Pengumuman nama organisasi yang terpilih dalam Program Organisasi Penggerak (POP) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud RI) menuai kontroversi. Pengumuman tersebut diketahui, sebagaimana surat Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) tanggal 17 Juli Tahun 2020 Nomer 2314/B.B2/GT/2020.
Mundurnya Muhammadiyah dan NU
Dari 324 proposal yang diterima, dengan passing grade yang sudah ditentukan, ternyata ada 221 proposal organisasi masyarakat (ormas) dinyatakan lolos. Hasil pengumuman 221 proposal tersebut melahirkan polemik dalam dunia pendidikan tanah air. Setelah pengumuman terpilihnya organisasi penggerak, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah justru menyatakan mundur dari POP.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Lembaga Pendidikan Maarif NU, yakni mundur dari POP. Lembaga Pendidikan Maarif NU menilai, bahwa POP dari awal sudah janggal karena hanya dimintai proposal dua hari sebelum penutupan. Disisi lain, Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah memutuskan untuk mundur dari POP, karena kriteria pemilihan organisasi masyarakat yang ditetapkan lolos evaluasi proposal dianggap sangat tidak jelas.
Kemendikbud dianggap tidak membedakan antara CSR dengan ormas. CSR atau Corporate Social Responsibility sepatutnya membantu dana pendidikan nasional, sedangkan ormas sepatutnya berhak mendapatkan bantuan dari pemerintah. Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Dua yayasan perusahaan, yaitu Tanoto Foundation dan Sampoerna Foundation justru terdaftar di Organisasi Penggerak untuk kategori gajah atau akan mendapatkan bantuan Rp 20 miliar per tahun dari pemerintah.
Dalam merealisasikan program tersebut, Kemendikbud melibatkan ormas maupun individu yang mempunyai kapasitas untuk meningkatkan kualitas para guru melalui berbagai pelatihan. Kemendikbud bahkan mengalokasikan anggaran 567 miliar per tahun untuk membiayai pelatihan atau kegiatan yang diselenggarakan oleh organisasi terpilih.
Organisasi yang terpilih memiliki kategori yang berbeda-beda. Setidaknya dibagi menjadi tiga kategori, yakni Gajah dengan alokasi anggaran sebesar maksimal 20 miliar/tahun, Macan sebesar 5 miliar/tahun, dan Kijang sebesar 1 miliar/tahun.
Organisasi Penggerak?
Dalam pandangan penulis, aneh apabila organisasi penggerak pendidikan ini hadir berdasarkan pengalaman Indonesia yang hampir 20 tahun dianggap masih kurang memuaskan dalam meningkatkan hasil belajar siswa. Pijakan berdasar hasil skor Programme for International Student Assessment (PISA), bahwa peningkatan level dari hasil belajar di Indonesia dianggap belum memadai tentu terlalu dini. Meskipun dalam sisi pembelajaran masih belum memadai, tetapi sebetulnya jauh lebih banyak anak-anak yang mengenyam sekolah di tanah air.
Meningkatkan hasil belajar siswa Indonesia, dengan memberdayakan komunitas pendidikan Indonesia dari mana saja adalah sesuatu kebijakan yang aneh. Perubahan atau reformasi pendidikan harus dimulai dengan konsep yang jelas dari pemegang kebijakan pendidikan nasional.
Pertama, kebijakan pendidikan nasional harus fokus mereformasi pendidikan sekolah. Perubahan pendidikan dalam sekolah, barang tentu harus memenuhi prasyarat kompetensi pengajarnya. Artinya, kunci keberhasilan perubahan dalam sekolah adalah guru, bukan organisasi pendidikannya. Kedua, pendidikan berbeda dengan pemberdayaan.
Menurut Kemendikbud, organisasi penggerak pendidikan dalam membantu menginisiasi konsep Sekolah Penggerak idealnya memiliki empat komponen. Pertama, kepala sekolah yang harus memahami proses pembelajaran siswa dan mampu mengembangkan kemampuan guru dalam mengajar.
Kedua, guru yang berpihak kepada anak dan mengajar sesuai tahap perkembangan siswa. Ketiga, siswa agar senang belajar, berakhlak mulia, kritis, kreatif, dan kolaboratif. Keempat, lahir komunitas penggerak yang terdiri dari orang tua, tokoh, serta ormas penyokong sekolah dalam meningkatkan kualitas belajar siswa.
Pandangan pragmatis semacam ini mungkin bisa merusak dunia pendidikan nasional untuk masa yang akan datang. Hal tersebut akan terjadi bila tata kelola pendidikannya seperti mengelola lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Ketiga, meningkatkan kualitas belajar anak-anak Indonesia seharusnya fokus pada keterampilan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia, yakni guru bukan organisasi pendidikannya. Peran pemerintah harus terukur dalam meningkatkan kualitas dan kompetensi guru, baik dari sisi literasi, numerasi, maupun karakter. Sehingga lahirnya guru yang memiliki budaya literasi tinggi, numerasi, dan karakter kuat akan mampu membawa peningkatan kualitas pendidikan nasional.
Pendidikan nasional memiliki visi dan misi dalam meneguhkan jati diri bangsa Indonesia. Program pendidikan berbeda dengan program pemberdayaan masyarakat, yang secara masif melalui dukungan pemerintah untuk peningkatan kualitas guru dan kepala sekolah.
Pendidikan bukan semata-mata hanya berdasarkan pada model pelatihan yang dianggap efektif dalam meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar siswa. Namun, pendidikan nasional adalah pendidikan yang membangun kecerdasan, ruh, dan jati diri manusia Indonesia yang memiliki karakter kuat.
Liberalisasi Pendidikan
Menggerakkan pendidikan dengan organisasi atau individu sebagai bentuk kolaborasi antara pemerintah dengan komunitas pendidikan, tentu harus jelas ukurannya. Pendidikan nasional Indonesia tidak cukup dengan slogan perjuangan bersama, gerakan kolaborasi, dan sinergi untuk satu tujuan demi kualitas belajar anak-anak Indonesia. Benar bahwa anak-anak adalah harapan dan masa depan bangsa Indonesia, tetapi gerakan gotong-royong dalam pendidikan tidak boleh dilakukan dengan cara bebas dan liberal.
Aneh rasanya tatkala ormas diharapkan harus memberi dampak kepada guru dan kepala sekolah dalam membangun ekosistem pendidikan. Lantas, kemana peran Lembaga Pendidikan dan Tenaga Pendidikan (LPTK) nantinya?
Artinya, liberalisasi pendidikan sedang terjadi saat ini. Terbukti tatkala pemerintah bernafsu membangun pelatihan guru dengan target lebih dari 70.000 guru dan kepala sekolah serta lebih dari 12.000 sekolah. Bukti liberalisasi pendidikan terjadi ketika berbagai varian organisasi pendidikan yang tidak jelas kelamin ideologi pendidikannya justru mengawal guru dan kepala sekolah untuk membangun ekosistem pendidikan nasional.
Padahal, pendidikan tidak hanya sebatas pada organisasi pendidikan yang memberikan pelatihan dan pendampingan bagi para guru untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan peserta didik. Persoalan pendidikan nasional tidak bisa hanya diselesaikan dengan organisasi berkategori Gajah dengan anggaran Rp 20 miliar per tahun, berkategori Macan Rp 5 miliar per tahun, dan berkategori Kijang Rp 1 miliar per tahun.
Sungguh, tidak hanya watak liberalisasi pendidikan yang kini sedang melenggang, tetapi watak kapitalisme pendidikan juga menggurita dalam dunia pendidikan nasional kita.
Editor: Nirwansyah