Perspektif

Hari Guru Nasional, Guru Adalah Teman dan Teladan

4 Mins read

Tanggal 25 November merupakan peringatan Hari Guru Nasional. Tentunya peringatan ini tidak lepas dari lahirnya organisasi Persatuan Guru Republik Indonesia, yang juga di tanggal yang sama, pada 75 tahun yang lalu.

Tahun ini, Hari Guru Nasional mengangkat tema “Bangkitkan Semangat Wujudkan Merdeka Belajar”, seiring masih banyaknya kendala yang menyelimuti kemerdekaan belajar bagi anak bangsa. Maka, membangkitkan semangat dalam mewujudkannya memang sangatlah diperlukan, guna mencapai cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa.

Guru merupakan sosok yang penting bagi dunia pendidikan. Dia tidak hanya mengajar, tetapi juga mendidik, serta mengarahkan anak didiknya ke arah yang lebih baik. Namun, terkadang masih saja kita mendengar kasus yang melanda dunia pendidikan kita, yang kurang enak didengar dan membuat kita miris. Mulai dari kekerasan, hingga kurangnya fasilitas belajar yang layak bagi siswa.

Belum lagi masalah biaya. Meski pemerintah sudah menanggung operasional sekolah melalui dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), tetapi masih banyak biaya lain yang harus ditanggung oleh orang tua siswa. Mulai dari alat tulis, seragam, dan mungkin buku tambahan sebagai penunjang proses belajar. Apalagi sekarang kegiatan belajar mengajar dilakukan secara daring (online). Pastinya banyak lagi masalah yang timbul. Dari jaringan internet, hingga masih adanya siswa yang tidak memiliki gawai untuk belajar.

Hal ini akan semakin memperbanyak PR (Pekerjaan Rumah) di dunia pendidikan, sehingga merdeka dalam belajar akan mengalami banyak sekali tantangan untuk mewujudkannya.

Guru yang Masih Jauh dari Sejahtera

Dalam dunia pendidikan, guru merupakan sosok yang penting dalam proses pembelajaran. Guru yang disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, seakan memang benar-benar nyata. Hal ini dapat kita lihat dari upah yang ia dapatkan. Seorang guru apalagi tidak berstatus pegawai negeri, gaji yang diterima terbilang jauh dari kata sejahtera. Apalagi hidup di zaman sekarang, dengan pendapatan yang hanya ratusan ribu rupiah seakan berat untuk membuat dapur mengepul.

Guru honorer atau bahkan guru di sekolah swasta, hanya bermodal ikhlas dalam beramal. Jika menjadi guru sebagai profesi utamanya, mungkin dibuat makan sehari-hari dalam waktu satu bulan dengan nominal rupiah ratusan ribu akan terasa amat sangat kurang. Namun, semangat untuk mencerdaskan anak bangsa menjadi motivasi tersendiri bagi mereka. Ia tidak diberi upah pun akan tetap melangkahkan kaki menuju tempat mengabdi, agar anak-anak mendapat ilmu guna berbakti pada negeri.

Baca Juga  Menerapkan Pendidikan Berbasis Hati dalam Dunia Pendidikan

Harusnya ini menjadi perhatian khusus dengan tindak lanjut yang nyata oleh mereka yang punya kuasa. Guru yang dituntut untuk mencerdaskan kehidupan bangsa nyatanya kalah jauh pendapatannya dari artis. Padahal, pekerjaan guru amatlah berat, ia harus melupakan penat demi muridnya agar mendapat ilmu yang bermanfaat. Dia harus melupakan lelah untuk tetap masuk ke dalam kelas, meski setelah itu ia harus mengerjakan administrasi yang sudah menjadi tugas.

Apalagi sekarang semuanya serba digital, dan masih banyak guru yang secara SDM (Sumber Daya Manusia) bisa dibilang sudah ketinggalan dengan kemajuan zaman. Maka dari itu, dengan beban tugas serta amanahnya, seharusnya guru mendapatkan gaji yang layak, sudah seharusnya mereka dapat perhatian yang lebih dari pemerintah terkait kesejahteraannya. Tidak perlu mesti mempunya sertifikat, karena masih banyak guru yang tanpa predikat memberikan banyak manfaat.

Guru Tidak Lagi Digugu dan Ditiru?

Di era sekarang, segala pengetahuan mudah sekali untuk didapatkan dan cepat tiba dalam genggaman. Sehingga, anak-anak tidak susah dalam mencari pengetahuan. Berbeda dengan zaman dulu, harus membaca buku yang disebut sebagai jendela ilmu.

Zaman sekarang, ilmu bisa diakses meski tanpa bangku sekolah. Mereka yang mau mencari tahu tinggal mengakses apa yang ingin dia ketahui melalui smartphone. Sehingga, peran guru sebagai pentransfer ilmu sedikit ringan, bahkan mungkin guru sering ketinggalan dengan update perkembangan. Namun, istilah guru sebagai sosok yang digugu lan ditiru (orang yang dipercaya dan diikuti), seakan hilang ditelan kemajuan.

Anak-anak sekarang lebih mempercayai apa yang ia lihat di media, serta mereka lebih suka meniru artis yang diidolakan daripada gurunya. Hal ini menjadi masalah ketika anak meniru dan memercayai sesuatu yang dinilai kurang baik dan unfaedah, serta mungkin bertentangan dengan nilai-nilai agama.

Baca Juga  Uang, Berhala Nyata pada Masa Modern

Guru yang pada zaman dulu sebagai influencer, kini kalah dengan artis atau selebgram. Maka, guru haruslah mengikuti perkembangan serta mampu beradaptasi dengan apa yang menjadi kegemaran anak di zaman digital.

Guru yang masih menggunakan metode lama, baik pembelajaran atau pun cara mendidiknya, akan ditinggalkan oleh anak-anak yang kini pergaulannya seakan tanpa batas. Guru harus segera meng-upgrade caranya mengajar serta cara bersosialisasi dengan anak-anak zaman sekarang. Sehingga, siswa merasa nyaman dan nyambung ketika berinteraksi dengan gurunya, serta merasa guru seakan menjadi teman yang menyenangkan baginya.

Oleh karena itu, sebagai guru kita harus mampu memahami dan mengerti perkembangan anak didik, karena anak zaman sekarang tidak bisa dilarang, tapi diarahkan. Ketika kita melarang mereka, mereka akan menjauhi kita atau bahkan merasa kita tidak menyukainya. Jadi, ketika murid kita melakukan hal yang tidak semestinya, haruslah kita arahkan dengan cara baik, dan sebaik-baik cara adalah dengan memberinya contoh.

Guru, Teman yang Menjadi Teladan

Kita mungkin pernah mendengar ungkapan KH. Ahmad Dahlan, “Teladan yang baik adalah khotbah yang jitu”. Sehingga, contoh atau teladan dari guru akan menjadi sebuah pembelajaran bagi murid-muridnya. Kalau guru hanya menyuruh tanpa memberikan contoh, maka hal itu hanya akan menjadi angin lalu, siswa pun akan merasa tidak nyaman atau mungkin tidak respect kepadanya.

Menjadi guru haruslah dapat menjadi teman bagi murid, serta dapat memberikan teladan pula. Sehingga, anak didik tidak hanya mengambil ilmu yang diberikan, tetapi juga mengambil teladan yang dicontohkan. Oleh karena itu, yang terberat ketika menjadi guru bukan saat memberikan pelajaran atau pemahaman kepada siswa, tetapi bagaimana menjadi teladan yang baik, sehingga memotivasi dan menginspirasi dalam semangat ilmu, amal, dan akhlak yang mulia. Begitu pula para orang tua terhadap anak-anaknya.

Menjadi seorang guru merupakan tugas yang mulia, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓا۟ إِذَا قِيلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوا۟ فِى ٱلْمَجَٰلِسِ فَٱفْسَحُوا۟ يَفْسَحِ ٱللَّهُ لَكُمْ ۖ وَإِذَا قِيلَ ٱنشُزُوا۟ فَٱنشُزُوا۟ يَرْفَعِ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ مِنكُمْ وَٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْعِلْمَ دَرَجَٰتٍ ۚ وَٱللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ

Baca Juga  Rohmah, Mimpi Masa Depan Anak yang Lebih Beradab

“Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: “Berlapang-lapanglah dalam majelis”, maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: “Berdirilah kamu”, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Mujadilah : 11)

Jadi, menjadi orang yang mempunyai ilmu, seperti guru, adalah suatu keistimewaan, di mana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu, sebagaimana guru.

Mendapatkan Pahala Sadaqah Jariyah

Ketika kita menjadi pengajar, kita bukan hanya mendapatkan upah, tetapi juga mendapatkan pahala. Karena apa yang kita lakukan bernilai sadaqah jariyah yang tak kan terputus meski kita telah tiada.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ مِنْ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ وَعِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ وَوَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ

Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang saleh” (HR. Muslim no. 1631)

Maka, ketika kita menjadi seorang guru, kita juga pernah menjadi murid, sudah sepatutnya kita menghormati guru-guru kita. Guru yang mungkin mendapat gaji tidak seberapa, guru yang terkadang kita abaikan karena lebih mengikuti sang idola. Tetapi ia tetap dengan ikhlas memberikan kita pelajaran, teladan, serta senyuman saat memasuki kelas. Dia tetap menjadi patriot pahlawan bangsa yang segenap tenaga berusaha mencerdaskan kita, meski kita sering malas saat bertemu dengannya.

Oleh karena itu, mari jadikan guru kita sebagai teman yang menjadi teladan. Karena di tangan gurulah peradaban bangsa ini ada, berkat ketekunan merekalah kita mampu berpikir, menghitung, menulis, dan membaca. Serta karena jasanya lah kita menjadi orang yang berguna. Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan umur panjang dan kelak mengganjar surga untuk guru-guru kita. Aamiin.

Selamat Hari Guru, tanpamu apa jadinya aku.

Edotor: Lely N

Hendra Hari Wahyudi
97 posts

About author
Anggota Majelis Pustaka, Informasi dan Digitalisasi Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur periode 2022-2027
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds