Inspiring

KH. AR. Fachruddin, Sahaja dan Gembira dalam Dakwah

3 Mins read

Salah satu yang menjadi role model atau pedoman kita dalam berdakwah adalah Nabi Muhammad saw. Pada beliau terhimpun corak dan gaya dakwah yang elegan, santun, dan pada waktu yang bersamaan, juga tegas. Dengan sikap tegasnya, beliau sama sekali tidak pernah mengolok-olok kelompok atau pihak lain. Sikap tegasnya tetap dibungkus dengan bahasa dan langgam dakwah yang santun.

Hal ini misalnya berbeda dengan zaman kita sekarang. Dakwah telah keluar dari jalurnya. Dakwah yang harusnya berisi peringatan dan berita gembira, malah berisi dakwah yang menyebar rasa takut. Dakwah yang seharusnya digunakan untuk merangkul mereka yang selama ini jauh dari agama, malah membuat orang-orang itu menjauh. Bagaimana tidak, dakwah dikenalkan dengan wajah yang menyeramkan. Dakwah yang hanya berisi tentang haram, siksa neraka, dan berbagai ancaman lainnya.

Selain itu, yang lebih menyedihkan lagi, mimbar dakwah di zaman ini telah banyak dijadikan sebagai tempat mengumbar umpatan, caci maki, dan ejekan. Dakwah kehilangan wajahnya yang teduh, sejuk, sahaja, dan gembira. Dari situ, dari keadaan yang demikian, dalam perasaan kita timbul kerinduan akan sosok pendakwah atau  penceramah yang dakwahnya menyejukkan, bersahaja dan ramah. Di tengah kerinduan tersebut, penulis teringat salah satu tokoh dan ulama Muhammadiyah. Penulis mengira bahwa beliau dapat menjadi contoh dan teladan kita tentang bagaimana seharusnya dakwah itu disampaikan. Beliau adalah KH. AR Fachruddin, ketua umum terlama sepanjang sejarah Muhammadiyah (1969-1990).

Mengenal KH. AR. Fachruddin

KH. Abdurrozaq Fachruddin atau yang lebih jamak kita panggil KH. AR Fahcruddin lahir di  Macanan, Clangap, Purwanggan, Pakualaman Yogyakarta tanggal 14 Februari 1916. Ayahnya bernama KH. Fachruddin. Karenanya, tidak heran jika di akhir nama beliau tersemat nama “Fachruddin”. Nama itu diambil dari nama ayahnya sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Sedangkan ibunya bernama Sitti Maimunah. Anak dari Kiai Idris, seorang  penghulu Pakualaman Yogyakarta.

Baca Juga  Pesantren dalam Bingkai Moderasi Beragama: Menaladani Aktivitas dan Kurikulum Peacesantren Welas Asih

Kiai AR memulai pendidikan dasarnya di Standaard School Muhammadiyah (sekarang SD Muhammadiyah) Prenggan, Kotagede Yogyakarta. Di sekolah ini, AR pernah menjadi juara satu lomba pidato antar sekolah Muhammadiyah se-Kotagede dan mendapat hadiah berupa tas yang harganya kira-kira sejumlah 0,55 gulden atau setara dengan 55 sen. Hal ini menjadi hal yang selalu dan begitu dikenang oleh Kiai AR setamat dari SD Muhammadiyah tersebut.

Selanjutnya pada tahun 1928, AR kecil melanjutkan pendidikan menengahnya di Madrasah Muallimin Muhammadiyah di Jalan Tamansari, Patangpuluhan. Namun tidak sampai selesai, hanya sekitar kurang dari dua tahun. Sebab pada tahun 1929, AR dipanggil pulang oleh ayahnya ke Bleberan. Karena orang tuanya sudah tidak mampu lagi membiayai pendidikannya. Di samping itu, AR juga mendapat pendidikannya dari Madrasah Darul Ulum, Wonopeti, Brosot dan mengikuti sekolah non-formal seperti School Tabligh Muhammadiyah.

Dakwah dan Karir Kiai AR di Muhammadiyah

Ilmu yang didapatkannya dari ayahnya dan dari School Tabligh Muhammadiyah yang ia ikuti ternyata sangat berjasa bagi Kiai AR dalam bertugas menjadi pendakwah Muhammadiyah. Di usianya yang masih belia (18 tahun), AR telah menjadi seorang pendakwah. Pada tahun 1936 Kiai AR diutus oleh PP (Pimpinan Pusat) Muhammadiyah untuk jadi guru di sekolah-sekolah Muhammadiyah yang berada di Palembang.

Setelah 10 tahun mengabdi sana, Kiai AR kemudian kembali lagi ke Yogyakarta. Semangatnya dalam berdakwah tidak pernah lentur dan terus menggelora.  Pada 1944, ia mengajar di sekolah Darul Ulum dan menjadi anggota pengurus Muhammadiyah Sewugalur. Di sinilah pengalaman dan karir organisasi Kiai AR di Muhammadiyah dimulai.

Pada tahun-tahun berikutnya, karirnya di Muhammadiyah semakin meningkat. Pada tahun 1952, ia sudah menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah Kotamadya Yogyakarta. Kemudian pada tahun selanjutnya Kiai AR terpilih menjadi ketua Pimpinan Muhammadiyah Daerah Istimewa Yogyakarta. Dan dari tahun 1956 sampai 1965, AR terus menjadi anggota Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.

Baca Juga  Amin Abdullah: Enam Jalan Moderasi Beragama

Tidak berhenti di situ. Karir Kiai AR ternyata terus melejit. Berikutnya menjadi wakil ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan pada puncaknya ialah menjadi orang nomor satu di Muhammadiyah, yakni menjadi ketua PP Muhammadiyah. Dan posisi itu terus didudukinya sampai dengan tahun 1990. (Sukriyanto AR: 2017)

Jadi, selama empat kali Muktamar digelar, Kiai AR terus terpilih. Namun yang penulis salut dari Kiai AR, meskipun telah jadi orang nomor satu di Muhammadiyah, beliau tidak segan untuk turun ke tingkat ranting dan berdakwah kepada warga persyarikatan di sana. Bagi beliau, dakwah adalah yang utama. Sebab masih banyak umat Islam di akar rumput yang membutuhkan pencerahan. Kalau bukan kita, siapa lagi yang akan turun?

Sahaja dan Gembira dalam Dakwah

Buya HAMKA pernah mengatakan bahwa semakin luas ilmu seseorang, maka makin sedikit dia menyalahkan orang lain. Jadi, rasa toleransi itu tumbuh di atas ilmu yang luas. Mereka yang dakwahnya sejuk dan bersahaja adalah mereka yang memiliki pengetahuan yang luas. Dan hal itu saya kira juga berlaku pada Kiai AR Fachruddin.

Gaya dakwah beliau yang teduh dan menyentuh pasti dikarenakan pribadi beliau yang berwawasan luas. Dalam kesaksian Amien Rais sewaktu kuliah di UGM (Universitas Gajah Madha), di tengah-tengah waktu senggangnya, Kiai AR pasti selalu menyempatkan diri untuk membaca buku-buku agama atau katakanlah kitab-kitab kuning.

Dakwah Kiai AR tidak pernah menyinggung dan melukai hati orang lain. Beliau adalah pribadi yang tenang dalam laku dan kata. Kalimat-kalimatnya selalu santun dan mampu menembus hati pendengarnya. Dan itu, menurut keyakinan Amien Rais, karena yang disampaikan oleh Kiai AR bukan hanya otak belaka, tapi yang lebih banyak adalah dari hati yang ikhlas. (Pesan dan Warisan Pak AR: 1995)

Baca Juga  Keistimewaan dan Keteladanan Abdurrahman bin Auf

Beliau tidak pernah menampilkan Islam sebagai sesuatu yang menyeramkan. Islam selalu ditampilkannya dalam wajah ramah. Dalam berdakwah, Kiai AR tidak pernah menggunakan bahasa-bahasa yang rumit, beliau selalu menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan terkadang diselingi dengan humor. Dengan model yang seperti itu, dakwah Kiai AR menjadi lebih mudah diterima di kalangan “wong cilik”.

Begitulah Kiai AR. Isi ceramahnya selalu sahaja dan gembira. Dan gaya dakwah seperti itulah yang mesti kita tiru. Dakwah yang merupakan aplikasi nyata dari tuntunan dalam Q.S. an-Nahl [16]: 125.

Editor: Yahya FR

Avatar
18 posts

About author
Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan PC IMM Ciputat
Articles
Related posts
Inspiring

Imam Al-Laits bin Saad, Ulama Besar Mesir Pencetus Mazhab Laitsy

3 Mins read
Di zaman sekarang, umat Islam Sunni mengenal bahwa ada 4 mazhab besar fiqh, yang dinisbahkan kepada 4 imam besar. Tetapi dalam sejarahnya,…
Inspiring

Ibnu Tumart, Sang Pendiri Al-Muwahhidun

4 Mins read
Wilayah Maghreb merupakan salah satu bagian Dar al-Islam (Dunia Islam) sejak era Kekhalifahan Umayyah. Kebanyakan orang mengenal nama-nama seperti Ibnu Rusyd, Ibnu…
Inspiring

Kenal Dekat dengan Abdul Mu'ti: Begawan Pendidikan Indonesia yang Jadi Menteri Dikdasmen Prabowo

3 Mins read
Abdul Mu’ti merupakan tokoh penting dalam dunia pendidikan dan organisasi Islam di Indonesia. Ia dikenal sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds