Perspektif

Obesitas Informasi dan Influencer yang Bising

4 Mins read

Kesepakatan kolektif yang entah sejak kapan dikembangkan di media sosial adalah: di sana, pola pikir orang-orang dibentuk agar berperilaku banyak mengoceh dan sedikit mendengar—atau membaca, atau mengamati—.

Dengan praktik sosial semacam itu, pada gilirannya, bermunculan mantra baru sekitar followers, likes, hingga subscribes yang dijadikan semacam identitas, “Anda berada di level mana”. Mantra-mantra itu tak jarang pada akhirnya dijadikan pegangan yang dengan teguh dijihadkan oleh banyak warga digital. Sepertinya, jalan yang hendak, sedang, dan telah dibangun oleh entitas virtual adalah semata fantasmagoria yang meski acap samar. Namun berulang kali ditegaskan melalui tabiat para warganya.

Dunia sehari-hari kita, sesungguhnya, perlahan namun pasti, telah berubah menjadi citraan-citraan. Segala sesuatu sudah kian tampil layaknya panggung, arena, dan lapangan pertempuran yang sarat dengan kompetisi dalam tajuk duel citraan. Perihal-perihal hidup mengalami pengerutan, penyederhanaan, hingga reduksi. Kita sudah tidak lagi berjalan di kelokan teritorial yang nyata dan dapat diraba.

Kita sedang mengembara di dunia virtual yang penuh simulasi dan halusinasi. Dunia yang belum terlalu lama kita kenal ini, diciptakan dengan mengerahkan daya fantasmagoria yang semu dan tak jarang palsu. Dengan kecepatan yang amat tinggi, dunia semacam itu berhasil diciptakan secara paradoksal. Era kesejagatan—atau khalayak umumnya menyebut dengan istilah globalisasi—bahkan, sudah memulainya dengan membuat dunia kian mengecil. Ia menjadikan dunia menjadi selebar layar ponsel.

Efek yang tiba-tiba ditimbulkan tidak jauh-jauh dari kita: deteritorialisasi sosial segera berlaku dan kita semua dipaksa menikmatinya. Semakin hari kita semakin semangat melakukan penetrasi di dunia virtual sembari pelan-pelan menciptakan jarak dan jurang dalam dengan lingkungan nyata.

Pintu-pintu ke mana saja kita ciptakan berbekal kecakapan yang cukup memadai dari jari jempol untuk mengoperasikan layar virtual yang hampir tiap menit kita genggam. Dalam waktu sekejap, kita malih rupa menjadi binatang informasi yang seperti meminum air laut: kian waktu kian haus informasi dari sana.

Baca Juga  Muchlas Rowi: Muhammadiyah Harus Rebut Narasi Digital

Obesitas Informasi

Yasraf Amir Piliang menggunakan metafor obesitas informasi sebagai gambaran terkini masyarakat (digital) kita: saling terhubung—atau terikat—, berlomba dalam citra, sekaligus saling melipat di waktu yang sama. Dan dunia kontemporer kita saat ini kurang lebih adalah sekitar hal-hal itu, sebuah panggung yang diciptakan untuk menyuguhkan tontonan yang disarati oleh citraan-citraan yang timbul tenggelam secara acak dan dengan kecepatan begitu tinggi untuk menyeret kita semua dalam satu pusaran yang sarat emosi. Obesitas informasi tak lain adalah salah satu akibat dari riuh dan gemerlapnya ruang digital dengan lalu lintas yang berjejal dan penuh dengan manusia-manusia cerewet.

Nyatanya, obesitas informasi tidak saja berbahaya; ia bahkan sudah memiliki bakat untuk memproduksi simulakrum—istilah yang digunakan sejak Plato untuk memberi terminologi terhadap tiruan dari sesuatu yang asli—berikut potensi ekstase yang berlebihan dan over dosis.

Obesitas informasi kemudian berupaya menciptakan ruang-ruang hiperrealitas yang memaksa para penghuninya untuk larut dalam langgam yang, entah siapa yang memulai, pada akhirnya tercipta.

Sesudah itu, umat manusia kemudian menjelma menjadi mesin-mesin informasi yang secara tak sadar dikendalikan melalui remot dari balik layar dan tak kasatmata, hingga, kadang kala secara mengejutkan menunjuk diri mereka sendiri menjadi juru bicara untuk isu-isu terkini hingga teori konspirasi.

Influencer yang Bergeliat

Dunia digital pada tahap selanjutnya melahirkan apa yang sekarang ramai-ramai kita sebut sebagai pemengaruh—khazanah bahasa Indonesia menunjuk influencer sebagai padanan katanya—yang dalam sekejap berubah wujud menjadi orang yang serbatahu, yang oleh karenanya merasa berhak berbicara tentang apa saja. Bahkan untuk perihal tertentu yang memerlukan keahlian khusus dan hasil dari proses belajar tekun dalam kurun lama.

Baca Juga  Bubarkan Menwa?

Influencer, yang biasanya berpengikut banyak di media sosial dan memiliki tingkat resonansi yang tinggi, mencitrakan diri sebagai figur publik yang untuk itu memosisikan diri sebagai pihak segala sumber: fesyennya menjadi rujukan; gayanya menjadi panutan; ocehannya menjadi patokan.

Dengan dasar pengetahuan yang umumnya mencemaskan itulah, rata-rata mereka meneriakkan apa saja yang barangkali mengandung nilai jual tinggi. Nilai jual ini tentu bisa apa saja: sosial, politik, hingga ekonomi. Celakanya, kebanyakan warganet memercayai dengan membabi buta seraya menciptakan sekat-sekat baru.

Lihatlah, hampir tiap hari kita disibukkan dengan perihal apa yang sedang ramai dibicarakan di sana: topik apa yang sedang trending. Dan tahukah, umumnya topik itu, dengan memanfaatkan kemampuan algoritma media sosial diciptakan sendiri oleh mereka! Pada akhirnya, bila teriakan mereka menjadi viral—mantra lain dari dunia digital yang tak kalah menggiurkan—satu tahap derajat sosial telah mereka rengkuh. Dan ruang virtual kita, penuh sesak dijejal oleh hal-hal viral semacam itu, kendati tak sedikit yang picisan.

Kecerewetan para Influencer kian menjadi-jadi tatkala sedang ada isu tertentu dan ramai dibincangkan apalagi dengan tingkat trending yang tinggi. Rasanya, mereka harus tampil di barisan depan sembari menghunus senjata andalan mereka: akun media sosial bercentang biru dengan pengikut berjubel.

Para Influencer yang Bising

Hingga pada akhirnya, bila apa yang mereka ocehkan ternyata di kemudian hari disadari sebagai kebodohan yang fatal—oleh sebab dasar pengetahuan yang mencemaskan tadi—sehingga menciptakan kebisingan dan kegaduhan yang tak perlu, toh, rumusnya sederhana saja: klarifikasi dan meminta maaf. Kalau besok-besok menciptakan kegaduhan lagi, tinggal mengulangi siklus pengetahuan mencemaskan-membuat bising-klarifikasi-minta maaf. Lalu berulang lagi.

Media virtual sebagai panggung simulasi pada gilirannya melahirkan kesadisan para binatang informasi dengan berbagai bentuk dan model. Wujudnya bisa beraneka rupa. Kendati situasi ini berpotensi mengacaukan lalu lintas sosial kita, pada titik tertentu, kita—entah sadar atau tidak—justru menikmatinya.

Baca Juga  Informasi: Yakin Sebarkan, Ragu Abaikan

Hari-hari kita senantiasa berdampingan dengan para Influencer. Yang oleh karenanya, pelan-pelan kita ternyata mampu beradaptasi dengan pola perilaku sosial semacam itu. Kebisingan-kebisingan yang mereka ciptakan, nyatanya ada pula yang justru membuat semacam medan-medan pertempuran ide dan gagasan di sana menjadi kian seru. Setidaknya bagi mereka yang menyenangi keriuhan.

Tapi sampai di sini, rasanya impitan para Influencer dalam wilayah sosial kita, perlu disikapi. Bukan hanya semata sebab mengganggu, lebih dari itu, kehadiran mereka rasanya sudah berada pada tingkat meresahkan.

Mereka bukan saja berupaya merusak tatanan ruang akademik yang telah dibangun sejak sekian lama dan berdarah-darah, tetapi juga mencemari ekosistem intelektual yang dengan kesadaran penuh mereka lakukan bahkan dengan cara mengacaukan iklim berpikir orang ramai.

Maka, kini sudah saatnya dikumandangkan. Kita harus mulai menciptakan jarak yang cukup dengan Influencer yang gemar berkhotbah dengan dasar pengetahuan yang berada pada titik mencemaskan. Setidaknya agar akal sehat kita tidak senantiasa dihina.

Editor: Yahya FR
Avatar
4 posts

About author
Dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Dapat ditemui di @anfradana.
Articles
Related posts
Perspektif

Tunisia dan Indonesia: Jauh Secara Jarak tapi Dekat Secara Kebudayaan

2 Mins read
“Tunisia dan Indonesia Jauh secara Jarak tetapi dekat secara Kebudayaan”, tetapi sebaliknya “Tunisia dan Eropa itu jaraknya dekat, tapi jauh secara Kebudayaan”…
Perspektif

Gelombang Protes dari Dunia Kampus Menguat, Akankah Terjadi 'American Spring'?

4 Mins read
Pada tahun 2010-2011 terjadi demonstrasi besar-besaran di sejumlah negara Arab. Protes tersebut menuntut pemerintahan segera diganti karena dianggap tidak lagi ‘pro-rakyat’. Protes…
Perspektif

Buat Akademisi, Stop Nyinyir Terhadap Artis!

3 Mins read
Sebagai seorang akademisi, saya cukup miris, heran, dan sekaligus terusik dengan sebagian rekan akademisi lain yang memandang rendah profesi artis. Ungkapan-ungkapan sinis…