Dulu, Muslim Madinah di masa Nabi, tidak satu padu. Ada dua golongan: mukmin dan munafik. Berangkat dari itu, dalam ulasan kali ini, saya akan lebih memaparkan bagimana bersikap Nabi kepada golongan atau kelompok orang munafik. saya tidak akan memaparkan tulisan yang menyoal bagaimana toleransi Nabi kepada sesama mukmin, karena sudah terlalu banyak. Lalu, bagaimana cara menghadapi orang munafik?
Orang Munafik Zaman Nabi dan Sekarang
Orang bermuka dua itu adalah sekelompok orang-orang unik sekaligus berbahaya, pasalnya orang ini bisa menjelma menjadi musuh dalam selimut. Mereka adalah lain dari pada kafir atau mukmin. Mereka disebut-sebut terkelompok secara abstrak dengan gerakan bawah tanah yang rapi dan sabar.
Mereka adalah mukmin yang beribadah, terkadang pula berangkat berjihad dengan takbir, namun dengan misi tersendiri yaitu ghanimah. Kadang ia bermuka baik, kadang bisa bermuka buruk. Perubahan tersebut bisa dilakukan sewaktu-waktu sesuai dengan kepentingannya. Jika dirinya harus bermuka santri maka ia lakukan itu, demikian pula jika ia harus berhubungan dengan para penjahat, langsung berubah dirinya menjadi penjahat.
Kalau ditarik ke Negara Indonesia, Islah Bahawi dalam tayangan IG TV (6 Desember 2020) mengatakan bahwa ada sekelompok orang yang mengaku mencintai Pancasila dan membeci komunisme tapi pada bagian lain kelompok itu ingin menegakkan sistem khilafah, inilah yang disebut kemunafikan. Sebab, ideologi-ideologi yang bertentangan dengan Pancasila itu pada awalnya tampil sebagai pahlawan yang seolah-olah ingin menyelamatkan Bangsa. Tetapi pada akhirnya hanya akan menikam dari belakang, hanya akan menggunting dalam lipatan.
Abdullah bin Ubay dan Cara Nabi Menghadapinya
Sebagai pemimpin, dalam menghadapi masalah seperti ini, Nabi selalu memandang kalimat syahadat sangatlah mahal harganya, oleh sebab itu Nabi tidak memerlakukan mereka sebagai kafir. Nabi pun juga tidak pernah menuding-nudingkan jari sembari menyerapahi “kafir”, selain beberapa sindiran tanpa menyebut nama, seperti dalam ayat: “Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih.” (QS. An-Nisa. [4]: 138.
Dikisahkan Abdullah bin Ubay bin Salul adalah sosok yang sering disebut sejarawan muslim sebagai rais (kepala) meski sebenarnya kelompok munafik tidak terorganisasi secara riil. Kekecewaan atas kandasnya ambisi memimpin Madinah oleh sebab suara yang dengan susah-payah ia galang tiba-tiba beralih kepada Rasulullah, membuatnya memilih untuk menjadi serigala berbulu domba sebagai strategi perang yang relatif aman. Dalam suatu insiden di perairan Muraisik anatara seorang Anshar dan Muhajirin, dalam ekspedisi ke Bani Musthaliq, Abdullah bin Ubay bahkan memprovokasi tentara muslim untuk membunuh Rasulullah.
Umar yag geram menyeru Bilal agar membunuh Abdullah bin Ubay, tapi Rasulullah dengan sikap bijak segera meredam emosi massa. Sepulang mereka di Madinah, turunlah ayat 7-8 surah Al-Munafiqun, dan demi ayat itu para sahabat segera yakin bahwa Rasulullah pasti akan segera memerintahkan eksekusi atas Abdullah bin Ubay.
Namun tidak, itu terbukti ketika anak laki-laki Abdullah bin Ubay, yaitu Abdullah bin Abdullah bin Ubay, datang kepada Rasulullah menawarkan diri sebagai relawan: ”Wahai Rasulullah, jika Anda hendak membunuh ayahku, maka perintahkanlah aku. Sungguh demi Allah aku akan membawakan kepalanya untuk Anda.” Rasululah mejawab; “Jangan, Kita harus berlaku baik kepadanya, sampai ia atau kita meninggal. Agar orang-orang tidak mengatakan bahwa Muhammad telah membunuh sahabat-Nya.”
Sikap Toleran Nabi Muhammad
Mari sejenak kita tadaburkan ketinggian sikap toleran Nabi kepada sesama muslim yang lain golongan. Keburukan Abdullah bin Ubay sudah sangat keterlaluan. Tetapi syahadat yang ia ucapkan, membuat Nabi harus mengatakan bahwa ia adalah ‘sahabat-Nya’, yang haram darah, harta, dan keperwiraannya.
Juga tafakurkan bagaimana ketika Abdullah bin Ubay menjemput ajal. Ia berwasiat kepada anaknya; Abdullah bin Abdullah agar mendatangi Nabi untuk meminta gamis sebagai kafan dan agar Nabi menyalatinya. Abdullah bin Abdullah pun melaksanakan wasiat itu dengan segala kebimbangan tentunya. Sebab sudah lama ia membenci bapaknya sendiri oleh karena sifat kemunafikan yang menonjol.
Suatu ketika, Ia bahkan pernah menghadang bapaknya di gerbang Madinah dengan pedang terhunus dan sikap menantang, ia menyuruh bapaknya untuk mengatakan bahwa “Muhammad mulia saya hina.” Lagi pula, ia tahu sekali bahwa wasiat bapaknya itu sarat kontroversi. Namun, sebagai anak yang berbakti, ia tetap akan melaksanakan wasiatnya, toh isi wasiat itu tidak seburuk kemunafikan bapaknya.
Nabi dengan semesta hati, pun datang tak lupa memberikan gamis-Nya lalu bermaksud menyalati Ibnu Ubay. Umar lalu datang menghalangi, “Wahai Rasulullah jangan salati ia, sungguh Allah melarang Anda untuk menyalatinya!. Nabi menimpali, “Allah memberi-Ku pilihan; [kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendati pun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka.] (QS. At-Taubah [9]; 80). Aku akan menambah lebih dari tujuh puluh kali.”
***
Itulah yang dibangun Nabi di Madinah; solidaritas ukhuwah Islam. Seseorang yang telah membaca syahadat dan menjadi ahli kiblat tidaklah halal darah, harta, dan harga dirinya. Ketika Nabi enggan membunuh Ibnu Ubay, saat itulah yang diajarkan oleh Nabi sebagai Negarawan dan politikus untuk selalu mempunyai sikap toleransi kepada muslim lain. Demikianlah cara menghadapi orang munafik.
Mari kita senantiasa mencontohnya sekaligus semoga Allah menjauhkan kita dari sifat penjilat yang sering kali bermuka dua, Amiiin.
Editor: Nabhan