Garam Lokal, Menjadi Asing di Negeri Asal — Dahulu kala, konon katanya bangsa ini adalah bangsa yang piawai dalam melaut. Bahkan, ekspansinya telah merambah hingga ke negeri-negeri di benua Afrika sana. Sebut saja Republik Madagaskar, negeri yang terletak kurang lebih 8.000 kilometer di sana disebut sebagai bentuk ekspansi kapal yang pernah dilakukan bangsa ini.
Penelitian Massey University mengungkapkan, akar DNA orang Madagaskar berasal dari Nusantara. Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3/2012), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.
Bukan hanya Madagaskar saja. Dari beberapa catatan kepustakaan bahari, nenek moyang bangsa ini telah menaklukkan beberapa perairan menggunakan kapal-kapal tradisional. Konon, secara rutin mereka telah mengunjungi Tiongkok, Birma, Srilanka, dan Australia. Bahkan, beberapa ahli mengakui ketangguhan nenek moyang kita dalam hal kelautan jauh lebih dulu dibanding para pelaut Eropa yang termahsyur namanya.
Kapal Tradisional dan Garam Lokal di Indonesia
Kapal-kapal tradisional dari Nusantara pun telah mendapat tempat di dunia berkat ketangguhannya dalam menaklukkan lautan di dunia. Sebut saja kapal pinisi dan perahu sandeq. 2 kendaraan laut ini telah menjadi kebanggaan masyarakat daerah tempat asalnya.
Ada yang menarik dari pembuatan kapal pinisi. Kapal ini dirangkai tanpa menggunakan paku, melainkan seluruhnya dibuat menggunakan kayu. Walaupun begitu, ketangguhan kapal yang pusat pembuatannya beberapa daerah di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan ini, telah terbukti mampu menaklukan samudra.
Tak kalah hebat dari itu, salah satu kebanggaan pelaut mandar, yakni kapal sandeq. Walaupun tidak sampai digunakan untuk menaklukkan, sandeq menjadi begitu fenomenal karena kecepatannya yang dapat mencapai 15-30 knot tanpa menggunakan mesin sama sekali dan hanya mengandalkan hembusan angin. Festival perahu sandeq pun rutin digelar pada bulan Agustus untuk merayakan kemerdekaan Indonesia, walau tahun ini batal akibat pandemi.
Selain dua kendaraan laut tersebut, masih banyak lagi kapal maupun perahu yang dapat merepresentasikan kemampuan bahari bangsa ini. Echiro Oda nampaknya sekali dua kali harus datang dan mempelajari budaya bahari di Nusantara sebagai inspirasi ke depannya untuk perjalanan Luffy dan kawan kawan.
Namun, nampaknya kemampuan nenek moyang kita hanya menjadi kisah kisah dongeng sebelum tidur. Bagaimana tidak? Kondisi pelaut yang kesulitan mengikuti perkembangan globalisasi modern, dan para pemangku kekuasaan yang sibuk menjual garis pantai dan lautan kepada para investor asing tanpa menghiraukan dampak ekologis; disinyalir menjadi awal mula kemunduran dari kemasyhuran bangsa ini dalam melaut.
Pemanfaatan bahari bangsa ini pada era sekarang telah mencapai titik keanehan ketika mengimpor garam hingga 75.000 ton dari Australia pada tahun 2017. Ironi memang persoalan garam ini, ketika menyadari negara ini adalah negara maritim dengan panjang pantai 99.903 kilometer, terpanjang kedua di dunia.
Belum lagi maraknya konflik nelayan dengan perusahaan perusahaan. Baik itu perusahaan yang hendak mengadakan reklamasi, perusahaan penambang pasir, atau perusahaan-perusahaan dengan niatan lainnya. Olehnya itu, kriminalisasi nelayan menjadi hal biasa.
Konflik Penangkapan Nelayan Kodingareng
Masih terjadi saat ini, penangkapan nelayan Kodingareng yang menolak perusahaan tambang PT Royal Borkalis. Bahkan diketahui dari akun instagram @LBHMakassar, hingga saat ini beberapa kali terjadi penenggelaman kapal nelayan.
Sebut saja Pak Manre yang menjadi korban ketidakadilan hukum itu. Pak Manre dan dua nelayan lainnya dipolisikan terkait aksinya yang dianggap melakukan perobekan mata uang sesuai ayat (1) UU No. 7 tahun 2011 tentang mata uang.
Dikutip dari laman terkini.id, peristiwa terjadi merupakan buntut dari penolakan nelayan terhadap pemberian amplop oleh perusahaan. Kasus tersebut bermula saat pihak Boskalis mengajak 4 nelayan untuk survei lokasi titik tambang. Sepulang dari itu, salah seorang nelayan diberi amplop yang masih tersegel.
Menurut keterangan nelayan, Edy (LBH Makassar) mengatakan, para nelayan tak mengetahui isi amplop tersebut. “Apakah uang, cek, atau dollar. Dia tidak tahu apa isinya itu amplop. Yang mereka tahu itu hanya ganti rugi dari Boskalis karena nelayan tidak melaut,” katanya.
Lanjut Edy, kasus perobekan amplop terjadi saat nelayan berkumpul. Salah seorang nelayan yang menerima amplop tersebut meletakkan ke tanah dengan kondisi masih tersegel. “Catatannya, amplop masih tersegel, ratusan masyarakat berteriak robek itu amplop dengan bahasa Makassar. Itu sebagai simbol masyarakat menolak sogokan dari Boskalis,” ungkapnya.
Uniknya, dari beberapa peristiwa yang terjadi, Polair yang diharap mampu membersamai masyarakat atau setidaknya menjadi penengah itu kemudian hadir sebagai tameng oligarki.
Hukum yang kemudian diharap hadir sebagai penegak keadilan dan dirasai sebagai penolong rakyat kecil itu digunakan sebagai ukung tombak pembasmi perlawanan.
Dikutip dari laman lbhmakassar.org bahwa kasus yang terjadi terhadap dianggap merupakan kesewenang wenangan Polair terhadap nelayan, karena menyalahi prinsip fair trial; yakni hak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang bisa dimengerti perihal pemanggilan terhadap dirinya sebagai Tersangka; hak untuk menghubungi Penasehat Hukumnya pada setiap proses penyidikan.
Kriminalisasi Nelayan dan Hukum yang Disalahgunakan
Keterlaluan memang! Mengingat Pak Manre dan nelayan lainnya bukanlah kriminal, yang bahkan seorang kriminal pun tidak layak diperlakukan seperti itu. Pelanggaran yang dilakukan Pak Manre pun selayaknya merupakan suatu hal yang dipaksakan. Benar saja yang dikatakan oleh John Locke, bahwa hukum harus hadir agar nantinya para penguasa tidak sewenang-wenang dalam mengambil keputusan.
Dalam panduan hidup Buya Hamka yang tertuang manis dalam bukunya “Lembaga Hidup”, beliau mengajarkan tentang hak dan kewajiban.
Hak manusia memakan ikan, hak para nelayan mengambil ikan dan diamini oleh regulasi UUD 1945 Pasal 33 ayat 2, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Kewajiban kita sebagai manusia untuk menjaga dan melestarikan laut, kewajiban nelayan menjaga lautnya tetap lestari.
Namun, beribu sayang. Jika para pembaca yang budiman sekalian mengikuti Ekspedisi Indonesia Biru yang diinisiasi oleh kanal Youtube bernama Watchdoc Image, adalah hal yang biasa terjadi kriminalisasi terhadap para nelayan yang notabene sebagai penyuplai pasokan ikan segar ke pasaran.
Pola yang terjadi pun selalu sama. Terjadi perusakan laut oleh perusahaan, nelayan dirugikan, nelayan protes, pemrotes ditangkap. Selalu terjadi secara berulang. Seharusnya dewasa ini, mereka dapat hidup sejahtera menghasilkan pundi-pundi uang yang tidak sedikit dari melaut.
Garam Lokal yang Asing di Negeri Asal
Dahulu, negeri ini dikenang karena kemampuannya melaut. Mungkin tidak lama lagi, negeri ini akan dikenal dalam kemampuannya membungkam para pelaut.
Seakan ditaburi garam di atas identitas sendiri. Kita yang berseberangan dengan penguasa dijadikan asing di negeri asal. Janganlah sampai Pancasila hanya jadi pengobat rindu bagi kaum tertindas. Bukankah keadilan sosial diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia?
Negeri ini tidak pernah kekuarangan sumber daya alam, pun tidak akan kehilangan sumber daya manusia. Mungkin kita hanya lupa cara bermoral. Bukankah suatu hal yang menyenangkan ketika alam menjadi lestari, manusianya pun hidup damai.
Editor: Zahra