Perspektif

Puasa Ramadhan sebagai Energi Kenikmatan

4 Mins read

Oleh: Ermansyah R. Hindi*

Kata-kata memiliki hubungan bahasa dalam teks, membuka dirinya dalam permainan bahasa yang tidak terbatas hingga ia diterobos melalui makna yang dibebaskan dalam teks. Memang betul, tidak ada satu makna untuk teks; ia selalu terbuka untuk kita baca, digali dan dibebaskan maknanya menjadi kata-kata baru.

Sebagaimana kita memahami, bahwa kata puasa berarti menahan diri dari makan dan minum serta seluruh perbuatan yang dapat membatalkan puasa. Seluruh kata Ramadhan berhubungan dengan sisi bahasa, diantaranya artikulasi dan derivasi. Artikulasi menyediakan muatan pada bentuk verbal dari dalil-dalil yang murni, tetapi masih kosong.

Kelanjutan gerakan kata-kata ditandai oleh teori derivasi untuk tetap dari sumber asalnya. Kata-kata Ramadhan tidak pernah berhenti bergerak lebih jauh dan lebih menantang lagi melalui suatu derivasi, lalu saling bersambung sama lain  atau menyusun dirinya sendiri untuk meraih perbedaan artikulasi yang terbuka. Suatu hal yang sulit dilupakan pada kemampuan artikulatifnya menerobos jarak, dimana ia bergerak sejauh garis derivasi.

Struktur penulisan berbalik arah menuju poros yang menghubungkan Ramadhan dengan makna iman yang mengartikulasikan ‘kenikmatan’. Disini menjadi jelas bahwa kata-kata tidak pernah berbicara sesuatupun, kecuali kata-kata kenikmatan terhadap seluruh pengendalian daya tarik, bujuk rayu atau godaan selama bulan Ramadhan. Hal ini juga bagaimana bentuk-bentuk pengetahuan esoterik muncul diantara bahasa Arabik dari orang-orang saleh yang mewariskan gaya bahasa majazi-metafora.

Berkat tulisan hijaiyyah, kehidupan atau sejarah manusia berangsur-angsur berubah. Kata dalam bahasa lisan sesuai dengan kata dalam bahasa tulisan dalam pikiran pembaca sekaligus pikiran penulis, dari orang-orang yang memiliki hasrat untuk berpuasa ramadhan tidak lagi terungkap dalam ketidakbenaran atau ketidakpastian makna.

Al-Qur’an dan kekuatan tanda-tanda didalamnya mampu berbicara pada kita melalui benda-benda dan kata-kata yang ditandai oleh mata biasa. Mata dibalas mata, tanda diintimi oleh tanda. Kita akan melepaskan tanggungjawab kita terhadap suatu permainan bebas bahasa sebelum membangun struktur pembacaan terbuka dan terpadu atas tanda keilahian menjadi kata-kata dalam bahasa yang mengalami ‘taraf kenikmatan’.

Baca Juga  Nilai-Nilai Kesehatan Mental dalam Ibadah Kurban

Dari ketidaknamaan ke nama-nama lain dari bulan Ramadhan persis kata dan tanda kenikmatan akan dirahi. Sehingga rentetan nama-nama lain dari bulan Ramadhan (syahrul ‘ibadah, syahrul Qur’an, syahrul rahmah, syahrul mubarak, syahrul tarbiyah, syahrul jihad wal-falah, syahrul shabr, syahrul judd) merupakan efek gravitisasi bahasanya bersama kata-kata tanpa mengenal kata akhir dalam kehidupan.

Nama-nama lain dari Ramadhan menjadi arus energi keilahian yang membuat seseorang melayang tinggi, meninggalkan lebih jauh dari ritual ibadah, bacaan, rahmah, keberkahan, ampunan, pendidikan, jihad, dan kemurahan tidak menutupi celahnya menjadi ‘taraf kenikmatan’ hingga berlalu begitu saja, sebagaimana kata-kata yang keluar dari orang-orang kusut sedang menikmati secangkir atau lebih kopi ditambah minuman yang memabukkan. Ia tidak lebih kuat dibandingkan kenikmatan akan jalan terjal, beronak dan berliku.

Ramadhan berasal dari kata ramdha, yarmadhu, berarti ‘panas yang terik’ atau ‘panas yang membakar’. Tanda dan struktur bahasa puasa Ramadhan (shaumu ramadhan/صَوْم رمضان) membebaskan dunia dari retakan permainan-permainan jejak dibentuk oleh asal-asul dan ketidakpastian makna dari titik pergerakan tanda keimanan ke tanda ketakwaan (QS [2]: 185).

Dalam kuasa waktu atas tanda-tanda, kata ‘puasa’ juga memiliki ‘makna ganda’ dalam ‘kata yang sama’, dimana ‘puasa’ memperkenalkan permainan bahasa baru. Penggunaan bahasa direpresentasikan kata-kata dan ditunjukkan lewat suatu perbincangan. Taruhlah contohnya, Anton : “Mari makan siang”. Ahmad : “Maaf. Saya sedang berpuasa (fasting) sekarang”, “Saya sedang tadarrus Al-Qur’an”.

Mungkin, jarang kita menemukan dan mendengarkan suatu kalimat dengan mengatakan: “Saya sedang bersedakah dalam bulan Ramadhan”. Seseorang akan mencomot pemikiran Derridean, bahwa ketidakhadiran batas atau pinggiran kata-kata membebaskan dirinya dari teks ataukah tulisan-asali (arché-writing).

Selain seluruh kata dalam suatu bahasa membebaskan dirinya dari ‘rujukan’ kata-kata juga ‘celah’ dan ‘sumbu lainnya’ dalam tatanan bahasa yang sama. Setelah membebaskan dari paradoks, kata yang kita ucapkan semestinya sesuai dengan kata kita tuliskan di atas hamparan teks-teks supaya hasrat tidak terungkap dalam kepastian.

Baca Juga  Analisis Gaduh Kamus Sejarah Indonesia

Ada saatnya peristiwa berbolak-balik antara kenikmatan bahasa dan kenikmatan fisik  menangani urutan ketegangan, kontradiksi, paradoks, pergantian, dan keterputusan makna yang membuka dirinya demi kenikmatan lainnya.

Bentuk-bentuk kenikmatan fisik seperti makanan, minuman, busana, rumah, perabot rumah dan sebagainya muncul akibat ‘ketidakhadiran kenikmatan psikologis’ (ni’matu  bathiniyah): liburan, musik, lukisan, dan hiburan lainnya. Kenikmatan psikologis tidak memuaskan sebagai akibat ketidakhadiran akan ‘kenikmatan filosofis’ (ni’matu aqliyah): pengetahuan akan teka-teki realitas, kesadaran dan hasrat.

Pada lapisan yang sama, kenikmatan fisik dan kenikmatan psikologis tidak terpenuhi akibat dari kekosongan akan ‘kenikmatan intelek’ (mata’ul fikr): penalaran logis, menulis novel, buku, artikel, meneliti atau analisis diskursus, dan kontrol sosial. Selanjutnya, kenikmatan intelek tidak memuaskan akibat dari ketidaksaluran akan ‘kenikmatan seksual’ (as-surur al-jinsiy): persetubuhan di luar siang hari puasa Ramadhan.

Secara khusus dalam persfektif sufisme, setiap kenikmatan ‘materi’ dan ‘psikis’ tidak memiliki tempat bagi kepuasan, kecuali kenikmatannya akan terjatuh dalam ilusi. Menurut diskursus kesufian, takhalli ‘an al-radzail, berarti membersihkan diri kita dari sifat tercela menjadi tahapan awal untuk membersihkan jiwa, hati dan pikiran seseorang.

Kata-kata dan perubahan energi berlangsung taraf kenikmatan dalam bulan Ramadhan sejauh kita mampu berada pada tahapan tahalli bi al-fadail, yaitu menghiasi diri dengan sifat-sifat mulia akan bergerak menuju ‘fase spiritualisasi yang lebih tinggi’ (tajalli), yaitu hakikat. Tetapi, dalam kenikmatan radikal yang saling tumpang tindih, saling beririsan dan saling menyatu antara satu dengan lainnya tanpa dogma, kategori dan tingkatan.

Kenikmatan hakiki bergerak dari jenis energi yang tersosialkan yang mampu berada dalam ‘penanaman kenikmatan’ dalam puasa ramadhan dengan variasi ibadah seperti tadarrus, tarwih-qiyamul lail, ‘bersedekah’ pada ‘kaum fakir miskin’ dan ‘kaum dhuafa’, zikir, dan kerja di masing-masing tempatnya. Perubahan energi kenikmatan fisik, seksual, psikologis dan lainnya merupakan kenikmatan spiritual (ni’matu ruhaniyyah) saling berhilir-mudik secara internal menjadi suatu energi kosmik yang berdaya pikat.

Baca Juga  Post-truth dan Hoax hingga Penggiringan Opini Publik

Dalam titik nadir kekosongan akan kenikmatan hakiki, setiap kenikmatan akan kembali bergerak menuju tanda kenikmatan spiritual melalui mujahadah  atau riyadhah  (disiplin dan  latihan diri secara serius) selama bulan puasa ramadhan untuk membersihkan hati, jiwa, pikiran, dan perbuatan yang tercela (QS [91]: 9-10). Kenikmatan hakiki dalam tradisi sufistik modern akan berlangsung ‘perubahan energi baru kenikmatan’ dari kenikmatan bersifat individual ke kenikmatan bersifat sosial. Kenikmatan hakiki inilah sebagai penanda utama untuk mengendalikan hawa nafsu selama puasa Ramadhan.

* Sekretaris PD Muhammadiyah Kabupaten Jeneponto

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds