Mengenal Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang guru fundamentalis, sang pendiri gerakan Islam ‘Wahabi’. Sanadnya bersambung hingga Sulaiman bin Ali bin Muhammad Bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Beliau lahir di Najd, sebuah wilayah tengah Arab pada tahun 1115-1206 H/1703-1792 M.
Menurut M. Yusran Asmuni, Muhammad bin Abdul Wahab ialah seorang mujtahid muslim yang terkenal pada zamannya. Pemikirannya terpengaruh oleh Ibnu Taimiyah dan salah satu dari jargonnya ialah ‘kembali ke ajaran pokok Al-Qur’an dan sunah’.
Beliau adalah orang yang sangat aktif dengan berbagai aktivitas, dan beliau mencari ilmu ke tempat-tempat yang pernah beliau tinggali. Berbagai aktivitas dan perjalanannya mempengaruhi latar belakang pemikirannya, sehingga beliau mempunyai khazanah ilmu yang begitu luas.
Sedikit-sedikit Bid’ah?
Beliau menemui gejala-gejala keagamaan antara lain gejala syirik, khurafat, bid’ah, sampai pengagungan terhadap kuburan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Itu adalah hal yang menjadi bertolak belakang dengan pemikirannya.
Pengaruh tarekat yang mengagungkan kuburan tertentu seperti para ulama, guru tarekat, para sahabat, ahlul bait, bahkan hingga kuburan Nabi Muhammad saw., diklaim oleh beliau sebagai orang yang tidak bertauhid uluhiyah. Muhammad bin Abdul Wahab menilai demikian karena ibadah tersebut tidak lagi murni karena Allah Swt.
Maka dampaknya ia dijadikan landasan untuk mengkafirkan atau memusyrikkan orang Islam yang melakukan ibadah ini
Muhamad bin Abdul Wahab pernah berkata, “Pengakuan mereka dengan tauhid rububiyah saja tidak tergolong mereka dalam Islam. Dan bahwa kasad mereka akan malaikat, Nabi, dan aulia Allah yang mereka inginkan syafaat dan dekat kepada Allah dengan demikian telah mengakibatkan halal darah dan harta mereka.” (bisa dibaca lebih lanjut di Kasfu Subhat, halaman 13).
Kalau memang semua hal yang berkaitan dengan bid’ah tidak diperbolehkan, maka sama halnya dengan perkembangan zaman ini. Pada zaman sekarang, semakin banyak hal-hal yang tidak ada pada zaman Nabi, seperti membaca Quran di handphone.
Apa hanya karena pada zaman Nabi handphone belum ada, apa ia terhitung bid’ah? Padahal membaca Al-Quran itu termasuk ibadah. Maka apa akan ada nilai moderat yang bisa dilakukan oleh para ulama menanggapi hal seperti itu? Sedangkan kita sebagai orang yang ber-taqlid kepada ulama hanya bisa mengikutinya.
Pengaruh dan Asal Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab yang terpengaruh oleh Ibnu Taimiyyah yakni berpegang teguh ke Al-Qur’an dan sunah sebagai sumber syariat juga menuntut orang muslim kembali menjadi muslim sebagaimana masa awal Islam dan membasmi bid’ah dan khufarat yang tersebar pada saat itu, sebagaimana dikutip dari Abdul Basit.
Demikianlah pemahaman salafi-wahabi. Mereka yang memahami pandangan tersebut pasti akan menemukan asal-usulnya dari Ibn Qayyim dan Ibn Taimiyyah, yang pemikirannya dibangun di atas teks agama yang didefinisikan secara sempit. Dan ini lah salafi dan wahabi yang menganut mazhab fikihHanbali.
Menanggapi hal yang telah ada di atas tentang pemikirannya Muhammad bin Abdul Wahab, memang benar kita harus berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan sunah. Tetapi semua itu tidak serta merta bisa memahami dengan sendirinya. Ia membutuhkan pembelajaran dari seorang guru paham dengan Al-Qur’an dan sunah itu. Sehingga kita lebih mudah memahami isinya, lebih aman, dan tidak tersesat dalam memahaminya.
Kembali pada Al-Qur’an dan Sunah itu Tidak Mudah!
Kalau kita menelusuri di dalam kitab empat mazhab, ada level atau tingkatannya masing-masing dalam berijtihad. Ia dimulai dari mujtahid muthlaq mustaqil (yang merumuskan kaidah-kaidah fikih berdasarkan kesimpulan dari pengkajian dalil Al-Qur’an dan sunah).
Lalu, mujtahid mutlaq muntasib ialah mereka yang memenuhi syarat dalam ijtihad secara mandiri, namun mereka belum merumuskan kaidah sendiri. Tetapi mereka mengikuti metode kaidah mazhab dalam ijtihad. Adapun mujtahid muqayyad memiliki kemampuan qiyas untuk memecahkan permasalahan yang tidak ada di ulama mazhab.
Mujtahid takhrij memiliki kemampuan memahami landasan untuk pendapatnya. Mujtahid tarjih memiliki kemampuan memilih pendapat yang lebih benar dan kuat. Kemudian mujtahid fatwa adalah para ulama yang memahami pendapat mazhab, serta menguasai penjelasan dan permasalahan mazhab tapi belum bisa melakukan qiyas dari mazhab.
Terakhir, tingkatan muqallid adalah tingkatan orang yang hanya mengikuti hasil ijtihad yang telah ada. Gambaran yang telah ada di atas itu adalah membuktikan bagaimana sulitnya kalau kita memahami langsung Al-Qur’an dan sunah.
Dan tanpa melalui bantuan seorang ulama atau guru pembimbing untuk belajar dan kita di Indonesia bermazhab Imam Syafi’i. Maka hukum dan aturan fikih orang muslim di Indonesia berlandas kepada Imam Syafi’i dan berpedoman ahlu sunnah wal jamaah.