Falsafah

Antropologi Agama: Pandangan Clifford Geertz (Bagian 1)

5 Mins read

Oleh: Muhamad Rofiq*

 

Agama adalah salah satu topik yang paling banyak dikaji dalam antropologi budaya sejak disiplin ilmu ini lahir. Sejauh ini ada banyak paradigma yang telah digagas oleh para antropolog untuk mengkaji agama. Paradigma paling awal yang mengemuka adalah paradigma evolusionis yang dianut oleh para antropolog Victorian (antropolog yang hidup di zaman ratu Inggris Victoria).

Paradigma ini mentransplantasi pandangan evolusi Charles Darwin tentang fisik manusia ke dalam bidang kebudayaan. Menurut hipotesis para antropolog penganut paradigma ini, agama berevolusi dari satu tahap ke tahap selanjutnya.

Edward Burnett Tylor, pionir ilmu antropologi budaya dan pencetus teori evolusi sosial, misalnya berpendapat bahwa semua agama, baik yang dianut oleh “manusia primitif” maupun “manusia berperadaban tinggi”, berasal dari asal usul yang sama, yaitu animisme atau kepercayaan pada arwah manusia. Ia juga berpendapat bahwa agama pada akhirnya akan mengalami perkembangan ke arah yang sama secara universal.

Senada dengan Tylor, muridnya yang bernama James Frazer, juga mempercayai adanya evolusi agama. Semua agama menurutnya berevolusi melalui tiga tahap, dimulai dari majik, bertransformasi menjadi agama, dan akan berakhir menjadi sains.

Paradigma kedua dalam bidang antropologi agama adalah paradigma fungsionalisme. Emile Durkheim, antropolog kum sosiolog yang merumuskan paradigma ini, mengkaji asal usul agama dari fungsi sosialnya. Menurutnya agama tidak berasal dari kepercayaan terhadap persoalan ketuhanan (divinity), tetapi kepercayaan terhadap sesuatu yang suci (sacred thing).

Sesuatu yang suci tersebut tidak bersifat inheren pada dirinya sendiri, melainkan lahir sebagai hasil kesepakatan anggota komunitas atau masyarakat. Dengan kata lain, sesuatu yang suci adalah konsensus masyarakat tentang norma-norma yang mengikat mereka.

Durkheim sampai pada sebuah kesimpulan bahwa agama pada dasarnya hanyalah proyeksi kolektif dari realitas sosial. Ia lahir dan eksis untuk menjalankan fungsinya, yaitu mengikat solidaritas masyarakat.

Clifford Geertz dan Paradigma Simbol  

Paradigma selanjutnya yang lahir dalam bidang antropologi agama adalah paradigma yang digagas oleh Clifford Geertz, antropolog dari Amerika Serikat yang mendalami kajian tentang Islam dan masyarakat muslim. Sebagian menyebut paradigma Geertz ini sebagai symbolic anthropology (antropologi simbol).

Hal penting yang patut dicatat adalah bahwa ide-ide Geertz tentang agama menandai lahirnya cara pandang baru yang lebih positif di kalangan antropolog dan ilmuwan sosial terhadap agama. Bagi Geertz, agama bukan sesuatu yang primitif, sebagaimana dikonsepsikan oleh Tylor, Frazer dan pemikir evolusionis lainnya. Agama juga bukan suatu ilusi, kesadaran palsu, atau ketidaklogisan sebagaimana diformulasikan oleh Karl Marx dan Sigmund Freud. Agama juga bukan sekedar proyeksi tata aturan di tengah masyarakat seperti diyakini oleh Durkheim. Agama menurutnya adalah sesuatu yang ril. Agama adalah pandangan hidup dan etos yang memiliki pengaruh positif dalam kehidupan manusia.

Baca Juga  Mengenal Lebih Dekat Filsafat Islam

Namun demikian, sekalipun konsepsi Geertz terkait agama telah beranjak secara signifikan dari posisi antropolog generasi Victorian, secara jelas dapat diidentifikasi bahwa Geertz juga menerima pengaruh dari mereka.

Sama seperti Tylor, Frazer, dan Durkheim, Geertz terobsesi untuk membuat definisi universal tentang agama. Agama menurutnya adalah fenomena lintas sejarah (transhistoris) dan lintas budaya (transkultur). Ia ada dalam sistem ruang dan waktu serta sistem kebudayaan manapun. Tidak hanya itu, esensi agama juga sama antara satu dengan yang lainnya.

Esensi agama pada abad pertengahan sama dengan esensi agama pada zaman modern. Esensi agama bagi masyarakat Amerika modern sama dengan esensi agama masyarakat Indian (suku asli benua Amerika yang tinggal di pedalaman).

Clifford Geertz mendefinisikan agama sebagai berikut. Menurutnya:

“Agama adalah sistem simbol yang menciptakan suasana hati dan motivasi yang kuat, meresap, dan tahan lama pada manusia. [Hal tersebut dilakukan] dengan menciptakan konsepsi tentang tatanan umum tentang kehidupan dan menyelimuti konsepsi tersebut dengan aura faktualitas sehingga seolah-olah suasa hati dan motivasi tersebut bersifat nyata”.

Definisi tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut. Bagi Geertz, agama adalah tentang bagaimana simbol mempengaruhi cara berfikir dan bertindak manusia. Geertz menjelaskan tentang apa yang ia maksud sebagai simbol. Simbol adalah “apa saja yang bisa melahirkan dan menciptakan makna dan konsep (symbol is a bearer of meaning and conception)”.

Simbol bisa berbentuk objek fisik (misalnya kubah masjid, tiang salib, patung Buddha), tindakan (misalnya berbicara, berjalan, berkedip, atau bahkan diam), peristiwa (misalnya hijrah nabi, penyaliban Yesus) dan hubungan (misalnya antara ayah dan anak, nabi dengan umatnya).

Simbol berperan menyampaikan pesan kepada manusia. Selain itu, simbol juga mempengaruhi dan membentuk perilaku manusia. Simbol keagamaan melahirkan perasaan, kecendrungan, kebiasaan, pemikiran, pandangan dunia, dan etos keagamaan. Singkatnya, simbol menciptakan makna.

Baca Juga  Pemikiran Politik Ibnu Rusyd: Inspirasi Demokrasi Barat

Geertz menyebut contoh seorang laki-laki dari suku Indian di Amerika yang bermimpi melihat kerbau. Ia menafsirkan kerbau tersebut sebagai pesan dari dunia leluhur yang sudah meninggal.  Dalam contoh ini, kerbau adalah simbol dan pesan dari leluhur adalah makna yang lahir dari simbol tersebut.

Contoh lain dari peran simbol dalam melahirkan makna adalah peran salib dalam agama Kristen. Bagi umat Kristiani, Salib (sebagai simbol agama) menyampaikan banyak pesan dan menciptakan pandangan dunia. Salib misalnya melahirkan makna bahwa kebahagiaan di akhirat berasal dari pengorbanan di dunia. Salib juga adalah simbol perdamaian, keselamatan dan penebusan dosa.

Demikian pula dengan contoh shalat dalam Islam. Bagi kaum muslimin, shalat diyakini dapat mendatangkan ketenangan dan mencegah perilaku negatif manusia, baik pada dirinya sendiri, orang lain, maupun pada alam.

Geertz selanjutnya berpendapat bahwa sistem simbol tersebut (maksudnya agama) ada dan lahir untuk menjawab kebutuhan manusia terkait dengan makna kehidupan. Ia menciptakan pandangan tentang tatanan keberadaan (order of existence). Dengan kata lain, agama memberi kosmologi dan filsafat kehidupan pada manusia.

Pandangan Geertz tentang peran positif agama ini tampaknya beranjak dari satu asumsi dasar bahwa kehidupan manusia pada dasarnya dipenuhi ketidakteraturan, sifat jahiliyah, kezaliman. Agama lah yang menjawab problem tersebut dengan menciptakan pandangan mengenai adanya keteraturan. Agama memberikan makna atas peristiwa apapun yang terjadi di dunia. Sebagai contoh, sakit adalah peristiwa biasa bagi orang yang tidak beragama. Tapi bagi orang yang beragama, sakit memiliki makna tertentu yang dianggap berasal dari Tuhan.

Berdasarkan pengertian agama sebagai sistem simbol di atas, dengan demikian menurut Geertz, tugas antropologi adalah menganalisis makna sebuah simbol agama pagi pemeluknya. Antropolog bertugas mengivestigasi tentang pertanyaan seputar: apa makna yang lahir dari doktrin dan ritual tertentu; apa fungsi doktrin terhadap ritual; apa fungsi doktrin agama terhadap kebudayaan masyarakat; dan seterusnya. Singkatnya, tugas antropologi agama adalah meneliti tentang efikasi sebuah simbol agama dalam masyarakat.

Baca Juga  Al-Kindi (1): Filsuf Pertama di Dunia Islam

Namun demikian, Geertz juga mengingatkan bahwa tugas para antropolog bukanlah mencari sebuah hukum yang berlaku secara universal (law) sebagaimana dilakukan oleh sains eksperimental. Tugas antropologi terbatas hanya pada tindakan menafsirkan makna sebuah simbol berdasarkan lokalitasnya. Hal tersebut disebabkan karena setiap fenomena antropologi bersifat unik dan tidak bisa ditarik menjadi sebuah hukum yang berlaku secara umum.

Hal lain terkait dengan pandangan Geertz mengenai agama adalah mengenai esensi. Agama, selain merupakan sistem simbol yang melahirkan makna, menurutnya juga memiliki esensi yang bersifat sama antara satu agama dengan agama lainnya. Esensi agama menurut Geertz adalah state of mind (apa yang ada dalam pikiran manusia) dan belief (keyakinan dalam hati). Hal lain di luar itu, seperti practice (ritual) bukan bagian dari esensi agama. Keyakinan kepada Tuhan lah menurut Geertz yang menyebabkan manusia mampu memberi makna kepada rasa sakit, penderitaan, termasuk kebingungan yang ia temui.

Oleh karena itu, Geertz juga berpendapat bahwa agama berbeda secara esensial dan kategorikal dengan aspek kehidupan lainnya: politik, hukum, sains dan common sense (cara berfikir umum). Cara berfikir agama (religious perspective) bersifat distingtif dan autonomous dari cara berfikir empat aspek tersebut.

Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa pandangan Geertz tentang esensi agama yang bersifat universal sesungguhnya tidak koheren dengan tesis nya sendiri tentang sifat ilmu antropologi. Di satu sisi Geertz menekankan keunikan setiap fenomena antropologi dan mengajak para antropolog untuk memposisikan temuan mereka sebagai sesuatu yang partikular.

Namun di sisi lain ia meyakini adanya satu unsur inti dalam setiap agama yang bersifat universal. Pandangan yang terakhir inilah yang menjadi salah satu poin yang banyak dikritik oleh para pemikir antropologi sesudahnya. Salah satu pengkritik Clifford Geertz adalah Talal Asad, antropolog yang mencangkokkan analisis tentang kekuasaan dan tindakan pendisiplinan dari Michel Foucault, ke dalam antropologi.

Kritik Asad ini kelak akan menjadi tonggak bagi lahirnya paradigma baru dalam ilmu antropologi. Paradigma tersebut disebut sebagai paradigma post-strukturalisme.

* Alumni PCIM Mesir dan anggota PCIM Amerika Serikat

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds