Menyoal Rancangan Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP) yang tengah ramai, maka juga harus membahas Piagam Jakarta yang menjadi salah satu tahap lahirnya Pancasila. Itu juga berarti berbicara tentang Ki Bagus Hadikusumo, juga Kasman Singodimejo. Para tokoh di balik Piagam Jakarta.
Polemik RUU-HIP
Suasana dinamika kenegaraan yang dikendalikan oleh Badan Legislatif DPR-RI membuat sebagian besar rakyat berkecamuk. Ini dikarenakan hadirnya Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU-HIP). RUU-HIP yang dirancang oleh DPR-RI, banyak memperoleh tantangan dan penolakan dari berbagai pihak.
Muhammadiyah sebagai salah satu Ormas Islam terbesar di Indonesia telah menyatakan sikap menolak RUU-HIP. Diantara alasan Muhammadiyah menolak yaitu:
“Secara hukum kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai Dasar Negara sudah sangat kuat. Landasan Perundang-undangan tentang Pancasila telah diatur di dalam TAP MPRS nomor XX/1966 juncto TAP MPR nomor V/1973, TAP MPR nomor LX/1978, dan TAP MPR nomor III/2000 beserta beberapa undang-undang turunannya sudah sangat memadai.
Dalam pasal 5 (e) UU 12/2011 dan penjelasannya disebutkan bahwa pembentukan Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas kedayagunaan dan kehasilgunaan: Peraturan Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Meniadakan atau tidak mencantumkan TAP MPRS No XXV/1966 dalam salah satu pertimbangan RUU HIP juga termasuk masalah serius, padahal dalam TAP MPRS tersebut pada poin (a) tentang menimbang secara jelas dinyatakan bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila.”
Begitupun MUI dan NU telah memberikan sikap agar RUU-HIP dihentikan. Penulis sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Tengku Zulkarnain wakil sekretaris MUI Pusat, ketika berdialog dengan Bung Refly Harun di Channel Youtube Refly Harun.
“Pancasila itu kan Falsafah Negara. Cara pandang Pancasila tentang dirinya. Pancasila dan UUD 1945 itu tersumber dari tertib hukum kita. Masa, diturunkan menjadi Undang-undang. Undang-undang itu kan jauh di bawah, Pancasila itu nomor satu, masa tiba-tiba turun menjadi UU, setara dengan hukum zina, hukum mencuri, itu tidak cocok dan rendah sekali.” Ujar Tengku Zulkarnain
Menurut penulis, tidak menghargai posisi Pancasila sebagai rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat Indonesia.
Piagam Jakarta Pemersatu Bangsa
Melihat persoalan RUU-HIP satu minggu terakhir ini, sering mejadi perbincangan di ruang publik. Tiba-tiba penulis teringat dengan perjuangan para tokoh bangsa dalam merumuskan Dasar Negara Republik Indonesia.
Lahirnya Pancasila tidak lepas dari pergolakan dari tokoh-tokoh bangsa Indonesia. Dan perlu diketahui, jalan menuju Pancasila itu melalui beberapa tahap, diantaranya ialah lahirnya Piagam Jakarta (Jakarta Charter) sebagai rumusan pertama dasar negara.
Piagam Jakarta, dirumuskan pada tanggal 22 Juni 1945. Oleh Panitia Khusus atau Panitia Kecil yang beranggotakan 9 (Sembilan) orang, yang biasa disebut dengan Panitia Sembilan. Panitia Sembilan adalah Panitia Kecil dari Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Pencoretan Tujuh Kata?
Pencoretan Piagam Jakarta berawal dari protes kalangan Kristen, yang berada di kawasan Indonesia Timur. Bahwa, Piagam Jakarta sebagai Rumusan UUD 1945 tidak mengikat umat beragama Kristen. Secara spesifiknya, tidak setuju dengan 7 (tujuh) kata yang berada pada naskah Piagam Jakarta, yang tulisannya: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Setelah pembacaan Proklamasi oleh Sukarno-Hatta. Dalam suasana genting, pada tanggal 17 Agustus 1945 di sore hari. Kalangan minoritas Kristen yang masih dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang, langsung menghubungi Hatta, memprotes terkait tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebagai rumusan UUD 1945.
Argumen yang dibawanya saat itu adalah “Diskriminasi Kaum Minoritas Kristen”. Jikalau Piagam Jakarta itu disahkan sebagai landasan Dasar Negara, maka kalangan Kristen akan berlepas diri dari wilayah Indonesia.
Mendengar argumentasi tersebut, Bung Hatta sebagai Wakil Ketua Panitia Sembilan langsung mengambil sikap. Dengan mengumpulkan beberapa pemimpin Islam yang bergabung dalam Panitia Sembilan. Yang dipanggil yaitu, Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Teuku Muhammad Hasan dan Kasman Singodimedjo.
Tepat pada tanggal 18 Agustus 1945, lima orang ini berembuk berusaha untk memecahkan persoalan ini. Kelima tokoh ini sebenarnya tidak ingin melepas tujuh kata tersebut. Tetapi, pada akhirnya mereka berlapang dada dan bijaksana, tidak ingin melihat negara yang berumur baru berapa jam ini pecah di kemudian hari. Perlu diketahui perundingan lima tokoh tersebut kurang dari 15 menit, karena dalam situasi yang begitu kontroversi mencekam .
Namun, Â Ki Bagus Hadikusumo yang ketika itu sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah sempat bersikeras tidak akan mencabut dan menghapus tujuh kata tersebut. Hatta, Wahid Hasyim, dan Teuku Muhammad Hasan tidak mampu membujuk Ki Bagus Hadikusumo untuk merelakan Tujuh Kata tersebut dihapuskan. Barulah, Kasman Singodimedjo berusaha keras melobi dengan usahanya, diantarannya menggunakan bahasa Jawa yang halus.
Argumen Kasman Singodimerjo
Kasman mengatakan di dalam lobinya sebagai berikut:
“Kiai, kemarin Proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, teutama pemimpin-pemimpinya cek cok, lantas bagaimana?!
Kiai, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah bala tentara Dai Neppon (Jepang) yang masih berada di Bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil adalah sekutu yang termasuk di dalamnya Belanda.
Rancanagan sekarang ini adalah rancangan Undang-undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna dan memuaskan semua pihak, apalagi dalam kondisi kejepit!
Kiai tidak kah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai umat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapaina Indonesia merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tentram, diridhoi Allah.”
Dengan diplomasi Kasman seperti demikian, barulah Ki Bagus Hadikusumo berangsur-angsur mau menerima usul penghapusan tujuh kata tersebut.
***
Peristiwa itu sungguh merupakan kejadian sejarah yang paling penting pada hari itu. Bung Hatta menilai bahwa, kesediaan empat tokoh pemimpin Islam tersebut untuk menyetujui menghilangkan kalimat ini sebagai tanda bahwa mereka benar-benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa seluruhnya.
Karena suasana yang begitu serius, keesokan harinya Bung Hatta kembali mengumpulkan empat pemimpin Islam tersebut. Membicarakan lebih lanjut masalah tujuh kata dengan mencarikan solusi alternatif agar kita jangan pecah sebagai bangsa.
Bermufakat, untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan menggantinya dengan kalimat “Ke Tuhanan Yang Maha Esa.” Dan pada akhirnya diputuskanlah Rumusan Piagam Jakarta hasil revisi oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 sebagai dasar UUD 1945 dan Pancasila.
Editor: Sri/Nabhan