Perspektif

Dalam Beragama, Menghafal itu (Tidak) Penting?

4 Mins read

Seorang lelaki paruh baya sedang bersiap menjadi imam salat berjamaah bersama istri dan empat orang anaknya. Sang Bapak berpeluh keringat melafalkan niat, “usolli… uso… usoo… liii… usoliii…  usooo… li..”.

Tak sabar menanti, seorang anak di belakang protes, “dah setengah jam ni ayah Uusoli…”. Anak yang satunya lagi mengadu ke sang Ibu ketika melihat ayahnya menggigil dan bermandi keringat, “Ayah sakit panas bu.” Sang Ibu berupaya menenangkan, “Sssh.. jangan komplen.”

Tunggu dulu, jangan salah paham. Sebagai orang Muhammadiyah, tentu saya tidak mengamalkan lafaz niat dalam salat. Bagi kami niat itu pekerjaan hati, bukan tugas lidah. Kisah itu hanya cerita dalam gambar komik yang dikirim seorang kawan lama melalui aplikasi Whatsapp (WA), bulan Ramadan kemarin.

“Kira-kira begitu nasibku saat ini bro. Kedatangan Corona membuatku harus jadi Imam salat rawatib dan taraweh di rumah selama Ramadan. Masalahnya stok hafalan ayatku terbatas. Ya akhirnya, yang kubaca tiap hari ayat-ayat pendek yang itu-itu saja. Sampai-sampai anakku yang sekolah di SDIT protes. Kok Bapak ayat-ayatnya diulang-ulang terus?” curhatnya, menyambung kiriman gambar tersebut.

Spontan saya tertawa lepas, sebab nasibnya tak jauh beda dengan saya. Bedanya, anak saya masih balita, jadi belum bisa protes. Sebagai teman curhat yang baik, saya berupaya memberi solusi. “Gampang, bilang saja ini ayat-ayat Corona nak. Makanya harus dibaca berulang-ulang, agar virus ini segera pergi,” saranku sembari tersenyum lebar.

Lalu saya menambahkan, “untung bukan istrimu yang protes. Soalnya waktu kamu melamarnya, engkau pernah bilang, Izinkan aku menjadi imam bagimu.”

Makanya, kalau kampanye jadi calon suami, jangan jual istilah-istilah agama. Ingat bro, pemilihan jodoh bukan Pilkada!

Baca Juga  Menjadi True Islamic Man di Era New Normal

Dan, ia pun tertawa terbahak-bahak via simbol emoticon WA. Saya pun merespon dengan simbol tertawa yang setimpal. 

Pengalaman Perjalanan Muktamar

Padahal, jika saja ia pernah ketemu dengan kawan saya yang lain, mungkin dia bisa melewati cobaan ini lebih ringan. Kawan yang lain itu seorang ulama muda – kini Pengurus MUI di salah satu Kabupaten.

Ceritanya begini, saya dan kawan ulama muda itu berada dalam satu rombongan. Kami menempuh perjalanan Makassar-Jakarta via kapal laut. Waktu itu kami dalam perjalanan menuju Muktamar Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM) di Medan.

Di atas kapal, kawan saya ini sering jadi imam salat berjamaah bagi kami. Dari segi pengetahuan keagamaan, dia memang di atas rata-rata. Awalnya, beberapa dari kami sering berusaha menahan diri untuk tertawa saat ia menjadi imam. Betapa tidak, sesudah membaca Al-Fatihah, dia kadang hanya membaca “Alief Lam Miem” lalu rukuk. Di rakaat selanjutnya, ia hanya membaca, “Nuun… ” dan rukuk.

Sesudah salat, beberapa kawan protes. Dia menjawab, dalam fikih kan hanya dipersyaratkan baca ayat. Satu ayat pun tetap sah. Karena pemahaman fikih kawan yang lain terbatas, mereka tak melanjutkan protes.

Mazhab Nadiem Makarim

Perbincangan tentang hafalan, mengingatkan saya pada sosok Nadiem Makarim. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ini mengkritik tradisi menghafal dalam dunia pendidikan.

Menurut Mas Menteri, sapaan akrab Nadiem, itulah salah satu alasan mengapa alumni sekolah/ perguruan tinggi sulit terserap di dunia kerja. Mereka hanya menghafal pengetahuan, yang mungkin saat tamat, ilmu yang dihafal itu sudah basi.

Yang dibutuhkan, kata mantan Bos Gojek ini, adalah keterampilan belajar sepanjang hayat. Keterampilan yang membuat saya, kamu, dan dia, mampu beradaptasi dengan dunia nyata, termasuk dunia kerja. Peserta didik di abad-21 perlu diajarkan HOTS (Catat, artinya High Order Thinking Skill, bukan hot yang ada dalam pikiranmu!).

Yang diajarkan adalah cara berpikir tingkat tinggi, seperti kemampuan membuat sintesis, membandingkan, menganalisis, menerapkan, dan seterusnya – dan seterusnya (pokoknya butuh ratusan slide power point untuk menjelaskan ini).

Baca Juga  Muhammadiyah Pelopor Penyelenggaraan Haji di Indonesia

Nah itu kan di bidang pendidikan. Bagaimana dengan dunia agama? Apakah tradisi menghafal membuat para penganut agama merasakan kegalauan berhadapan dengan setan-setan modern yang tak lagi mempan diusir dengan ayat kursi? Apakah kebiasaan menghafal membuat orang beragama gagap menegakkan iman di tengah godaan maha dahsyat di Abad 21? Naudzubillah!

Wah rasanya saya tak punya kapasitas untuk menjawabnya. Mungkin ada yang bisa bantu? (Halo? Ada gak? Kalau tidak ada, ini jadi PR ya!)

Menilik Sejarah Kiai Dahlan

Baiklah, mari menengok sejarah. Kiai Haji Ahmad Dahlan, sang pendiri Muhammadiyah, juga tidak menitikberatkan hafalan kok. Di kitab ‘Muhammadiyah Jawa’, yang ditulis Syekh Najib Burhani – Ulama LIPI, Kiai Dahlan bahkan pernah mengizinkan salah satu murid pengajiannya salat dalam bahasa Jawa, karena belum bisa membaca dan menghafal bacaan salat dan ayat-ayat Quran.

Di kisah lain, pernah suatu waktu murid-murid Mbah Dahlan protes. Selama 3 bulan, hanya satu surah saja yang diajarkan dalam pengajiannya, yaitu Surah Al-Maun.

Sang kiai, menjawab dengan bertanya, “Apakah kalian sudah memahami dan mengamalkan surah ini?” Para santri kompak menjawab, “sudah Kiai. Kami sudah membacanya saat kami salat.”

“Bukan itu maksud saya. Sudahkah kalian merawat anak yatim? Sudahkah kalian memberi makan kepada orang miskin?” lanjut Kiai Dahlan.

Para murid kemudian menggeleng. Pengajian diskorsing, Kiai meminta murid-muridnya bergerak mencari anak yatim dan orang-orang miskin. Memandikan mereka, memberi makan, dan berbagi kamar tidur dengan anak tunawisma.

Di tangan Kiai Dahlan, surah Al-Maun tidak berhenti sekadar menjadi bacaan salat. Ia menjadi sebuah sumber inspirasi dan ruh gerakan sosial Muhammadiyah. Al-Maun melahirkan panti asuhan, sekolah/ perguruan tinggi, rumah sakit, dan Amal Usaha Muhammadiyah yang jumlahnya ribuan, tersebar di seluruh pelosok nusantara, bahkan hingga ke luar negeri.

Baca Juga  ”Kristen Alus”: Embrio Gerakan Pembaruan Muhammadiyah

Apakah saya berkesimpulan bahwa menghafal tidak penting dalam beragama? Gak juga, tetaplah menghafal. Tiada ritual tanpa hafalan. Anda tidak bisa salat jika tak menghafal sejumlah bacaan salat dan ayat-ayat Quran. Anda tak bisa jadi imam jika tak punya hafalan. Anda pun tak bisa dapat sepeda dari Mas Jokowi jika tak hafal nama-nama ikan (Upz, maaf. Kalimat ini tidak relevan).

Tapi ingat, agama bukan sekadar ritual, namun juga sebagai kekuatan aktual dalam membimbing penganutnya menata kehidupan yang lebih baik.

Di musim Corona ini, penganut agama harus membuktikan, bahwa agama yang dianutnya bisa digunakan sebagai perajut solidaritas cinta-kasih dalam melawan virus ini. Penganut agama harus membuktikan bahwa ‘ayat-ayat’ juga mempan menghempas Corona!

Lalu bagaimana dengan tren perkembangan sekolah tahfidz (penghafal Quran)? Gantian dong, anda lagi yang jawab!

Editor: Wulan
Avatar
3 posts

About author
Ketua Majelis Pustaka dan Informasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sulawesi Selatan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds