Perspektif

Dosa-Dosa Seorang Intelektual, Apa Saja?

2 Mins read

Menjadi intelek adalah impian bagi mereka yang ingin disebut sebagai intelektual. Seorang yang cerdas, bijak, serta memiliki kadar keilmuan yang luas nan mumpuni. Hari ini, untuk menyebut seseorang sebagai intelektual adalah hal yang mudah saja. Tetapi untuk mencari sosok intelektual sejati, tentu tidak semudah menyebutnya sebagai intelektual.

Penilaian orang tentang sosok intelektual sangatlah beragam. Ada yang mengatakan sosok intelektual adalah seseorang yang sedang menempuh pendidikan di tingkat tinggi (universitas).

Sebagian lagi mengatakan intelektual itu adalah seseorang yang rajin membaca, menulis dan berdiskusi, atau mereka yang suka berdemonstrasi untuk menyuarakan ketidakadilan, dan sebagainya.

Siapakah Sosok Intelektual Itu?

Menurut Benda, sosok intelektual itu adalah mereka yang tidak mengejar tujuan-tujuan praktis, tetapi mereka mengolah seni, ilmu, atau renungan metafisik. Mereka adalah orang-orang bermoral yang beresiko dipenjarakan, digantung, dibakar, disalibkan, bahkan dikeluarkan dari komunitasnya.

Intelektual ini sering disebut sebagai sosok yang idealis, tidak mau memperjualbelikan idealismenya dengan kepentingan atau jabatan.

Lain halnya dengan Edward W. Said. Ia menyebut sosok intelektual itu adalah mempunyai nalar yang tajam, mampu menjadi emansipatoris, mencerahkan orang lain, serta aktif bergerak dan berbuat.

Tipe intelektual ini adalah mereka yang dengan ilmunya senantiasa diaplikasikan untuk mencerdaskan dan mencerahkan orang lain, membantu kesulitan dan memudahkan urusan umat.

Secara umum, kita bisa menyebut seorang intelektual sebagai seorang yang berbuat kebaikan kepada orang lain, dan dalam konteks ini kita bisa menyebut mereka sebagai orang baik.

Tapi, kebaikan seperti apa yang dilakukan seorang intelektual? Dalam rangka apa mereka berbuat kebaikan, dan terhadap siapa kebaikan diberikan?

Menurut Aristoteles dalam bukunya yang berjudul Retorika, seorang intelektual dikatakan baik apabila mereka memberikan pertolongan kepada yang memerlukan. Tidak untuk mendapatkan balasan, dan bukan untuk mencari keuntungan bagi mereka sendiri, melainkan keuntungan bagi orang yang dibantu.

Baca Juga  Safari Intelektual Para Pemikir Muslim Moderat

Kebaikan akan bernilai besar jika ditujukan kepada orang yang sangat memerlukannya atau sulit didapatkan. Sehingga, kebaikan mereka beriorientasi pada target yang tepat, bukan untuk formalitas semata.

Menurut hemat saya, menyebut seseorang sebagai intelektual atau intelektual sejati adalah berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang mengenal dan merasakan kebaikan mereka.

Dosa-Dosa Seorang Intelektual

Namun, untuk menjadi sosok intelektual yang idealis ataupun intelektual yang emansipatoris bukanlah hal instan yang bisa diperoleh dalam waktu lima menit.

Mereka yang mengaku dirinya sebagai seorang intelektual harus membuka kembali ruang baca, menyemarakkan ruang berpikir dan memberdayakan ruang tulis. Suka atau tidak suka, ketiga hal ini adalah kunci utama menjadi seorang intelektual sejati.

Apabila ketiga hal ini tidak diterapkan oleh seorang intelektual, artinya mereka sedang menumpuk dosa-dosa sebagai seorang intelektual.

Dalam sebuah diskusi, Ananul Nahari Hayunah (Ketua Umum IMM Usluhuddin Uin Jakarta) mengatakan, dosa-dosa sang intelektual itu adalah:

Tidak membaca, tidak menulis, tidak berdiskusi, serta tidak mengaplikasikan apa yang mereka baca, yang mereka tulis, dan yang mereka diskusikan. Tidak benar jika ada orang yang merasa dan menyebut dirinya intelektual, tapi malas baca, malas nulis dan malas berdiskusi.

Karena sebuah perubahan dan pembaharuan yang ingin dilakukan, diawali dari sebuah gagasan dan ide-ide yang terencana dan terstruktur dengan baik, yang diperoleh dari apa yang dibaca dan didiskusikan.

Sebagai contoh, dikutip dari At-Thabari bahwa Ibnu Sina menulis 40 halaman per hari selama 40 tahun dengan total 28.000 halaman filsafat (20 jilid tebal). Kemudian, Al-Kindi yang menulis 270 buah buku, Al Suyuti sebanyak 600 buku, dan Ar-Razi sebanyak 200 buku, dan sebagainya.

Baca Juga  Yudi Latief: Kita Mengalami Diskoneksi dengan Pemikiran Masa Lalu

Dari banyaknya buku yang telah ditulis oleh para intelektual di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa untuk menulis buku sebanyak itu, mereka juga telah membaca lebih daripada buku yang telah mereka tulis.

Bahkan untuk menulis 1 buku saja, seseorang harus membaca 10 sampai 20 buku. Dari segi intelektualitas, mereka tidak berdosa lagi karena karya-karya mereka bisa dirasakan manfaatnya oleh manusia hingga hari ini.

Sekarang, sudah saatnya kita berhenti berbuat dosa-dosa intelektual untuk menjadi seorang intelektual sejati.

Editor: Zahra

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds