IBTimes.ID – Dalam bahasa Arab, ateis disebut dengan dahriyun atau mulhidun. Dahr berarti waktu. Dahriyun berarti orang yang meyakini keabadian waktu dan alam semesta. Mulhid adalah istilah kontemporer untuk makna yang sama.
Dalam surat Al-An’am ayat 29, Allah berfirman yang artinya:
“Dan tentu mereka akan mengatakan (pula): “Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia ini saja, dan kita sekali-sekali tidak akan dibangkitkan.””
Dalam surat Al-Jasiyah ayat 24, Allah berfirman yang artinya:
“Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa.” Dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.”
Hal ini disampaikan oleh Ustaz Muhammad Rofiq, pengurus PCIM Amerika Serikat dalam Kajian Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIWM) bagian aqidah pada Senin (7/9).
Menurut Ustaz Rofiq, fenomena ateisme adalah fenomena yang sudah sangat lama. Para ulama sepanjang sejarah sudah sangat konsen pada tema ini. Dalam berbagai kitab klasik banyak dijumpai diskusi tentang ateisme. Misalnya, Imam Al-Ghazali.
Tiga Kelompok Filosof Menurut Al-Ghazali
Imam Al-Ghazali menulis tentang kategori-kategori filosof dalam bukunya al-Munqid min adh-Dholal. Ia menulis:
“Ketahuilah bahwasanya sekalipun para filosof bermacam-macam pandangan dan berbeda-beda metodologi, secara umum mereka bisa digolongkan menjadi 3 jenis. Yaitu ad-Dahriyun (materialis), ath-Thobi’iyyun (naturalis), dan al-Ilahiyyun (teis).
Pertama, ad-Dahriyun. Mereka adalah sekelompok orang dari periode terdahulu yang menolak keberadaan Pencipta Yang Mengatur alam semesta, Yang Maha Mengetahui dan Maha Mampu. Mereka menganggap bahwa alam semesta ada dengan sendirinya tanpa pencipta.
“Mereka menganggap bahwa binatang lahir dari sperma dan sperma lahir dari binatang. Demikianlah kondisinya dari dulu dan demikianlah kondisinya sekarang sampai selamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang zindik, tidak percaya kepada Tuhan,” ujar Ustaz Rofiq mengutip Imam al-Ghazali.
Kategori kedua, at-Thobi’iyyun atau naturalis. Menurut Imam al-Ghazali, mereka adalah kelompok ilmuwan. Orang-orang yang banyak melakukan pembahasan, observasi, dan melakukan observasi pada dunia binatang dan tumbuh-tumbuhan. Mereka sangat menekuni bedah anatomi struktur binatang.
Imam Al-Ghazali menyebut bahwa mereka ini, melalui observasi, akhirnya menyadari bahwa banyak sekali keajaiban dari dunia binatang dan tumbuhan. Sehingga mereka menyadari ada Pencipta. Seorang yang menekuni bidang bedah anatomi binatang dan melihat kesempurnaan struktur binatang, ia akan menyadari bahwa Tuhan itu ada. Ini adalah al-‘ilmu adh-dhoruri.
“Sayangnya, karena terlalu banyak melakukan penelitian tentang binatang, mereka justru terpengaruh oleh sifat-sifat binatang yang mereka teliti. Akhirnya sifat mereka tidak berbeda jauh dengan binatang. Mereka percaya bahwa binatang itu diciptakan oleh Tuhan, dan kepercayaannya berhenti di situ. Mereka menolak hari akhirat, surga, neraka, dan lain-lain,” imbuhnya.
Imam Al-Ghazali melanjutkan bahwa bagi at-thobi’iyyun, orang yang berbuat baik tidak akan mendapatkan balasan yang baik, dan orang yang bermaksiat tidak mendapatkan sanksi. Karena mereka tidak percaya dengan akhirat, maka kendalinya hilang. Mereka hidup tanpa rem dan terjerumus kepada hawa nafsu. Mereka ini juga adalah orang-orang zindiq. Karena iman itu tidak hanya percaya kepada Allah, namun juga beriman kepada hari akhir.
Kategori ketiga, al-Ilahiyyun. Di antaranya adalah Socrates, guru Plato. Dan Plato adalah guru Aristoteles.
Gelombang New Atheism
“Kita sedang menghadapi fenomena new atheism. Tokoh-tokohnya adalah Richard Dawkins, Sam Harris, Daniel Dennett, dan Christopher Hitchens. Mereka dikenal dengan The Four Horsemen. Istilah ini berasal dari Perjanjian Lama, tentang 4 warrior yang berperang melawan musuh,” jelasnya melalui aplikasi Zoom.
Dalam pengajian yang bisa dilihat melalui kanal YouTube Muhammadiyah Amerika Serikat ini ia menyebut ateisme jenis ini dengan new atheism karena ada beberapa hal yang membedakan antara ateisme era ini dengan ateisme sebelumnya.
Perbedaannya dengan tokoh-tokoh ateis sebelumnya seperti Nietzsche, Marx, Freud, Russel, dan lain-lain menurut Ustaz Rofiq adalah bahwa The Four Horsemen ini tampil dengan sangat populis. Mereka tampil di media massa, televisi, berbedat di CNN, dan memiliki daya tarik di masyarakat luas. Sehingga tren ateisme naik di dunia Barat.
Dakwins misalnya. Ia adalah seorang ahli biologi dari Inggris sekaligus penulis populer. Dia mengatakan:
“Saya menentang agama karena agama tidak mengajarkan kita cara memahami dunia. Agama menjadi penghalang bagi kita untuk memahami bagaimana dunia bekerja secara saintifik.”
Sam Haris adalah pakar neurosains dari Amerika. Ia mengatakan:
“Beragama secara moderat, berarti tidak beragama. Karena agama dengan modernitas adalah sesuatu yang berbeda.”
Daniel Dennett, filosof dari Amerika mengatakan:
“Satu-satunya hal yang layak menjadi perhatian kita adalah sesuatu yang bisa kita uji.” Artinya, agama bukan sesuatu yang harus diperhatikan.
Hitchens bukan ilmuwan tetapi seorang jurnalis dan analis politik. Ia mengatakan:
“Sesuatu yang bisa diterima tanpa sains bisa juga ditolak tanpa sains.”
“Selain itu, hal yang membedakan antara new atheism dengan ateisme lama adalah bahwa para penganut new atheism memiliki kebencian yang sangat mendalam terhadap Islam. Mereka mempromosikan kebencian terhadap Islam di ruang publik,” lanjut Ustaz Rofiq.
Ia mengutip Dawkins yang menulis:
“I think Islam is the greatest force for evil in the world today. I’ve said so, often and loudly. What are you talking about?”
Haris menulis:
“The problem isn’t fundamentalis. The problem with Islamic fundamentalism are the fundamentals of Islam.”
Ustaz Rofiq juga menyebut bahwa ada eks-muslim yang menjadi ateis. Misalnya Ayaan Hirsi Ali. Ayaan menulis:
“Islam is not a religion of peace. It’s political theory of conquest that seeks domination by any means it can.”
Ustaz Rofiq memberikan contoh lain, yaitu Ibn Warraq, orang Pakistan yang tinggal di UK. Eks muslim ini mendapatkan panggung yang luas di berbagai seminar. Pengetahuan mereka tentang Islam relatif lebih dalam dibandingkan dengan orang yang tidak pernah menganut agama Islam.
Agnostisisme: Ragu dengan Keberadaan Tuhan
Berbeda dengan ateis, orang-orang yang agnostik adalah orang-orang yang tidak cukup yakin tentang keberadaan Tuhan. Dalam bahasa Inggris ada ungkapan:
“I don’t know if there is a God.”
Ustaz Rofiq juga menyebut istilah yang berbunyi:
“It’s impossible for us to know if there is a God.”
“Walaupun berbeda dengan ateis, pada prinsipnya sama saja. Mereka adalah orang-orang yang tidak punya keimanan di dalam dada mereka. Fenomena ini juga merupakan fenomena klasik yang sudah ada sejak zaman Yunani. Dalam bahasa Yunani, mereka disebut sophist. Dalam bahasa Arab disebut sufista’iyah,” terang Ustaz Rofiq.
Menurutnya, sifat keraguan mereka bukan hanya ragu tentang keberadaan Tuhan. Mereka juga ragu akan banyak hal seperti kehidupan, kebenaran, pengetahuan, dan lain-lain. Ustaz Rofiq mengutip Imam al-Juwayni, guru Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Burhan yang menulis tentang kaum sophist. Ia menyebut 4 kategori orang agnostik.
Pertama, yang paling ekstrim. Mereka menganggap bahwa ilmu itu tidak ada. Termasuk ilmu-ilmu yang sifatnya pasti dan teoritis. Kedua, mereka menganggap bahwa mereka tidak memiliki cukup bukti untuk mengatakan bahwa ilmu itu ada. Namun mereka juga tidak tahu bahwa ilmu itu tidak ada. Kelompok ini sama dengan kamu agnostik hari ini yang tidak sepenuhnya yakin bahwa Tuhan itu ada atau tidak ada.
“Ketiga, mereka percaya bahwa ilmu bisa dipelajari tetapi manusia tidak akan bisa mencapainya. Siapapun yang berusaha menuntut ilmu, dia tidak akan sampai kepada ilmu itu. Keempat, ia meyakini ada kontradiksi dalam ilmu. Misalnya A adalah benar, B juga benar, walaupun keduanya saling kontradiksi,” imbuhnya mengutip Imam al-Juwayni.
Reporter: Yusuf