Perspektif

Surat untuk Mas Menteri: Pertimbangkan Lagi Sekolah Tatap Muka Januari!

4 Mins read

Nadiem Makarim telah membolehkan membuka sekolah untuk belajar tatap muka pada Januari 2021. Mas Menteri mengatakan, “Orang tua masing-masing siswa dibebaskan untuk menentukan apakah anaknya diperbolehkan ikut masuk sekolah atau tidak.”

Hal ini tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama (Menag), Menteri Kesehatan (Menkes), dan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran pada Semester Genap Tahun Ajaran dan Tahun Akademik 2020/2021 di Masa Pandemi COVID-19. Kewenangan diberikan kepada tiga pihak, yakni pemerintah daerah, kantor wilayah (kanwil) dan orang tua anak, melalui komite sekolah.

Pemerintah melakukan penyesuaian kebijakan untuk memberikan penguatan peran pemerintah daerah/kantor wilayah Kementerian Agama. Hal ini dikarenakan mereka sebagai pihak yang paling mengetahui dan memahami kondisi, kebutuhan, dan kapasitas daerahnya.

Sebagai Ibu dari anak yang masih di Sekolah Dasar, keputusan itu membuat saya khawatir.  Masalahnya, meski menyinggung tentang orangtua siswa, SKB tersebut tidak memberikan penguatan kapasitas para orangtua untuk bijak mengambil keputusan. Apa dasar pertimbangannya ketika merelakan atau tidak merelakan anak masuk sekolah (tatap muka) lagi? Tidak dijelaskan. Terserah para orangtua saja.

Ketika pemerintah memutuskan langkah penutupan sekolah pada 17 Maret 2020 lalu (bahkan meniadakan ujian nasional), jumlah kasus positif di Indonesia “baru” mencapai angka 172 kasus. Tapi mayoritas rakyat sudah teriak-teriak minta sekolah ditutup. Dan saya mengamininya waktu itu.

Keputusan Sembrono Mas Menteri

Sekarang, pada saat jumlah kasus corona virus di Indonesia bergerak naik tinggi sekali, justru diambil keputusan membuka (lagi) sekolah tatap muka. Dari kaca mata plus dan minus saya sebagai orangtua, ini keputusan sembrono.

Worldometers mencatat bahwa per 30 Nopember 2020, angka kasus positif di Indonesia mencapai 538,883. Hal ini diperoleh dari hasil testing sekitar 2% dari total 274,700,811 jumlah penduduk Indonesia. Dengan angka ini, Indonesia mencatatkan diri sebagai negara nomor 22 di dunia, dari 220 negara yang melaporkan kasusnya.

Baca Juga  Melawan Godaan Politik Iming-Iming

Bagaimana kalau pemerintah menambah jumlah testingnya? Di mana posisi Indonesia sebenarnya? Kita tentu tahu bahwa semakin banyak jumlah testing. Maka data yang ditunjukkan akan semakin mendekati kondisi yang sebenarnya. Sayangnya, jumlah testing yang dilakukan pemerintah masih sangat kecil. Sebagaimana dikutip kompas.com, Indonesia merupakan 10 negara dengan jumlah testing terendah di dunia.

Sementara itu, berdasarkan pemodelan epidemiologi yang dilakukan Tim Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM-UI). Mereka menyampaikan bahwa COVID-19 bisa terkendali di akhir 2021. Itu pun apabila intervensi luar biasa dilakukan melalui testing, lacak, dan isolasi (TLI) serta protokol kesehatan dengan ketat. Itu jika intervensi luar biasa dilakukan lo ya, bukan yang biasa-biasa saja.

Mas Nadiem juga memperjelas, “Bila nanti sekolah dibuka, maka protokol kesehatan (Prokes) pencegahan COVID-19 harus diterapkan dengan ketat. Kapasitas kelas hanya boleh diisi setengah, jarak minimal anak saya dengan temannya adalah 1,5 meter, dilarang berkerumun, semua mengenakan masker, hingga pemeriksaan suhu tubuh diwajibkan.

Sejumlah kegiatan yang ketika sekolah normal dilakukan, nanti tidak diperbolehkan. Antara lain, orang tua tidak boleh menunggu siswa di sekolah, tidak boleh kegiatan istirahat di luar kelas, tidak boleh ada pertemuan orang tua murid. Jadi, betul-betul tidak ada kerumunan apapun. Pesan pentingnya adalah, belajar tatap muka di sekolah tidak seperti saat normal.

Kekhawatiran Orang Tua

Tapi apa iya? Apa iya, anak-anak seperti anak saya yang tujuh tahun kelas dua SD, bisa diatur-atur untuk menjaga jarak minimal 1,5 meter dengan teman sekelasnya? Teman yang selama berbulan-bulan dia rindukan. Trus, dilihatnya pula teman satu mejanya dulu pakai masker lebih cantik dari miliknya. Bagaimana kalau mereka “saling pinjam” saling tukar masker dengan suka cita seperti biasanya mereka saling pinjam pensil atau saling tukar makanan dengan gembira?

Baca Juga  Ancaman Penyakit Masa Lalu dalam Penanganan Covid-19

Rasanya, urusan sekolah tatap muka tidak hanya melibatkan anak-anak dan para guru saja. Akan ada pihak lain yang sulit dikontrol untuk tidak berkerumun. Mulai dari penjaga sekolah, tukang bakso dan tukang jajanan di pinggir jalan depan sekolah (karena kantin ditutup), sopir angkot dan tukang becak yang menaikkan dan menurunkan anak-anak di depan pintu gerbang, hingga para orangtua bermobil atau naik motor yang antar jemput anaknya ke sekolah, dan seterusnya.

Sebelum berada di depan gerbang sekolah anak saya, mereka itu entah dari mana-mana, entah berkerumun dengan siapa. Dan akhirnya (kembali) bersosialisasi (berkerumun), bertegur sapa dan berbagi kabar setelah sepuluh bulan tidak bertemu. Bagaimana kalau di antara mereka adalah si pembawa virus corona yang tak jatuh sakit (silent carrier corona)? tapi justru menyebarkannya ke orang lain?

Pembukaan Sekolah Berdampak Luas

Saya khawatir membayangkan sesuatu yang buruk akan terjadi. Ketika nanti salah satu anak dinyatakan positif corona setelah mengikuti sekolah tatap muka, dia (sebenarnya) tertular dari siapa? Bagaimana contact tracing dilakukan dan kepada siapa? Apakah hanya kepada teman sekelasnya saja, seluruh kelas sekaligus, keluarganya juga, uwak tukang bakso juga, makcik tukang jajanan, opung tukang becak, atok sopir angkot yang sudah entah di mana, atau, siapa lagi? Siapa yang akan melakukan contact tracing, mekanisme dan prosedurnya bagaimana? Lalu swab dengan biaya yang mahal siapa yang bayar?

Kekhawatiran lainnya, ketika hasil tracing menemukan seorang anak positif COVID-19 ternyata ditulari oleh temannya yang silent carrier. Si anak pulang ke rumah tanpa demam, tanpa gejala, tetapi menulari seluruh keluarganya. Saya kok kebayang, selain lonjakan kasusnya sendiri, konflik antar orangtua dan pihak sekolah tidak terhindarkan. Saling tuding, saling menyalahkan. Lalu kepanikan bagaimana melakukan tracing, treatment dan seterusnya. Situasi ‘horor’ ini akan terjadi di sekolah anak saya.

Baca Juga  Haji Indonesia Beradab dan Bermartabat

Bisa ditebak sih, paling sekolah ditutup lagi, seperti pada sekolah-sekolah lain yang dibuka sebelumnya. Artinya, sambil mengupayakan penghentian laju penyebaran pandemi COVID-19 di satu sisi, tapi pada sisi lain membuka kran untuk cluster baru penyebaran COVID-19. Menyumbang kenaikan grafik (yang seharusnya tidak terjadi) lalu berusaha menghentikannya lagi. Pepatah Melayu berbunyi, “Pintar tak terikuti, bodoh tak terajari”.

Sekarang, pemerintah me-nyerah-kan keputusan akhir apakah anak-anak akan “dilepas” untuk belajar tatap muka di sekolah atau tidak kepada orangtuanya. Resikonya adalah nyawa anak-anak kita. Oleh karena itu, now it’s my turn! giliran saya sekarang. Menggunakan kebebasan dan kewarasan untuk mengambil keputusan, bahwa keselamatan nyawa anak saya adalah prioritas utama. Tidak sekedar memenuhi hasrat dan kebutuhan anak untuk bersosialisasi di tengah pandemi.

Bagi saya, membuka sekolah lagi pada saat grafik kasus sedang tinggi dan merelakan anak belajar tatap muka pada Januari 2021 nanti, sama dengan mewarisi watak dalam pepatah Melayu tersebut.

Mas Nadiem, mohon pertimbangkan lagi!

Editor: RF Wulan

Avatar
3 posts

About author
Ibu Rumah Tangga sekaligus aktivis Perempuan Akar Rumput (HAPSARI)
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds