Sirr al-Asrar adalah salah satu dari sekian banyak karya tulis Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam bidang tasawuf. Kitab ini laksana pedoman anak tangga pertama seorang salik sebelum menapaki anak tangga kehidupan sufistik.
Setiap bab dalam kitab Sirr al-Asrar memperlihatkan bagaimana lelaku sufistik tidak hanya tentang sesuatu yang non-inderawi. Bahkan dalam beberapa bab, justru dijelaskan pentingnya penguasaan salik atas perkara-perkara inderawi (syariat).
Kitab Sirr al-Asrar, dan Nuansa Dualisme yang Terkandung di Dalamnya
Tulisan singkat ini tidak pada posisi untuk membuktikan Syekh Abdul Qadir al-Jailani sebagai seorang sufi atau sebaliknya. Karena selain penelitian ilmiah serupa telah banyak dilakukan, penulis di sini ingin fokus pada karya beliau, kitab Sirr al-Asrar, dan nuansa dualisme yang terkandung di dalamnya.
Nuansa dualistik dalam kitab ini juga menjelaskan betapa sang pengarang secara tidak langsung turut mengamini adanya dua substansi yang membentuk kesempurnaan.
Dualisme sendiri adalah aliran dalam ontologi filsafat yang menganggap roh dan benda adalah hakikat. Keduanya adalah substansi penting dan saling membersamai.
Roh tidak muncul karena benda, begitu juga benda tidak muncul karena roh. Kedua hakikat tersebut nyata beda namun saling berhubungan secara alamiah. Contoh ketika hati/jiwa seseorang sedang dalam kebahagiaan, maka akan tersalurkan lewat raut wajah dengan senyum sumringahnya (Juhaya, Aliran-Aliran Filsafat, 42).
Kembali kepada kitab Sirr al-Asrar. Siapa sangka jika Syekh Abdul Qadir al-Jailani juga menggunakan pola-pola dualisme dalam menjelaskan ilmu tasawuf? Mulai dari mukaddimah kitab yang menjelaskan urgensi ilmu lahir dan ilmu batin bagi salik untuk sampai pada tingkatan ma’rifat.
Ilmu lahir adalah syariat Islam itu sendiri. Sebuah tuntunan, ajaran, dan pedoman untuk menghamba kepada Allah Swt. Sedang ilmu batin (tarekat) adalah zikir, wirid, atau tirakat tertentu yang tujuannya untuk membersihkan jiwa dari sifat-sifat kotor sebelum ‘menghadap’ Tuhan (Abdul Qadir al-Jailani, Sirr al-Asrar, 48).
Hampir setiap penjelasan di bab-bab berikutnya mengarah pada adanya relasi nyata antara perkara inderawi dan non-inderawi. Sebagaimana kesedihan hati seseorang yang sedang patah hati, niscaya akan terpancar dan nampak jelas di wajahnya. Sehingga orang-orang di sekitarnya pun turut merasakan kesedihannya.
Empat Bab Pembahasan Dualisme
Dalam kitab ini, ada empat bab yang secara gamblang mencerminkan dualisme tasawuf Syekh Abdul Qadir al-Jailani. Masing-masing yakni pada bab keempat belas, fi bayan shalat al-shari’ah wa al-thariqah; enam belas, fi bayan zakat al-shari’ah wa al-thariqah; tujuh belas, fi bayan al-shaum al-shari’ah wa al-thariqah; dan delapan belas, fi bayan al-hajj al-shari’ah wa al-thariqah.
Pada bab empat belas, Syekh Abdul Qadir al-Jailani menjelaskan mengenai salat secara syariat dan salat secara tarekat. Salat secara syariat adalah salat sebagaimana dilakukan oleh umat Islam pada umumnya, yakni dengan menyertakan pergerakan anggota badan seperti berdiri, rukuk, sujud, duduk di antara dua sujud dan seterunya.
Sedangkan salat secara tarekat adalah salatnya hati, yakni penyembahan tiada henti kepada Allah dengan menghadirkan seluruh kesadaran jiwa fokus kepada-Nya.
Dan jika salat secara syariat memiliki waktu-waktu tertentu, lain halnya dengan salat secara tarekat yang tidak memiliki batas ruang dan waktu. Uniknya lagi, dalam bab tersebut juga dikutip sebuah hadis Nabi dengan nilai-nilai dualistik sebagai berikut:
أَلَا إِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةٌ إِذَا صَلُحَتْ صَلُحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَ إِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: “Ketahuilah bahwasanya di dalam tubuh ini ada segumpal daging. Jika gumpalan tersebut baik/sehat, maka sehat pulalah seluruh tubuh. Dan jika gumpalan tersebut rusak/sakit, maka rusaklah seluruh tubuh. Segumpal daging tersebut adalah hati”. (Ibid., 104-106)
Kebenaran Sejati
Dilanjut pembahasan mengenai zakat secara syariat dan zakat secara tarekat pada bab keenam belas. Zakat secara syariat adalah zakat fisik (harta duniawi) yang wajib dikeluarkan setiap muslim setiap setahun sekali atau ketika mencapai nisab.
Zakat dikeluarkan untuk di-tasharruf-kan kepada fakir miskin atau mustahiq zakat. Adapun zakat secara tarekat adalah pemberian non-fisik (harta ukhrawi) berupa pahala bacaan wirid, doa, tahlil atau semacamnya kepada ahli maksiat dengan harapan agar mereka mendapat ampunan Allah Swt. (Ibid., 110-111).
Bab ketujuh belas menjelaskan puasa secara syariat dan puasa secara tarekat. Jika puasa secara syariat diartikan sebagai menahan diri secara lahiriyah dari makan, minum, dan berhubungan badan bagi suami isteri di siang hari, maka puasa secara tarekat lebih fokus pada menahan diri dari perkara-perkara yang dilarang secara batin seperti sifat sombong, riya, hasud.
Walhasil jika seseorang memiliki sifat sombong, maka puasanya batal secara tarekat, laksana batalnya puasa secara syariat sebab makan (Ibid., 112-113).
Dan yang terakhir adalah bab delapan belas, menjelaskan haji secara syariat dan haji secara tarekat. Haji secara syariat adalah perjalanan haji ke baitullah, mendatangi kota Makkah al-Mukarramah menuju Kakbah, dengan syarat dan rukun yang telah ditentukan.
Sedangkan haji secara tarekat adalah perjalanan seorang salik untuk mencari mursyid dan mengambil talqin darinya. Membiasakan sekaligus melanggengkan bacaan zikir lisan sampai hatinya hidup; bersih, peka, tenang (Ibid., 114-115).
Beberapa penjelasan di atas semakin mencerminkan nilai-nilai dualistik yang terkandung dalam kitab Sirr al-Asrar. Ilmu tasawuf yang diusung Syekh Abdul Qadir al-Jailani dalam kitab ini mengajarkan keseimbangan antara sisi lahir dan batin manusia. Keduanya sama-sama substansial untuk sampai pada ma’rifat.
Seorang salik tidak akan sampai pada kebenaran sejati (ma’rifatullah), jika hanya mengandalkan salah satu dari dua substansi yang ada pada dirinya, entah secara lahiriyah, atau batiniyah semata.
Wallahu A’lam bi al-Shawwab.
Editor: Lely N