakyat akan menghormati, dari situ lah marwah negarawan berasal.

Sebaliknya, apabila gelombang aspirasi ini diabaikan dan masih bermain-main politik, maka sudah menjadi tanggung jawab DPR bersama pemerintah, karena otoritasnya ada di sana. Kami hanya bersuara demi bangsa sebagai bagian darinya. Dan kami bertanggung jawab kepada Allah SWT bahwa semua kita perjuangkan tidak ada kepentingan politik praktis apapun. Semua demi persatuan Indonesia dan tetap menjaga keutuhan, dengan menyikapi negara Pancasila dengan baik dan benar.

***

Tetapi harapan terbesar kami pada DPR, dengarlah suara hati rakyat, seluruh kekuatan bangsa, dan suara hati masing-masing demi bangsa dan negara. Kekuasaan itu ada batasnya. Kekuasaan manusia, sedigdaya apapun ada batasnya. Sedangkan kekuasaan yang tidak ada batasnya hanya kekuasaan Allah SWT, karena hanya Dia lah yang mampu membalikkan kekuasaan dalam sekejap.

Inilah moral bangsa kita dan semestinya menjadi moral pemimpin kita. Hanya kepada Allah kita akan kembali.

Editor: Shidqi Mukhtasor/Nabhan

Avatar
1 posts

About author
Pendidik dan Kader Nasyiah
Articles
Related posts
Report

Hamim Ilyas: Islam Merupakan Agama yang Fungsional

1 Mins read
IBTimes.ID – Hamim Ilyas, Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah menyebut, Islam merupakan agama yang fungsional. Islam tidak terbatas pada…
Report

Haedar Nashir: Lazismu Harus menjadi Leading Sector Sinergi Kebajikan dan Inovasi Sosial

1 Mins read
IBTimes.ID – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memberikan amanah sekaligus membuka agenda Rapat Kerja Nasional Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan…
Report

Hilman Latief: Lazismu Tetap Konsisten dengan Misi SDGs

1 Mins read
IBTimes.ID – Bendahara Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hilman Latief mengatakan bahwa Lazismu sudah sejak lama dan bertahun-tahun terus konsisten dengan Sustainable Development…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds