Perspektif

Soekarno dan Bahasa Revolusinya

4 Mins read

Sebentar lagi momen Bulan Bahasa. Untuk turut memperingatinya, izinkan saya mengulas bagaimana posisi bahasa tak sebatas dijadikan wadah komunikasi, tapi juga sebagai alat propaganda kekuasaan. Salah satu contohnya adalah hubungan Soekarno dan bahasa revolusi.

Bahasa memang sudah lama menjadi panggung kekuasaan bagi sebuah rezim. Cara mereka memperlakukan bahasa itu macam-macam. Tujuannya tak lain untuk memperkuat cengkeraman hegemoni. Bahasa revolusi ala Soekarno kali ini saya pilih sebagai hidangan pembuka (mudah-mudahan ada kesempatan untuk menyajikan bahasa rezim berikutnya).

Soekarno dan Bahasa Revolusi

Soekarno dikenal sebagai orator ulung yang suka meledak-ledak. Karakter ini selaras dengan kondisi bangsa saat itu yang memang butuh pemimpin orkestrasi untuk memperteguh jati diri bangsa dari sisi internal dan melawan imperialisme dari sisi eksternal. Karena itu pula, bahasa Soekarno lebih banyak berupa instruksi/komando: Laksanakan!, Kerjakan!, Jangan jegal perintah saya!.

Lalu dikenallah kredo revolusi itu. Revolusi, menurut KBBI, berarti perubahan ketatanegaraan (pemerintahan atau keadaan sosial) yang dilakukan dengan kekerasan (seperti dengan perlawanan bersenjata). Kata kunci dari revolusi adalah kekerasan. Dengan kata lain, kekerasan merupakan bagian tak terpisahkan dari revolusi.

Jargon

Di era Orde Lama (penamaan Orde Lama dan Orde Baru memang sedikit problematis tak lain karena penggunaan istilah “lama” dan “baru”, dan saya pikir ini juga berkaitan dengan siapa yang menamakan istilah itu sehingga lagi-lagi berkelindan dengan politisasi bahasa), Bung Karno kerap memakai jargon berbau kekerasan. Kita tentu sudah sering mendengar istilah “ganyang Malaysia”. Atau jargon yang lebih garang: “Inggris kita linggis, Amerika kita setrika”.

Istilah-istilah anti-asing di atas menyeruak karena Soekarno mengusung cita-cita nasionalisme yang termuat dalam nasakom (nasionalisme, agama, komunisme). Menurut Dadang (2020), misi Soekarno untuk mempersatukan paham yang berbeda, bahkan berlawanan, dalam istilah nasakom itu (juga revolusi) terus digaungkan dalam hampir tiap pidato hingga akhir kekuasaan. Karena itu, masih menurut Dadang, revolusi dan nasakom menjadi dua istilah yang identik dengan Bung Karno. Bahkan terlegitimasi dalam sebuah buku berjudul Bung Karno: Jejak Langkah Bapak Revolusi Indonesia.

Di samping itu, Soekarno juga kerap memunculkan jargon-jargon bombastis, misalnya dalam “…Beri aku sepuluh pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”. Semua itu terekam dalam pidato-pidato Bung Karno di hadapan ribuan, bahkan jutaan, rakyat Indonesia. Buku Jasmerah: Pidato-Pidato Spektakuler Bung Karno Sepanjang Masa adalah salah satu bukti sahih.

Baca Juga  Bijakkah, Hukuman Sosial Dijadikan Solusi?

Meskipun demikian, gagasan revolusi Soekarno tak pelak memakan korban. Termasuk pasangan dwitunggalnya, Moh. Hatta, yang harus mengundurkan diri dari kursi wakil presiden seiring tidak sejalan dengan revolusi yang terlampau gebyah-uyah.

***

Penggunaan demokrasi terpimpin nyatanya juga tak lebih baik, jika bukan malah lebih buruk, ketimbang demokrasi presidensial dan demokrasi parlementer. Menurut Dadang, istilah demokrasi terpimpin menjadi bahasa kunci lain yang identik dengan Soekarno. ”Demokrasi terpimpin menjadikan Soekarno sebagai sumber hukum dan hukum adalah genggaman pimpinan revolusi besar,” lanjut Dadang dalam buku Bahasa Rezim itu.

Buya Syafii Maarif juga berkali-kali menekankan bahwa demokrasi terpimpin ala Soekarno telah membunuh kebebasan manusia. Bahkan, secara lebih tragis, sebagaimana terekam dalam artikel Pengkhianatan Kaum Intelektual Indonesia: Perspektif Kebudayaan, Buya Syafii menilai demokrasi terpimpin tak hanya membunuh kebebasan manusia. Tapi juga telah menyeret Indonesia menjadi sebuah negara terkucil dan tidak bebas lagi dalam menentukan arah politik luar negerinya. Di era demokrasi terpimpin, ada istilah lain yang juga mendarah daging, yaitu “politik adalah panglima” (di era Soeharto, ekonomi dan pembangunan yang jadi panglima).

Revolusi ala Soekarno diterjemahkan sebagai bentuk mengarahkan perjuangannya mengikuti the course of history, yaitu sosialisme. Kata-kata revolusi (beserta kemerdekaan) dulu ditulis di dinding-dinding gedung, gerbong kereta api, dan tempat-tempat umum lainnya sebagai ekspresi semangat untuk mewujudkan negara Indonesia yang merdeka dan berdaulat. Maka, bagi pihak yang tidak sejalan dengan gagasan Bung Karno, mereka dijuluki sebagai “antek-antek kapitalisme-imperialisme”. Pasalnya, Soekarno memang dikenal sebagai pemimpin yang anti-asing.

Trisakti menjadi salah satu istilah yang dipakai untuk membangkitkan nasionalisme dan jati diri bangsa sekaligus untuk melawan kolonialisme. Trisakti meliputi berdaulat dalam politik, berdikari dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam budaya. Bahkan, gagasan itu dihidupkan kembali oleh rezim Joko Widodo yang partainya pengusung utamanya diketuai oleh putri Bung Karno, Megawati.

Baca Juga  Jalan Keluar dari Malapetaka Krisis Iklim

Akronim

Sastrawan cum jurnalis Mochtar Lubis (1989) mengatakan bahwa Soekarno juga rajin menabur benih akronim. Akronim, saya pikir, adalah cara yang cukup ampuh untuk melegitimasi suatu rezim.

Bahkan, dalam memaknai peristiwa pembunuhan massal pada 30 September 1965, pihak Soekarno menggunakan istilah yang berbeda dengan pihak Soeharto. Jika pihak Soeharto menggunakan istilah G 30 S/PKI, pihak Soekarno memakai istilah Gestok/Gestapu. Bukan semata-mata perihal akronim/singkatan, melainkan juga cara masing-masing “menjualnya” kepada masyarakat.

Istilah nasakom mungkin sudah “terkubur” dan tidak laku, tapi berbeda dengan berdikari. Akronim dari “berdiri di atas kaki sendiri” yang merupakan bikinan Soekarno itu masih dipakai hingga hari ini. Beberapa akronim penting lain di masa Orde Lama, terutama yang sudah masuk kamus, antara lain ampera (amanat penderitaan rakyat), dwikora (dwikomando rakyat), gerpol (gerilya politik), Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), manipol (Manifesto Politik, nama garis-garis besar haluan negara yang diambil dari amanat Presiden Soekarno, tanggal 17 Agustus 1959, berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita”), trikora (tri komando rakyat),  Manikebu (Manifes Kebudayaan), dan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat).

Namun, Mochtar Lubis menganggap akronim itu sebagai sumber perusak bahasa Indonesia. Terkait hal ini, saya teringat sebuah poster webinar di media sosial bertema Antisipasi Pelakor di Masa Pandemi. Alih-alih perebut laki orang, akronim di situ ternyata bermakna “penyakit lansia dan komorbid”. ”…Di dalam akronim itu ada akronim lansia dari lanjut usia. Akronim, oh, akronim,” kata Uksu Suhardi, satire.

Sementara pembikin akronim seperti Soekarno dan pemimpin lainnya menganggap akronim lebih mudah diterima dan diingat dalam benak masyarakat. Meski begitu, kata Dadang, penggunaan jargon dan akronim sebagai istilah yang mampu diingat hingga kini merupakan sebuah keberhasilan yang tidak semua tokoh dapat mengerjakannya. Akronim buatan pemerintahan sebelumnya amat mungkin bakal “punah” di pemerintahan berikutnya.

Baca Juga  Gamal Abdul Naser, Bapak Pendiri Mesir Modern

***

Bahasa politik pada masa Soekarno (Orde Lama) sarat dengan slogan, propaganda, dan akronim. Ketiganya bahkan bersangkut paut. Ketiganya seolah-olah menjadi bahasa khas Soekarno yang diejawantahkan dalam pidato-pidatonya. Tapi, tulis Dadang lebih lanjut, alih-alih untuk memudahkan rakyat mengingat pidatonya, Soekarno sesungguhnya justru tengah memperburuk citra bahasa Indonesia yang seyogianya dijadikan perekat nasionalisme yang dia gembor-gemborkannya.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds