Falsafah

Pengakuan dan Kebebasan

3 Mins read

“Saya mungkin miskin, tetapi saya seseorang!” Demikianlah larik puisi karangan William Holmes Borders, Sr yang berupaya menjabarkan pengertian dasar dari isothymia sebagai bentuk tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan atau kebebasan dengan orang lain. Saya pun ikut menimpali sang pujangga, “Kaum miskin bukan budak yang hidup tanpa hak dan alpa dari kehendak, kemiskinan hanyalah satu implikasi dari dikendalikannya setir ekonomi oleh seorang figuran yang hak dan kehendaknya dapat dibeli, mereka itulah para budak plutokrasi yang melayani perut buncit investasi.”

Hegel dalam teksnya berjudul The Phenomenology of Sport meletakkan garis penegasan, bahwa aktivitas sejarah manusia diinjeksi oleh perjuangan untuk diakui. Baik itu setara maupun lebih unggul yang dalam bahasa Fukuyama disebut megalothyimia. Invasi atau pun pertempuran berdarah lebih banyak didorong oleh konteks kedua, yakni perjuangan demi superioritas kelompok identitas dengan budaya dan pengalaman hidup yang masing-masing kelompok berbeda.

Dalam kilas balik sejarahnya  megalothyimia-lah yang memunculkan ide tentang isothymia. Ketika pertempuran untuk diakui lebih kuat, maka hanya akan menghasilkan pengakuan yang datang dari kelompok yang kalah perang lalu menjadi budak tanpa hak apa pun. Dengan kata lain, pengakuan akan keunggulan kelompok pemenang itu ternyata berangkat dari mereka yang tidak diakui pengakuannya, dalam bahasa yang paling sederhana, pengakuan tidak berguna!

Agar perjuangan untuk mendapatkan pengakuan itu tetap berlangsung, maka para budak tersebut dipulihkan hak dan martabatnya. Pengakuan itu melalui sistem kerja dan menjadi manusia dengan kehendak bebas serta pilihan moralnya masing-masing. Dengan jalan demikianlah pengakuan akan keunggulan menjadi berarti, jika pengakuan itu didasari oleh kapasitas untuk berkehendak yang diiringi oleh inisiatif moral dari manusia-manusia merdeka.

Baca Juga  Filsafat Hellenisme: Sebuah Retrospeksi

Akhir dari perjuangan ini sejatinya hanyalah pengakuan timbal balik. Dimana kelompok yang unggul mengakui hak kelompok di bawahnya. Begitupun sebaliknya, kelompok yang kalah mengakui keunggulan  kelompok pemenang.

Kebebasan

Diskursus tentang identitas menggeliat begitu kuat pada abad dua puluh satu ini. Ketika dunia terbelah dalam dua arus besar ideologi, yaitu liberalisme (kebebasan) dan nasionalisme. Liberalisme berpangkal tolak pada cita-cita universalitas nilai tanpa batas sekaligus juga tanpa kelamin identitas yang jelas. Sedangkan nasionalisme berusaha terus memagari nilai dengan misi pelestarian kepribadian serta jati diri suatu identitas secara ketat.

Kemunculan dua ideologi ini tentu melibatkan pandangan dunianya masing-masing. Sebagaimana kehadiran liberalisme yang berupaya menggugat setiap nilai dan budaya partikular dalam pergaulan publik. Bagi kaum liberal, ruang publik haruslah bebas dari embel-embel identitas beserta partikularitas nilai yang mengikat komunitas tertentu. Sehingga pergaulan kemanusiaan dilingkupi hanya oleh percakapan rasional antara para manusia dewasa.

Karena itu, untuk menghindari mencuatnya konflik nilai dan menguatnya sikap mental etnosentris monokultural, maka menjadi perlu untuk menanggalkan identitas primordial. Hal ini demi merawat keakraban bercengkerama antara warga negara.

Ketika proyek globalisasi menggenangi separuh lebih besar alam raya yang menjadikan manusia terintegrasi. Selain itu, manusia juga berbaur dalam satu sistem dunia yang maha kompleks tanpa sehelai pun busana identitas. Oleh karena itu, muncul riak kegalauan terhadap usaha pengkaburan identitas. Dengan mendefinisikan diri sebagai gerakan kesejatian yang tiba dan membawa satu ide tentang kepribadian dan karakter diri yang dibungkus dengan nama identitas.

Solidaritas Sosial

Gerakan tersebut menggalakkan apa yang disebut oleh Durkheim, sebagai solidaritas sosial mekanik. Gerakan yang diasosiasikan oleh kesamaan kepentingan serta kesatuan perasaan dari mereka yang teralienasi dalam jeruji kebebasan. Durkheim menyebutnya dengan anomie, satu keadaan yang kacau berupa penyakit dari yang tanpa batas.

Baca Juga  Titik Temu antara Stoikisme, Islam, dan Jawa

Bagi kalangan nasionalis, setiap masyarakat lahir dan dibesarkan dengan identitas kebudayaan yang melekat dan diamini oleh komunitas tersebut. Sehingga, upaya untuk mereduksi nilai dan kebudayaan itu sama saja dengan usaha penghancuran pijakan hidup. Hal ini adalah sebuah usaha konyol yang pernah diteriakkan oleh rezim modernitas.

Identitas sudah seharusnya kita perbincangkan dengan pendekatan yang lebih inklusif deliberatif. Hal ini dimaksudkan untuk menguji batas-batas rasionalitasnya melampaui instrumen afeksi berupa emosi yang mengikat kesadaran akan solidaritas komunal. Dalam pergaulan berbangsa dan bernegara misalnya. Emosi kelompok harus ditertibkan demi terselenggaranya kehidupan yang mencerminkan keakraban, keluwesan serta inklusivitas tanpa harus memandang asesoris identitas yang melekat pada masing-masing individu.

Saling mengakui serta menghargai keberadaan masing-masing individu atau kelompok adalah titik berangkat menuju tata pergaulan hidup yang rasional dan inklusif. Bukan hanya antara warga komunitas, tetapi juga antara warga negara yang terikat dalam sistem hukum yang berlaku di satu negara. Sehingga dalam pergaulan kebangsaan tidak lagi dikenal bahasa mayoritas dan minoritas, melainkan melebur dalam simpul komitmen kebangsaan untuk bersama mengisi cita-cita kemerdekaan dengan semangat berfastabiqul khairat.

Melampaui Identitas

Bahwa kita lahir sebagai kulit hitam, putih, peranakan, pribumi, bugis, sasak, jawa, Islam, Kristen, Hindu, di saat yang sama pula kita lahir sebagai Indonesia dan warga dunia. Maka tak lagi penting warna kulit, suku, dan agama kita apa. Ketika kita sama-sama marah menyaksikan kerakusan para elit tanpa memandang busana agama dan sukunya, kita sejatinya sedang melampaui identitas komunal. Sebuah identitas yang berwawasan emosional untuk sampai pada komitmen berbangsa dan bernegara secara rasional.

Di sisi lain, identitas tidak boleh dibiarkan menundukkan manusia sebagai mesin yang manut pada hukum keseragaman. Hal tersebut menyebabkan tidak diberikannya tempat bagi inisiatif dan kehendak bebas. Memaksakan keseragaman hanyalah sinopsis singkat bagi cerita panjang penaburan bunga di atas pusara kebebasan.

Baca Juga  Al-Ghazali, ‘Illat, dan Fleksibilitas Hukum

Emile Durkheim pernah menyebut satu jenis bunuh diri, yakni bunuh diri fatalistik. Bunuh diri ini dikarenakan perasaan terkekang tanpa punya otoritas untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Padahal bagi seorang Immanuel Kant, martabat manusia diukur pada kehendaknya. Dalam konteks ini identitas malah menjebak manusia pada satu mentalitas konformis yang ingin membatasi manusia sebagai subjek yang berdaulat atas pilihan dan kehendaknya sendiri.

Demi mengakhiri perang dengan motif pengakuan dalam ramalan Hegel, identitas sudah seharusnya didefiniskan secara inklusif dengan memperhitungkan keragaman bukan keseragaman. Selain itu, juga mengakui dan menghormati keberadaan identitas manapun yang dalam aktualisasi kebangsaannya tidak mengenal istilah diktator mayoritas ataupun tirani minoritas.  

Editor: Nirwansyah

Avatar
2 posts

About author
Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Articles
Related posts
Falsafah

Tawaran Al-Jabiri Atas Pembacaan Turats

4 Mins read
Abed al-Jabiri adalah salah satu pemikir Islam yang paling dikenal di era modern. “Naqd al-Aql al-Arabi” atau proyek pemikiran “Kritik Nalar Arab”…
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds