Perspektif

Emmanuel Macron dan Islamofobia

5 Mins read

Hari-hari ini, perhatian publik internasional masih tertuju kepada Perancis. Beberapa minggu terakhir, terjadi sederetan peristiwa yang menghebohkan: mulai dari pidato Emmanuel Macron pada tanggal 2 Oktober 2020, pembunuhan Samuel Paty, pembunuhan tiga orang di depan gereja di Nice, diikuti oleh kecaman, demontrasi besar-besaran, dan seruan boikot dari umat Islam.

***

Ada beberapa perspektif yang bermunculan mengenai beberapa peristiwa aktual di negeri Napoleon Bonaparte ini. Salah satu tulisan yang muncul adalah tulisan teman, senior dan guru saya, Prof. Muhamad Ali (panggilan akrab saya untuk beliau adalah Mas Ali), dengan judul “Presiden Macron Melawan Separatisme Islamis, Bukan Islam”.  

Tulisan ini saya susun sebagai respon untuk tulisan Mas Ali dan sebagai alternatif perspektif kepada para pembaca. Perbedaan pendapat saya dengan Mas Ali tidak mengurangi rasa hormat saya untuk beliau. Saya juga percaya dengan niat baik Mas Ali. Apa yang beliau tulis adalah bentuk tanggungjawab moral beliau sebagai seorang intelektual. Satu lagi, satu hal yang selalu saya ingin ikuti dari Mas Ali; narasi beliau selalu proporsional, tanpa tone yang berlebihan, dan selalu sopan.

Jika dirangkum, inti dari tulisan Mas Ali adalah sebagai berikut; pertama, Emmanuel Macron tidak sedang mengumbar retorika islamofobia. Kedua, sebenarnya ada kesalahpahaman di kalangan umat Islam mengenai posisi Emmanul Macron. Ketiga, apa yang ia lakukan tidak lain adalah perlawanan terhadap separatisme dan esktrimisme. Ini, menurut Mas Ali, adalah hak negara Perancis yang sesuai dengan konstitusinya dan Deklarasi Hak Asasi Manusia.  

***

Argumen tersebut didasarkan pada pernyataan Macron yang dikutip panjang oleh Mas Ali secara verbatim.

Saya memandang ada beberapa kelemahan dari narasi yang diajukan Mas Ali. Pertama, narasi tersebut didasarkan hanya pada satu potongan statement Emmanuel Macron dengan memenggal bagian lain yang mengandung unsur islamofobia dan bernada kolonial. Perlu dicatat bahwa pada momen yang sama, pada tanggal 2 Oktober 2020 (sebelum peristiwa pembunuhan Samuel Paty oleh murid esktrimisnya terjadi), Macron juga mengucapkan kalimat berikut ini:

“L’islam est une religion qui vit une crise aujourd’hui, partout dans le monde.”

(Islam adalah agama yang sedang mengalami krisis hari ini, di seluruh dunia).

Kemudian ia juga mengatakan:

“Le quatrième axe de la stratégie que nous entendons conduire, de ce réveil républicain, il consiste à bâtir enfin un islam en France qui puisse être un islam des Lumières.”

(Sumbu keempat dari strategi yang ingin kami pimpin, terkait dengan kebangkitan republik ini, adalah menciptakan Islam di Perancis yang bisa disebut sebagai Islam Pencerahan).

Statemen inilah sebenarnya yang menjadi sorotan dunia Islam. Problem dari statemen ini berlapis-lapis.

Baca Juga  Islam Progresif: Pandangan Keislaman yang Paling Relevan Saat ini

Pertama, ketika ia menyebut problem separatisme dan esktremisme, alih-alih menyebutnya sebagai fakta yang umum dan plural, Emmanuel Macron justru melakukan single out (mengkhususkan) Islam. Sehingga pernyataan tersebut terkesan sangat tendensius. Terkait hal ini, 100 orang aktivis dan akademisi muslim di Perancis telah mengajukan protes dan menyebut Emmanuel Macron telah menstigmatisasi dan mendemonisasi seluruh muslim.

Kedua, ini paradigma intervensionis yang bertentangan dengan princip laicite yang dianut oleh Perancis sendiri. Statemen ini mengingatkan umat Islam watak kolonial bangsa Eropa di masa lalu yang ingin menciptakan Islam yang sesuai dengan selera mereka.

Ketiga, ini cara berfikir yang divisif dan berpotensi menciptakan problem lanjutan. Orang yang sesuai dengan selera pemerintah Perancis akan disebut muslim yang baik (moderat), sementara yang tidak sesuai akan distigmatisasi sebagai ekstremis. Kriteria moderat juga sangat arbitrer. Belakangan, Menteri Urusan Dalam Negeri Perancis, Gerald Darmanin, bahkan menyebut laki-laki muslim yang menolak diobati oleh tenaga medis perempuan adalah ekstremis dan bisa masuk penjara serta dikenai denda sampai 75 ribu Euro. Inilah yang disebut sebagian pengamat sebagai kebijakan kolonial dan penanganan esktrimisme yang melahirkan esktrimisme baru.

***

Kedua, ada narasi yang kurang berimbang. Mas Ali lebih menyoroti problem ekstrimisme sementara faktor sosial, ekonomi, dan politik yang melatarbelakangi tindakan ekstrim tidak disebut. Ini terkesan bias, agak tebang pilih, dan pada implikasinya hanya menempatkan umat Islam sebagai pelaku, bukan sebagai korban dari kultur diskriminatif akumulatif di Perancis.

Banyak pengamat dari dunia Barat yang menyebut bahwa fenomena separatisme dan ekstrimisme ini lahir dari kebijakan demografis Perancis sendiri. Di tahun 1960-an, paska Perang Dunia Kedua dan kekalahan perang dari beberapa negara koloninya, Perancis mengizinkan masuk para pendatang. Para imigran dari Algeria, Maroko, dan belakangan Turki diterima sebagai pekerja kasar dan dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi negara yang porak-poranda.

Baca Juga  Pertanyaan Tentang Tuhan

Tetapi setelah mereka masuk, mereka diposisikan di urutan terbawah dalam piramida sosial masyarakat Perancis. Mereka ditempatkan di kawasan suburb dengan akses pendidikan dan ekonomi yang terbatas (kebijakan ini sama persis dengan fenomena red lining yang terjadi pada kaum black di Amerika Serikat). Selain itu, juga banyak stigmatisasi orang Eropa kepada imigran muslim. Sehingga dari kebijakan demografis ini, lahirlah  komunitas ghetto di Perancis. Kemiskinan dan kriminalitas menjadi fenomena yang umum ditemukan di kawasan ini.

Narasi nya juga kurang berimbang karena tidak menyebut fakta-fakta tentang Islamofobia terstruktur baik yang terjadi baik sebelum insiden terbunuhnya Samuel Paty maupun sesudahnya. Untuk menyebutkan beberapa hal misalnya: adanya pelarangan penggunaan jilbab di sekolah publik dan pelarangan burkini di pantai-pantai Perancis.

Selain itu, paska insiden Samuel Paty terjadi penutupan beberapa masjid. Juga ada upaya pembubaran CCIF (organisasi yang aktif melawan Islamopobia di Perancis). Menteri dalam negeri Perancis menyebut organisasi ini sebagai “the enemy of Republic” (ini mengingatkan saya akan fenomena yang sama yang dialami organisasi CAIR di Amerika Serikat yang menjadi target pemerintahan Donald Trump). Juga adanya penerapan undang-undang keamanan dan perlawanan terhadap terorisme (Interior Security and Fight Against Terrorism Law) yang cenderung semena-mena terhadap umat Islam. Tidak jarang orang Islam yang tidak bersalah juga menjadi korban. Kebijakan yang mengandung islamofobia ini sayang sekali tidak diuraikan padahal jelas ia masalah serius dan berkontribusi melahirkan ekstrimisme baru.

***

Ketiga, dengan berusaha menjelaskan dan melegitimasi perspektif pemerintah yang melihat tindakan Samuel Paty dan Charlie Hebdo sebagai freedom of expression, Mas Ali cenderung menempatkan diri sebagai juru bicara pemerintah dan masyarakat Perancis. Muncul pertanyaan dalam benak saya: kenapa pada saat yang sama tidak dijelaskan perspektif umat Islam bahwa yang terjadi ini adalah freedom of insult. Juga, kenapa mengabaikan suara intelektual dan aktivis muslim Perancis yang selama ini melihat ada kebijakan diskriminatif, narasi kebencian, dan penanganan ekstrimisme yang salah? Sekali lagi, kenapa sudut pandang yang berusaha dijelaskan adalah sudut pandang pemerintah Perancis bukan umat Islam?

Baca Juga  COVID-19 Edisi Kedua: Ujian Cinta di Bulan Istimewa

Saya kemudian teringat dengan Saba Mahmood, seorang antropolog dan intelektual paska kolonial dari Amerika Serikat. Mahmod dikenal sebagai sarjana yang selalu kritis akan paradoks dan hipokrasi paham sekulerisme Barat. Paska insiden Danish Cartoon 2006, ia menulis artikel yang berjudul “Religious Reason and Secular Affect”.

Di dalamnya Mahmood menyebut bahwa publik di Barat perlu memahami bahwa umat Islam memiliki bahasa semiotika yang berbeda dengan yang mereka pakai. Bagi sensibilitas Kristen dan Barat, tanda (baik itu karikatur, patung, dsb) bukanlah perwujudan dari apa yang suci (embodiment of the sacred). Ini berbeda dengan perspektif umat Islam.

Bagi kaum muslimin, ada hubungan yang erat antara signified and signifier (tinanda dan penanda). Bagi mereka yang selalu terobsesi meniru Nabi: dari cara beliau bicara, sampai cara beliau tidur, makan dan berpakaian, menggambar Nabi sama artinya menyerang kepribadian Nabi. Pada akhirnya ini sama dengan menyerang diri umat Islam sendiri. 

Apa yang dilakukan oleh Mahmood adalah suatu contoh bagaimana seorang intelektual muslim di samping perlu menjelaskan permasalahan secara akademik dan teoretis, juga perlu memainkan agency nya sebagai bagian dari umat Islam. Menjelaskan masalah secara proporsional memang perlu, tetapi tidak harus menghilangkan tanggungjawab untuk mengadvokasi nasib umat Islam yang kadang masih kurang beruntung. Wallahu A’lam Bis Shawab.

Editor: Yahya FR

Muhamad Rofiq
22 posts

About author
Alumni PCIM Mesir dan saat ini anggota PCIM USA
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds