Perspektif

Ragam Pemaknaan Terhadap Kata ‘Anjay’

3 Mins read

Bila ada perihal yang patut kita amati lebih serius di tengah situasi sosial yang serba tak tentu ini, maka kegaduhan beberapa hari terakhir soal penggunaan kata ‘anjay’ bisa dipertimbangkan menjadi salah satu di antaranya.

Adalah Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) yang menerbitkan pers rilis mengenai imbauan untuk menghentikan penggunaan kata ‘anjay’. Dinilai bisa bermakna negatif, dapat merendahkan martabat seseorang, hingga salah satu bentuk kekerasan verbal, ‘anjay’ diserukan untuk berhenti digunakan. Terutama di media sosial.

Asal-usul Kata ‘Anjay’

Ditinjau dari asal-usulnya, ‘anjay’ merupakan pelesetan dari binatang berkaki empat yang biasanya menggonggong: anjing. Penghalusan dari kata ‘anjing’ menjadi ‘anjay’ ini, bahkan sesungguhnya, dapat dipandang sebagai salah satu bentuk kreativitas manusia sebagai anggota masyarakat bahasa.

Oleh karena ‘anjing’ dirasa terlalu kasar, maka diciptakanlah ‘anjay’ sebagai pengganti. Dalam kajian linguistik, disebut eufemisme. Maka muncullah satu topik yang mencirikan bahasa sebagai sesuatu yang bersifat dinamis. Bahasa adalah sistem yang memuai dan akan selalu mengalami perubahan—baik pola maupun bentuknya—mengikuti arus perubahan zaman di waktu dan tempat ia digunakan.

Maka seperti biasa, jagat media sosial menjadi riuh gara-gara persoalan ini. Warganet saling berebut ruang untuk mengamplifikasi gagasan masing-masing. Para ahli dan pemerhati bahasa lalu turut ambil bagian: ada yang sejalan, ada pula yang beda pandangan mengenai penggunaan ‘anjay’ berikut jabaran tafsirnya. Tapi untung, sepertinya belum banyak pemengaruh (influencer)  yang turut ambil bagian. Tumben.

Penafsiran Terhadap Bahasa

Dari sekian banyak tafsir yang bejibun di media sosial, tampaknya anjuran Ivan Lanin—Wikipediawan pecinta bahasa Indonesia terkemuka itu—dapat diimani sebagai landasan awal dalam membaca fenomena sekitar polemik ini.

Kata, kata Uda Ivan, adalah netral belaka. Tafsir manusialah yang kemudian membuatnya memihak. Kata, betapapun tidak diciptakan di ruang hampa, ia tetap saja memiliki sifat dasar sebagai peranti yang tak memihak. Kemudian, muncullah beragam aspek kebahasaan yang membuatnya tidak lagi netral: misalnya oleh karena ragam dan laras bahasa.

Baca Juga  Kiat Menulis Skripsi (3): Teliti Mengedit dan Baik pada Pembimbing

Ragam bahasa lisan, pada tataran praktiknya, bisa jadi tafsir atasnya akan berbeda sama sekali dengan ragam bahasa tulis. Ragam bahasa lisan akan selalu diikuti oleh ruang dan waktu ketika ia disampaikan, berikut urusan-urusan teknis lain semacam logat, kekhasan tertentu, hingga intonasi. Hal ini tidak—atau belum tentu—akan ditemukan pada ragam bahasa tulis.

Inilah yang dimaksud dengan tafsir manusia atas bahasa itu. Kata, yang dalam ragam bahasa tulis kemungkinan besar akan berhenti sebagai “teks”, tidak demikian dengan ragam bahasa lisan: akan selalu muncul cabang-cabang pemaknaan sebagai hasil dari tafsiran manusia.

Bahasa, betapapun ia arbitrer—mana suka, ditentukan secara acak, dan tanpa perlu alasan—, pada dasarnya adalah hasil kesepakatan yang diciptakan oleh masyarakat bahasa sebagai alat komunikasi dan pendefinisian jati diri. Konsensus yang dihasilkan oleh warga bahasa itulah yang pada akhirnya menjadi semacam alat ukur identitas suatu entitas.

Jadi, biasanya, bahasa dapat digunakan sebagai kekhasan suatu komunitas masyarakat dengan penggunaan kata tertentu sebagai pembeda dengan komunitas lain. Kendati untuk hal yang sesungguhnya sama, sebagai bagian dari upaya identifikasi diri.

Pemaknaan ‘Anjay’

Pada pemakaian kata ‘anjay’ sesungguhnya dapat dipahami sebagai semata-mata bagian dari proses identifikasi diri oleh pencipta dan penggunanya. Sepanjang masing-masing anggota masyarakat bahasa pengguna ‘anjay’ saling memahami dan saling menerima maksud dan tujuan digunakannya kata itu sebagai bagian dalam proses komunikasi, seharusnya tidak ada masalah. Ini dalam rangka mengingatkan kepada orang ramai bahwa sifat dasar bahasa adalah arbitrer. Soal ternyata ‘anjay’ adalah pelesetan dari kata ‘anjing’, rasanya itu persoalan lain.

Di Jawa Timur, misalnya, sudah sejak lama ada kata ‘jancuk’ yang dimaknai sebagai umpatan dan makian, bila diucapkan dalam situasi dan kondisi semisal emosi. Tapi ketahuilah bahwa ‘jancuk’ atau ‘cuk’ dalam titik tertentu bisa digunakan sebagai pengantar untuk ungkapan kekaguman, misalnya.

Baca Juga  Bulan Ramadhan dan  Etos Perjuangan

Kekaguman, di Jawa Timur, dapat diungkapkan dengan kalimat seperti ini: “Jancuk, anak ini memang pandai!”. Seruan ini kurang lebih akan setara dengan, “Amboi, anak ini memang pandai!”. Apakah ‘jancuk’ pada kalimat itu berpotensi menyinggung perasaan? Rasanya tidak. Tetapi bahwa ‘jancuk’ diidentifikasi sebagai kata umpatan dan makian, rasanya itu persoalan lain. Toh, kalimat-kalimat “baik” jika diungkapkan dalam situasi emosi bisa pula mengarah kepada makna negatif.

Makna Bahasa yang Dinamis

Kata, sesungguhnya tidak serta-merta berhenti sebagai “kata”. Selalu ada konteks yang akan setia menyertainya saat ia dilafalkan. Didukung dengan ekspresi yang mengiringinya, tafsir atas kata bisa ke mana saja. Satu kata berpotensi memiliki tafsir atas ekspresi yang sekian banyak jumlahnya. Maka di sinilah pentingnya meletakkan tanda baca dan intonasi yang pas dan sesuai dengan kehendak pelafal. Sehingga tafsir atas suatu kata—apalagi setelah menjadi kalimat—menjadi amat tak terhingga, bergantung konteksnya. Bergantung ruang dan waktu pelafalannya.

Pemerian ini harus ditutup dengan satu konsep yang sejak lama diimani para ahli bahasa, bahwa bahasa memiliki sifat mutlak yang dinamis. Hal ini nyaris tak dapat dibendung mengingat situasi sosial umat manusia sebagai anggota masyarakat bahasa juga berkembang sedemikian dinamis.

Perkembangan bahasa mustahil dapat berhenti pada titik baku tertentu sehingga ia menjadi stagnan sepanjang kehidupan manusia tetap berjalan. Bahasa akan senantiasa mengikuti garis alur yang seiring dan searah dengan keberadaan manusia sebagai pranata budaya.

Maka sangat mungkin besok atau lusa akan tercipta lagi kata baru yang bisa dianggap bermakna negatif, merendahkan martabat seseorang, dan bentuk kekerasan verbal. Lalu Komnas PA akan menerbitkan pers rilis lagi.

Editor: Yahya FR

Avatar
4 posts

About author
Dosen dan peneliti Universitas Muhammadiyah Sidoarjo. Dapat ditemui di @anfradana.
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

This will close in 0 seconds