IBTimes.ID – Kader ‘Aisyiyah memiliki kecenderungan bertindak. Kader ‘Aisyiyah tidak puas dengan kata-kata, tetapi berusaha melaksanakan tugas yang membawa hasil nyata. Proses pembangunan amal usaha di ‘Aisyiyah adalah proses menciptakan sesuatu dari ketiadaan menuju ada. Hal ini disampaikan oleh Kim Hyung Jun, akademisi Kangwon University yang banyak melakukan penelitian di dunia Muhammadiyah.
Ia menyampaikan ini dalam kegiatan International Conference on ‘Aisyiyah Studies 2020 pada sesi 3 hari Sabtu (17/10). Kegiatan daring ini diselenggarakan oleh Lembaga Penelitian dan Pengembangan PP ‘Aisyiyah, Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta, dan The ‘Aisyiyah Center Universitas ‘Aisyiyah Yogyakarta.
Ketika membangun amal usaha, tidak ada komponen yang lengkap. Biasanya, ketika memiliki keinginan membangun amal usaha, masih banyak hal yang kurang, baik tanah, modal, dan lain-lain. Hal ini membuktikan semangat kader ‘Aisyiyah dalam membangun amal usaha sekalipun masih banyak hal yang kurang.
Kim Hyung Jun menyebut bahwa dalam proses membangun amal usaha harus ada kemampuan merencanakan program baru, kemampuan berkomunikasi dengan beragam kelompok, kemampuan mencapai mufakat, kemampuan memobilisasi dan mengalokasikan sumber daya, kemampuan mengelola konflik, keteguhan hati untuk memikul tanggung jawab, dan kesiapan untuk berkorban.
“Dengan praksis atau kecenderungan beraksi, secara otomatis kemampuan di atas akan terasah. Hal tersebut menjadi modal utama bagi ‘Aisyiyah,” ujarnya dengan Bahasa Indonesia yang lancar.
Selain itu, ‘Aisyiyah juga memiliki aset penting yang lain, yaitu watak demokratis. Manajemen internal ‘Aisyiyah dipenuhi dengan praktek demokrasi. Kim memberi contoh watak demokratis ‘Aisyiyah ada pada kepemimpinan ‘Aisyiyah yang bersifat kolektif, pengambilan keputusan dengan musyawarah mufakat, dalam memilih pimpinan, dan menitikberatkan kesetaraan antara pimpinan dan kader.
Menurut Kim, aset atau kualifikasi kader ‘Aisyiyah cukup demokratis dan mampu melaksanakan apa yang diinginkan. Banyak orang yang hanya suka bicara, tapi ‘Aisyiyah mampu bicara dan melaksanakan apa yang mereka bicarakan. Hanya saja apa yang dicapai oleh ‘Aisyiyah jarang dibicarakan di luar ‘Aisyiyah.
“Jadi dominasi kebudayaan ikhlas mencegah memperlihatkan aset kader ‘Aisyiyah dan hasil perbuatannya kepada pihak di luar ‘Aisyiyah. Jadi saya tahu ada banyak hasil dalam gerakan ‘Aisyiyah. Tapi orang luar ‘Aisyiyah dan Muhammadiyah tidak mengetahui sama sekali,” jelasnya.
Orang-orang hanya mengetahui bahwa ‘Aisyiyah memiliki banyak sekali lembaga pendidikan, namun tidak menyadari bahwa itu adalah hasil dari sikap rela berkorban yang sangat tinggi dari kader-kader ‘Aisyiyah di berbagai daerah.
Kim menyebut bahwa ‘Aisyiyah harus mulai memikirkan agar merubah paradigma tentang ikhlas. Kader Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah harus membanggakan apa yang telah dicapai oleh organisasinya. “Anggota, kader, pimpinan ‘Aisyiyah harus bangga terhadap hasil-hasil gerakan aset-asetnya. Dengan kebanggaan dan memperlihatkan apa yang telah dicapai oleh ‘Aisyiyah, itu akan membuat kader lebih bertanggung jawab. Rasa ikhlas dalam tubuh ‘Aisyiyah terlalu kuat,” imbuhnya.
Menurutnya, sekarang adalah waktu yang tepat untuk mengirimkan kader-kader ‘Aisyiyah ke dunia politik. Ia melihat masih ada jarak yang jauh antara ‘Aisyiyah dan politik. Karena ‘Aisyiyah terlalu ikhlas. Sementara, dunia politik sangat terbalik dengan apa yang telah dilakukan oleh ‘Aisyiyah.
“Dunia ‘Aisyiyah penuh dengan keikhlasan, demokrasi, dan rela berkorban. Sementara dunia politik penuh dengan ambisi, otoritarian, dan kepentingan pribadi. Namun, ketika kader ‘Aisyiyah masuk politik, mereka akan mampu mempengaruhi suasana politik dengan watak demokratis,” tutupnya.
Reporter: Yusuf