Pernahkah kita bertanya pada diri sendiri, apakah tindakan ini benar? Apa yang harus saya berikan kepada anak saya? Benarkah yang saya lakukan ini? Tepatkah tindakan yang saya ambil ini? Lalu mungkin kita akan bertanya pada ahli. Itu benar, namun apakah semua hal bisa kita tanyakan pada ahli setiap saat?
Maka kita sendiri perlu mengetahui apa itu kebenaran sehingga kita tidak bingung menentukan pilihan. Filosofis berkaitan erat dengan kebenaran, mendidik dengan filosofis artinya kita mendidik dengan kebenaran.
Merujuk pada Muthahhari dalam Pengantar Epistemologi Islam, kebenaran itu adalah kesesuaian ide (pikiran) dengan realitas (fakta di alam).
Bertanya pada Diri Sendiri
Namun mencari kebenaran terkadang tidak semudah itu, hingga saya membaca buku Cinta yang Berpikir karya Ellen Kristi. Beliau adalah praktisi Charlotte Mason, Charlotte Mason ini adalah pendidik yang mendasari pendidikannya dengan filsafat.
Dalam bukunya disebutkan bahwa untuk memulai mendidik kita harus mengawalinya dengan pertanyaan mengapa, apa, dan bagaimana. Berikut adalah kutipan dari buku Cinta yang Berpikir yang juga dikutip dari buku Charlotte Mason.
Ada tiga pertanyaan penting yang, kata Charlotte Mason, harus bisa dijawab oleh orangtua saat mereka ingin bertanggung jawab penuh atas pendidikan anak-anaknya. Yang pertama, mengapa anak perlu belajar? Yang kedua, apa yang perlu ia pelajari? Yang ketiga, bagaimana sepatutnya mereka mempelajari itu? Jika kita berupaya dengan sungguh-sungguh mencari jawaban yang meyakinkan untuk ketiga soalini, lanjutnya, kita akan mampu mengarahkan pendidikan anak-anak kita (Vol.1 hlm.171)
Dari pernyataan Charlotte Mason, saya berpikir bahwa pada akhirnya kita bisa menemukan kebenaran melalui tiga pertanyaan itu. Tiga pertanyaan ini seharusnya kita jawab sebelum kita melakukan segala sesuatu.
Misal, mengapa anak kita harus sekolah? Agar pintar? Agar mendapat prestasi? Agar memahami pelajaran? Jika agar memahai pelajaran, apakah harus sekolah formal? Apakah sekolah formal menjamin anak kita memahami? Apakah memahami pelajaran itu wajib? Apa yang akan didapatkan anak kita ketika mempelajari begitu banyak materi dalam satu waktu?
Mengapa harus pintar? Mengapa harus mendapat nilai yang bagus? Jika sudah mendapat nilai bagus, lalu apa yang akan didapatkan anak kita? Pekerjaan yang baik? Apakah setiap orang harus pintar dan melamar pekerjaan?
Bagaimana jika anak kita menciptakan lapangan pekerjaan alih-alih mencari? Apakah membuat usaha sendiri perlu nilai yang baik dari sekolah? Apakah nilai yang baik sudah pasti menentukan kecerdasan anak? Ataukah sebenarnya anak harus menemukan apa yang ia sukai?
Dengan terus bertanya, kita akan menemukan yang benar untuk anak kita. Tidak tergesa-gesa dalam melakukan sesuatu juga akan membuat kita lebih objektif.
Fokus pada Tujuan dan Aspek Non Material
Mendidik dengan filosofis juga berfokus pada tujuan dan aspek non material, bukan aspek yang terlihat secara gamblang saja.
Misal, mengapa anak harus makan? Banyak orang mengatakan dengan enteng, “makan yang banyak ya, biar cepat besar!” Padahal kita sendiri tau bahwa makan banyak tidak mempengaruhi besar kecilnya anak, besar juga bukan parameter bahwa anak itu sehat.
Tujuan makan adalah untuk menjaga kesehatan, memenuhi kebutuhan nutrisi tubuh. Apakah makan banyak akan membuat anak menjadi sehat? Apakah besar artinya anak kita sehat? Tidak, banyak sedikitnya makanan tidak mempengaruhi kesehatan, karena kesehatan bergantung kepada asupan dan kandungan nutrisi yang dimakan.
Bagaimana seharusnya anak kita makan? Makan dengan cukup dan bergizi, tidak harus banyak. Saya belajar mengubah mindset saya bahwa makan banyak atau sedikit itu tidak masalah.
Kenapa ini penting? Tidak sedikit orangtua yang hanya berfokus pada aspek yang terlihat saja, misal gemuk dan banyak makan. Padahal kesehatan bisa dicek melaluikurva Kartu Menuju Sehat yang dibagikan oleh pemerintah bila masihbalita. Jika sudah besar, bisa dicek dari keaktifannya, apakah ada tanda-tanda kelainan atau tidak.
Komunikasi dan Penjelasan yang Benar
Selain aspek non material, mendidik dengan filosofis juga terkait komunikasi yang benar. Sejak dini saya belajar untuk mengatakan hal yang benar kepada anak saya. Saya ubah kalimat umum dengan, “makan yang cukup ya nak, agar sehat.”
Tidak hanya tentang makan, namun juga segala aspek kehidupan anak kita. Misalkan jika mereka bertanya kenapa mereka harus tidur? Kita wajib menjelaskan tidur itu untuk apa, bukannya malah menakut-nakuti anak bahwa akan ada hantu jika tidak tidur.
Kita wajib menjelaskan segala sesuatunya dengan benar, agar anak melakukan segala sesuatunya atas dasar kesadaran. Jika kita hanya menjelaskan jawaban praktis, maka anak pun akan melakukan sesuatu hanya untuk kepraktisan saja. Mereka akan makan banyak demi menyenangkan orang tuanya.
Mereka akan tidur karena takut kepada hantu, mereka akan mandi karena takut ada monster, misalnya. Akibatnya anak hanya melakukan sesuatu karena takut, atau karena ingin orang tua senang, bukan karena mereka sadar hal itu benar untuk dilakukan.
Apakah kita berpikir bahwa anak-anak itu tidak mengerti? Atau kita yang terlalu sombong dan menyepelekan anak-anak? Atau kita yang ingin anak kita tidak memahami tentang apa yang harus dilakukan dalam hidupnya?
Bagaimana kita akan mengajarkan tanggung jawab? Apakah ia nanti bisa berinisiatif dan berinovasi jika dalam pikirannya terbersit “apakah orang tuanya akan senang jika saya melakukan ini?” Apakah ia bisa berkembang jika ia selalu diliputi rasa takut akan suatu hal?
Mendidik dengan filosofis mengajarkan kita untuk terus berpikir dan memberikan yang benar untuk anak kita. Mengarahkan yang benar, serta memberikan penjelasan yang benar, sehingga anak akan melakukan sesuatu karena benar.
Editor: Dhima Wahyu Sejati