Satu jargon yang cukup menggugah yaitu, “Manusia adalah makhluk sosial bukan makluk media sosial” sangat menarik bukan?. Pembicaraan tentang manusia sudah tidak tabu lagi, baik di era kolonial maupun era milenial.
Dari zaman baheula hingga sekarang, interpretasi terkait manusia yang dikemukakan para ahli sangatlah banyak. Kata yang tidak asing terdengar oleh kita adalah manusia merupakan makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Dikatakan makhluk individu karena ia memiliki karakter yang unik (dibekali akal) berbeda dengan makhluk lain. Dengan itu ia bisa bebas melakukan sesuatu sesuai kehendaknya.
Dikatakan makhluk sosial, karena ia membutuhkan makhluk lain. Aristoteles mengemukakan bahwa manusia membutuhkan kebersamaan dalam keberlangsungan hidup, selalu ingin bergaul, dan berkumpul (kategori Zoon Politicon).
Terlepas dari hal itu, manusia dalam bahasa arab disebut insan yang berarti lupa, dalam bahasa Sanskerta disebut “Manu”, dalam bahasa latin disebut “Mens” yang berarti berakal, berpikir atau berakal budi yang mampu menguasai makhluk lain.
Menurut Omar Muhammad Al-Toumy[1]; manusia adalah makhluk yang paling mulia, makhluk berpikir, makhluk yang memiliki tiga dimensi, yaitu dimensi biologis, rohani, dan akal.
Pertama, secara biologis menurut Sokrates, manusia adalah makhluk hidup yang berkaki dua, tidak berbulu dengan kuku datar dan lebar.
Kedua, manusia dalam dimensi kerohanian merupakan konsep jiwa yang berfariasi dan terdiri dari dua unsur yang kesatuannya tidak dinyatakan. Hal ini didefinisikan oleh Kees Bertens.
Ketiga, ada istilah “الإنسان حيوان التاطق” (manusia adalah hewan yang berbicara). Maksudnya adalah makhluk yang diberi akal untuk berfikir.
Manusia adalah makhluk (isim maf’ul) berasal dari kata khalqun , atinya diciptakan. Sesuatu yang diciptakan tentu ada yang menciptakan. Umat islam percaya bahawa yang menciptakan itu adalah Dzat yang maha tunggal yaitu Allah SWT.
Oleh karena itu, manusia adalah makhluk atau yang diciptakan, maka harus siap mengemban tugas yang diberikan oleh sang pencipta. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S Adz-Dzaariat ayat 56, “Tidaklah aku ciptakan Jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepaku” .
Manusia dalam Konsep Khalqun (ciptaan)
Dilihat dari asal kata manusia dalam konsep khalqun, dapat diartikan bahwa manusia diciptakan dalam bentuk fisik, rupa, jasad dan sesuatu yang bersifat material. Sebaik apapun bentuk manusia dan sejelek apapun ia, kita tidak boleh mengkritik, mencela, apalagi menghina karena, semua adalah qudrat Allah SWT untuk hamba-Nya.
Manusia sangatlah beragam cirinya, ada yang putih, hitam, kurus, gemuk, dan lain sebagainya. Jika ada salah satu dari hamba-Nya menghina makhluq (manusia) lain, seperti ucapan; “Kok hidungnya pesek ya, dasar hitam jelek bau lagi!”. Sedang ucapan itu terdengar olehnya, lalu ia measa tersakiti (terzalimi), maka hal tersebut sangat fatal akibatnya.
Aneh rasanya, manusia yang notabenenya sebagai makhluk (yang diciptakan) meremehkan atau menghina makhluk lain. Karena yang diciptakan tidaklah pantas merasa lebih hebat (sombong) atau merasa lebih baik dari lainnya, sebab adanya sesuatu yang diciptakan dimuka bumi pasti ada yang menciptakan. Maka, kesombongan selayaknya hanya milik Allah SWT, Karena posisinya sebagai Sang Khalik (Pencipta).
Manusia dalam Konsep Khuluqun (akhlak)
Dalam konteks khuluqun (akhlaq), tentu berbeda halnya dengan khalqun (ciptaan), karena sejatinya akhlak (Khuluq) bersifat pribadi (bathin , baik buruknya bisa dirubah tergantung dari orang itu sendiri, Sedangkan khalqun bersifat fisik (Dzahir) yang terlihat jelas dan tidak bisa dirubah (meskipun bisa melakukan operasi plastik ).
Secara bahasa akhlak berarti tingkah laku, perangai, tabiat, atau etika. Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali akhlak adalah tingkah laku yang melekat pada diri seseorang dan dapat memicu perbuatan baik tanpa mempertimbangkan pikiran terlebih dahulu.
Jika memahami manusia dari posisi ini, maka pujian, celaan, sanjungan adalah sesuatu yang tidak perlu dipermasalahkan. Seperti ungkapan yang menyatakan, “Si A akhlaknya kurang baik, tidak sopan, dan lain-lain”. Toh, melontarkan pernyataan tersebut tidak dengan maksud menghina manusia dalam ciptaan fisik.
Perlu digaris bawahi bahwa kita boleh membenci sifat, watak, ataupun prilaku seseorang, namun tidak halnya membenci orangnya. Tentunya, jika kita merasa tidak memiliki etika, moral, ataupun akhlak, maka kita lebih bisa mengevaluasi dan mengintrospeksi diri menjadi pribadi yang lebih baik.
Dua sudut pandang yang berbeda pada manusia yaitu fisik (khalqun) dan akhlak (khuluqun), memang tidak bisa dipisahkan, karena keduanya merupakan satu kesatuan yang dapat mengasilkan sesuatu yang tampak dalam diri seseorang, seperti tutur kata, perbuatan atau tingkah laku, watak, dan ilmu pengetahuan.