Oleh: Hasnan Bachtiar
Sebelum memulai diskusi mengenai hal penting ini, perkenankan untuk mengucapkan Selamat Ulang Tahun yang ke-58 untuk Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM). Para aktivis IPM inilah yang sesungguhnya akan menanggung tampuk kepemimpinan umat nanti, sekurang-kurangnya menuju setengah abad dari sekarang. Tetapi ingat, ini tugas yang sangat berat!
Mengapa bukan Pemuda Muhammadiyah, Nasyiatul Aisyiyah, atau bahkan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM)? Mereka memiliki tugas mulia lainnya, yakni sebagai transmitter risalah kepemimpinan yang dimaksud. Bukan dalam pola estafet yang diberikan dari generasi ke generasi berikutnya. Tetapi dalam pola pengkondisian yang berusaha mempersiapkan kondisi, lingkungan, keadaan dan fasilitas-fasilitas yang diperlukan.
Sejatinya, segala ikhitar dan hubungan antar-ortom di bawah naungan Muhammadiyah ini, tergambar seperti hubungan antara kakak dan adiknya dalam pertalian persaudaraan Islam berkemajuan. Jika para aktivis IPM berusia belasan tahun saat ini, saat 2050, mereka akan berusia 30 tahunan. Ini usia emas di mana puncak produktivitas telah ditapaki. Trend para tokoh yang sukses secara umum, memang meraih puncak di awal usia 30 tahunan ini. Lalu dua dekade kemudian, di mana tepat generasi ini melewati setengah abad pertama, maka merekalah yang akan menjadi para pemimpin Muhammadiyah, pemimpin bangsa dan pemimpin sistem pemerintahan yang ada.
Keberagamaan yang Teguh
Modal yang harus dipersiapkan tentu saja yang pertama-tama adalah modal keberagamaan yang teguh. Generasi penanggung misi profetik selanjutnya (Muhammadiyah, baca: pengikut Muhammad) harus rela menghabiskan waktunya untuk mempelajari agama, nilai-nilainya, tafsirannya, filsafat dan metodologinya, serta manifestasi dan kontekstualisasinya sehingga senantiasa relevan dengan semangat zaman, ruang dan waktu (kekinian dan kedisinian, serta bagian-bagian yang membuatnya mengglobal).
Pemahaman agama yang mendalam dan luas, harus tampak bercahaya melalui sikap, tutur dan perilaku sehari-hari dengan akhlak yang karimah. Teladan yang “diusahakan” bersifat luhur dan mulia. Generasi masa depan ini bukan hanya sekedar cerdas, pandai, brilian dan beradab, namun juga peka dan mampu merasakan (dari lubuk hatinya yang terdalam yang berurat-akar) pentingnya menjunjung martabat kemanusiaan, sustainabilitas alam dan menikmati transendensi (segala-gala yang bersumber dari-Nya, akan bermuara kepada-Nya pula).
Mengapa hal-ihwal mengenai norma-norma etis ini penting, karena tantangan zaman yang mereka hadapi akan semakin berat dan pelik. Kendati saat ini kita berada di palang pintu teknologi 4.0, di tengah-tengah pemanfaatan big data dan pengembangan artificial intelligence, serta berlangsungnya perubahan iklim yang ekstrem, kerusakan lingkungan yang parah dan disertai dengan perubahan perilaku kompetitif manusia menuju kepada trend kebinatangan, kita akan menyongsong zaman baru dengan peluang-peluang dan harapan yang baru pula.
Hidup saat ini sudah semakin “bergantung” dengan teknologi yang dikendalikan oleh algoritma program canggih, yang mempertipis batas antara alam maya (cyberspace) dan alam nyata (real-space). Dalam konteks ini, siapa pengendali program-program itulah yang mampu mengendalikan dunia: peradaban, keadaban, perdamaian dan kebajikan.
Tatkala “segala-gala” tentang kehidupan dan identitas individu-individu secara global telah direkam dengan (semakin) sempurna oleh penyimpan data super besar, lalu segala perkara manajerial, penggunaan, pemilikan, pemanfaatan dan penentuan takdirnya (pembuatan dan penghancuran) dikendalikan oleh kecerdasan buatan, di saat itu pula “dunia” (perilaku manusia dalam hal politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan lain sebagainya dan seterusnya) tidak bisa sedetikpun bersembunyi atau bahkan menghilang dari pengetahuan super canggih ini. Teknologi data yang lebih maju, berperan seperti malaikat munkar dan nakir.
Dalam konteks ini, semakin individu-individu memiliki kemampuan mengakses teknologi di tingkatan yang paling fundamental, semakin penting pula peran-perannya dalam menentukan laju kehidupan.
Perubahan iklim, destruktivikasi lingkungan dan perayaan perilaku kebinatangan dalam seluruh aspek kehidupan saat ini sudah semakin parah, dan akan bertambah-tambah keparahannya sehingga semakin memperpendek jarak manusia dengan kehancuran alam semesta ini (kiamat). Dulu sungai-sungai kecil di kampung-kampung di Jawa misalnya, memiliki kualitas air yang sangat bersih, bisa diminum dan menjadi tempat hidup pelbagai jenis biota air sungai. Sekarang? Penuh sampah, limbah, beracun, berbahaya, menjijikkan dan sama sekali tidak sedap dipandang mata. Tidak berhenti di sini, polusi ini bukan sekedar mengotori udara, daratan, sungai dan lautan, tetapi juga alam maya, televisi, media dan lain sebagainya, melalui perilaku-perilaku tak terpuji orang-orang terkenal dan terkemuka.
Tidak dapat dipungkiri bahwa, perkara ini berkaitan erat dengan masalah gaya hidup manusia (membuat, merusak dan tidak bertanggungjawab, bersikap masa bodoh), pemanfaatan energi (eksploitasi hasil bumi), kebijakan politik nasional, regional dan internasional. Lalu diperberat oleh kontestasi politik dan ekonomi global.
Dalam konteks ini, semakin tidak jelas siapa yang memiliki kendali yang lebih signifikan dibanding yang lainnya. Akan tetapi, para pemilik kapital yang didukung kekuatan militer yang digdaya di muka bumi inilah, memiliki sedikit-banyak, peran untuk menjadikan alam ini lestari atau sebaliknya, perdamaian atau perang, pemusnahan massal atau survivaldemi mempertahankan ras manusia. Secara lebih spesifik, para pemilik dan pengendali teknologi nuklir (termasuk senjata nuklir) yang paling bertanggungjawab atas nasib dunia selanjutnya.
Bonus Kepemimpinan
Dalam konteks nasional, Indonesia diramalkan akan mendapatkan bonus demografi pada sekitar 2050; di mana di dalamnya – saya yakin – para aktivis Muhammadiyah (yang saat ini berasal dari IPM) memiliki kesempatan untuk mendominasi formasi elit nasional. Saat itu, oleh karena investasi yang dilakukan saat ini – baik itu melalui pembangunan infrastruktur dan sumber daya manusia – maka pertumbuhan ekonomi, kesejahteraan, kualitas demokrasi, keadilan dan kemerdekaan sosial (civil liberty) akan dipanen. Indonesia sendiri menurut perhitungan rasional (di atas kertas) akan menjadi negara terbesar ketiga di dunia, setelah Amerika dan Tiongkok.
Tentu perhitungan tersebut bukanlah hal yang mustahil. Akan tetapi, segala kemungkinan akan tetap bisa terjadi, terutama oleh karena kompleksitas masalah “global, regional dan nasional” yang dihadapi. Apa saja yang nanti akan terjadi, ditentukan oleh kontestasi penguasaan teknologi, energi, kapital, politik dan persenjataan pemusnah massal, tentu jika hal ini mengabaikan masalah-masalah seperti bencana alam dan hal-hal lain sejenisnya.
Karena itulah, sejak saat ini, para aktivis IPM harus didorong untuk bukan hanya menguasai ajaran agama Islam dengan baik, namun juga wawasan dan pendalaman mengenai masa depan sustainabilitas kehidupan manusia dan bumi ini. Maka, penting kiranya mereka juga mulai secara serius menempa diri dalam bidang-bidang seperti data technology, artificial intelligence, international relations, global political economy,defense and strategic studies, nuclear science and technology, nano science and technology, renewable and sustainable energy, ecology and environmentalism.
Akhirnya, “Mempersiapkan diri menjadi pemimpin itu berat, biar IPM saja.”
Penulis adalah Dosen HKI-FAI UMM, Aktivis IMM & JIMM, Founder RGST