Ali Syariati terlempar ke dunia yang fana pertama kali di Masyhad, 24 November 1933, dengan nama kecil Muhammad Ali Mazinani. Besar di kalangan keluarga intelek, Ali menata fondasi keilmuan dan dimensi batin kepada ayahandanya, Muhammad Taqy Syariati.
Taqy adalah seorang intelektual, ulama, dan aktivis yang memprakarsai The Center for Propagation of Islamic Truth. Sebuah yayasan yang menyebarkan risalah Islam dengan jalan intelek, logis, dan progresif.
Riwayat Ali Syariati, Imam Revolusi Intelektual
Syariati mendapatkan gelar doktor dari Sorbonne University di Prancis, untuk bidang filsafat dan sosiologi. Dari Sorbonne, Syariati berkenalan kepada Camus, Sartre, Masignon, dan Ghuavera.
1965, dengan membawa hadiah ilmu untuk bangsanya, ia disambut 1,5 bulan kurungan penjara dengan tuduhan terlibat aktivitas politik menentang Syiah. Setelah dibebaskan, ia mendapatkan kepopulerannya, dengan banyak pendukung saat kuliah di Masyhad, Husainiyah Irsyad, di Teheran.
Ciri khas dari kuliah dan pemikiran Syariati yang seakan-akan berhasil menyihir pendengarnya, setidaknya meliputi 3 hal, yakni berjuang melalui jalan intelektual, perjuangan praktis, dan perjuangan pembenahan sistem pendidikan.
Bagi Syariati, yang membuat masyarakat maju bukanlah dari sastra, teknologi, ataupun keilmuan yang lain, yang utama bagi sebuah bangsa untuk membenahi realitas adalah ideologi.
Dari perjuangannya itulah, Syariati dikenal sebagai ideolog Iran, terlebih bagian Revolusi Islam. Sebagai seorang mahasiswa, ia meninggalkan aktivitas politik dan agitasi yang sia-sia, maka dari itu ia mulai berjuang untuk masyarakat dengan sesuatu yang bermanfaat dan abadi.
1973, Syariati memilih menyerahkan diri setelah ayahandanya ditangkap oleh intelijen Syiah Pahlavi (Savak). Dengan dukungan nasional dan tekanan masyarakat internasional, 20 Maret 1975 sang aktor revolusi intelektual itu dibebaskan.
16 Mei 1977, akibat represi Savak, Ali Syariati meninggalkan Iran menuju ke Inggris. Beberapa minggu kemudian, pemerintah Iran menyebut beliau meninggal karena penyakit lambung. Konon, Syariati dibunuh oleh Savak.
Falsafah Penciptaan dalam Kacamata Syariati
Dalam kacamata humanisme Syariati, yang dikenal memberi perhatian khusus terhadap falsafah penciptaan, disebutkan bahwa penciptaan Adam memiliki tujuan untuk mengemban tugas di muka bumi sebagai manifestasi kekuasaan Tuhan, adalah sarat akan nilai filosofis.
Dimulai dengan pertanyaan malaikat, bagaimana maksud Tuhan menempatkan makhluk yang akan bertumpah darah di muka bumi. Ketika Qur’an berbicara tentang penciptaan manusia, digunakan istilah-istilah, seperti janin, sperma, dan gumpalan darah.
Selain menunjukkan kuasa Tuhan kepada kompleksitas dan presisi, juga memberikan sebuah kuliah biologi umum. Namun ketika Al-Qur’an berbicara tentang penciptaan Adam, maka di sanalah kita temukan nilai-nilai filosofis melalui berbagai tamsil dan metaforis.
Ketika ditiupkan ruh atasnya, maka Adam bukanlah hanya bermakna sebagai sebuah eksistensi historis, melainkan dia adalah cerminan dari masa depan umat manusia, rahasia penciptaan, dan kekuasaan mutlak Sang Pencipta.
Mungkin, para sarjanawan dari tiga agama abrahamik bisa berdebat tentang banyak hal, seperti klaim, di mana Adam turun, apakah dia seorang nabi atau bukan, atau bahkan berapa tingginya. Terlepas dari itu semua, bagi mereka yang memilki akal tajam akan sepakat pada satu hal, yaitu nilai-nilai filosofis universal atas diri dan invensi Adam.
Kontradiksi dalam Satu Eksistensi
Contoh ketika Al-Qur’an menggunakan terminologi tertentu, dalam hal ini ayat “wa nafakhtu fihi min ruhi”, dan “min thin“. Dalam bukunya yang bertajuk Sosiologi Agama, Syariati menyebutkan makna thin/tanah, adalah lafaz metaforis. Bukan berarti bahwa manusia secara materiel dibentuk dari tanah atau min hamain masnun—tanah lumpur hitam. Melainkan terminologi thin/hamain masnun di sini mengisyaratkan akan tabiat kerendahan, pasif/jumud, dan tanpa esensi.
Istilah kedua “min ruhi“, atau diterjemahkan sebagai ruh Tuhan, memiliki makna filosofis tentang kekuasaan–dalam makna bisa berbuat dan mencipta, bukan menguasai atau memerintah, kesempurnaan, sifat-sifat jamaliyah dan eksistensi tanpa awal dan akhir. Dengan adanya kemuliaan dari ‘ruh’, manusia memiliki potensi untuk meninggalkan kejumudan.
Manusia juga disebut sebagai “akhsani taqwim” karena dalam diri manusia terdapat kepatuhan dan nafsu. Namun, bukankah dengan keduanya menyatu dalam satu eksistensi adalah kontradiksi? Dua sisi yang kontras antara roh dengan tanah, ataupun Tuhan dengan iblis yang menjadi substansi manusia, adalah pertentangan.
Dalam logika, tidak mungkin secara simultan dipahami adanya wujud panas dan dingin dalam satu waktu bersamaan. Namun, dalam realitas kehidupan, begitulah adanya. Kehidupan seorang muslim selalu diisi dengan dualitas tersebut, naik menuju keillahian atau stagnan sebagai sebuah tanah liat.
Gerakan Menunjukkan Kehidupan
Hari-harinya akan diwarnai pencarian makna dan pengembangan potensi. Karena kesenjangan yang kontras antara roh dengan tanah, maka perjalanan yang panjang akan selalu dipenuhi godaan kenyamanan. Namun, begitulah yang diharapkan, setiap gerakan baik fisik, intelektualitas, sampai spiritualitas, itu semua menunjukkan kehidupan.
Bergeraknya manusia ke arah ilahiah yang disimbolkan dengan ruh Tuhan inilah yang menyebabkan manusia itu hidup, dan sungguh untuk mencapai puncak dari perjalanan tersebut tak terhingga, seorang manusia dituntut untuk patuh dengan merdeka. Merdeka dalam arti memilki kuasa untuk menentukan setiap pilihan hidupnya, dan patuh untuk memahami posisinya sebagai khalifatullah.
Mungkin jika kita mencoba menilik perspektif wahdatul wujud-nya kaum sufi, kita akan berjumpa bagaimana manusia yang sempurna (Insan Kamil).
Puncak sepritulitasnya adalah ketika sang insan tersebut berhasil melebur sisi manusianya, dan mengejawantahkan hadirat illahi. Sebuah tetesan air tawar, yang bermuara ke pantai, setelah digulung ombak dilumat karang, bercampur dengan miliaran kubik air laut, apakah tetap bisa bagi setetes tawar tersebut mempertahankan eksistensinya di tengah miliaran kubik air laut?
Jawaban atas Kerancuan Penafsiran
Syatahat mereka mungkin hanya mereka dan Tuhan yang tahu, tetapi bagi Syariati, semua abstraksi dan kerancuan penafsiran tersebut telah terjawab dalam satu ayat.
Innalillahi wa inna ilaihi rojiun, Al-Qur’an tidak menggunakan fihi untuk dipahami sebagai penyatuan di dalam eksistensi, tetapi menggunakan Ilaihi dalam mengisyaratkan alamat terakhir dari perjalanan panjang menembus dualitas duniawi, yakni kepada Allah.
Dengan intelektualitas, kita memiliki perspektif bahwa setiap hari yang dilampaui seseorang adalah menghantarkan kepada kematian. Dan bagi seorang muslim, setiap degup jangtungnya berarti juga mengurangi kadar kehidupan yang telah ditakdirkan. Maka, mungkin kita perlu berpikir ulang untuk mengucapan ‘selamat bertambah umur’.
Editor: Lely N