Report

Orasi Guru Besar, Hilman Latief: Etika Islam dan Semangat Filantropisme

4 Mins read

IBTimes.ID – Orasi Guru Besar Hilman Latief digelar pada Sabtu (30/1). Ia menjadi Guru Besar dalam bidang Islamic Studies and Arabic, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Orasi tersebut disiarkan secara langsung melalui kanal YouTube.

Dalam orasi pengukuhan Guru Besar tersebut, Hilman Latief menyampaikan bahwa narasi-narasi besar dan konsepsi-konsepsi spiritualitas yang terdapat dalam al-Qur’an maupun Hadis telah menjadi landasan etis kaum Muslim untuk membangun semangat filantropisme. Tidak sedikit ayat-ayat al-Qur’an yang menginspirasi kaum Muslimin untuk memformulasikan tindakan kebajikan dalam bentuk aktivisme yang bersifat filantropik. Filantropi dalam hal ini mencakup aspek kedermawanan, gotong royong, saling membantu, kebajikan dan kepedulian sosial, solidaritas ekonomi dan lain-lain.

Ia menyebut ada semangat yang bernuansa ‘kapitalistik’ dalam ajaran Islam yang dibatasi oleh prinsip-prinsip moralitas yang menjunjung rasa dan tindakan berkeadilan. Hal ini ia sebut dengan ‘dimensi etik’ ajaran Islam yang telah menjadi rujukan kaum Muslim di berbagai belahan dunia, baik ketika mereka menjadi mayoritas maupun minoritas, apapun mazhab atau aliran fikih mereka.

Hilman menjelaskan bahwa di awal abad ke dua puluh, Ahmad Dahlan dari Yogyakarta, pendiri gerakan Muhammadiyah, harus mengajarkan berkali-kali tentang semangat filantropi dan keadilan dari Surat al-Mâûn kepada murid-muridnya agar Islam dapat menjadi gerakan sosial. Dahlan mendirikan sekolah dan mendorong kalangan muda yang menjadi kadernya untuk mencari ilmu dan bertebaran dimana-mana, namun mereka diminta tetap dapat kembali menggerakkan persyarikatan Muhammadiyah berikut semangat filantropinya.

Selain itu, Muhammad Fethullan Gülen dari Turki menjadi pelopor sebuah gerakan yang disebut hizmet (pelayanan). Ia harus menyampaikan banyak gagasan dalam ceramahnya yang kemudian banyak dibukukan untuk membangun kesadaran ‘etis’ baru seorang Muslim yang hidup di era modern.

Baca Juga  Dubes RI di Korsel: “Saya itu Fans Boy-nya Pak Malik!”

Gülen, lanjut Hilman, mendorong para pengikutnya untuk belajar sains dan menjadi professional dan menjabat di berbagai posisi. Namun mereka diminta tetap menjadi seseorang yang memiliki semangat keberpihakan pada kemanusiaan.

“Setali tiga uang dengan fenomena di atas, Sayyid Qutb dari Mesir dan Ali Syariati dari Iran adalah beberapa nama lain dari para sarjana Muslim yang mengelaborasi dimensi etik Islam agar kesadaran tentang keadilan di kalangan Muslim semakin mengental. Para pemikir Islam komtemporer juga tidak pernah lepas dari isu keadilan, seperti Hassan Hanafi, Nasr Hami Abu Zayd, dan Asghar Ali Engineer,” imbuhnya.

Pria kelahiran Tasik, 12 September 1975 tersebut menyebut karakter dari gagasan-gagasan tersebut memiliki nada-nada yang sangat ‘sosialistik’ dan masxis. Dengan berbagai kontroversinya, para intelektual Muslim memiliki perhatian yang sama tentang perlunya keadilan sosial.

Menurut Hilman, di Indonesia dan juga di beberapa negara lainnya kini ada persinggungan yang lebih kasat mata antara gairah gerakan ekonomi Islam dan semangat filantropisme. Ada relasi yang semakin kuat antara Islam dan ekonomi. Islam tidak hanya dirumuskan sebagai sebuah konsepsi ritual yang menenangkan batin penganutnya, tetapi sebagai sebagai cara pandang dunia yang menopang perilaku ekonomi mereka, mendorong kesejahteraan masyarakat dan menjadikan kelompok Muslim menjadi kelompok yang produktif dan unggul.

Dalam hal ini, menurut Hilman, kelas menengah memiliki peran yang sangat kuat dalam merumuskan konsep-konsep maupun strategi yang diambil dari tradisi Islam untuk meningkatkan taraf hidup dan ekonomi masyarakat. Masyarakat Muslim di beberapa negara mulai melihat bahwa demokrasi dan kapitalisme—dengan berbagai dimensi negatif yang diasosiasikan dengannya seperti sekular, kerakusan, eksploitasi, dan pasar bebas—dianggap tetap akan memberikan dampak ekonomi dan politik yang kuat bila diambil dan dimodifikasi dalam masyarakat Muslim, khususnya kelas menengah.

Baca Juga  Abdul Mu’ti: Kultur Feodalistis dalam Dunia Filantropi Harus Dihilangkan

Sebagian kaum Muslim kemudian membangun ‘habitus’ berupa ‘ruang baru’ untuk menerjemahkan Islam dalam ruang kapitalisme dan sosialisme. Gerakan filantropi Islam yang berkembang dewasa ini, menurut pengamatan Hilman, tidak lepas dari pergulatan yang terjadi antara Islam, semangat kapitalisme dan sosialisme, dan bermutasi menjadi “Islamic-philanthro-capitalism” dengan berbagai derivasinya, termasuk “Islamic philanthropreneurship”. Kaum Muslim mecoba merumuskan kembali makna kapitalisme dan makna Islam, dan mencoba memberikan dimensi moralitas keagamaan terhadap kapitalisme.

Mereka menggeser paradigma lama dalam mendorong manusia untuk membangun kesejahteraan masyarakat dari konsep al-‘abd (hamba) kepada al-fard (individu manusia), dari konsep al-ummah (dalam makna yang terbatas kepada kelompok Muslim semata) menjadi al-mujtama’ (masyarakat umum) agar konsep-konsep kesejahteraan dalam Islam bisa dikembangkan.

“Dalam konteks inilah konsep dasar yang menjadi fondasi ajaran Islam seperti zakat dan shadaqah ditempatkan, yaitu untuk mereduksi ketidakadilan. Kelas menengah Muslim dan perkotaan di Indonesia, dan juga di beberapa negara lainnya, nampaknya memiliki posisi dan peran penting dalam dua atau tiga dasawarsa terakhir dalam merumuskan konsep-konsep baru dari filantropi Islam dan mentransformasikan gagasan sederhana dari zakat dan sedekah menjadi sebuah gerakan sosial kemanusian dan memperkuat ‘Islam sosial’ atau ‘jihad sosial’,” imbuhnya.

Dalam Orasi Guru Besar tersebut, Hilman Latief menyebut bahwa persepsi pemerintah dan dunia internasional terhadap gerakan filantropi Islam di Indonesia sebagai negara Muslim mulai mengalami banyak pergeseran. Organisasi filantropi Islam yang terus tumbuh dan berkembang tidak lagi ditempatkan sebagai organsiasi yang harus selalu dicurigai dan dipandang sebagai ‘musuh’, melainkan juga sebagai mitra strategis pembangunan.

Di luar berbagai kritik dan sikap kehati-hatian terhadap gerakan filantropi Islam, lanjut Hilman, fenomena yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir ini justru menunjukkan bahwa organisasi filantropi Islam kerap terlibat dan dilibatkan oleh negara dalam berbagai misi sosial dan kemanusiaan di berbagai peristiwa. Masalah krisis di Timur Tengah dan beberapa negara lain, telah mendorong lembaga filantropi Islam yang mendapatkan dukungan dari negara untuk berpartisipasi untuk dalam menjalankan misi kemanusiaan seperti di Palestina, Yaman, Syria, Thailand Selatan, Myanmar, Filipina dan lain-lain.

Baca Juga  Empat Tren Nama-Nama Anggota Perempuan Muhammadiyah

Dalam mendukung dan mengakselerasi pencapaian SDGs pemerintah dan UNDP mulai melirik lembaga filantropi Islam. Pada bulan April 2017, dilakukan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara lembaga filantropi Islam yang diwakili oleh BAZNAS dengan UNDP dalam rangka mengurangi masalah kemiskinan meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan di Indonesia.

“Transformasi lembaga filantropi Islam di Indonesia dan peran yang mereka mainkan untuk mengisi ‘ruang kosong’ dalam program pembangunan di berbagai bidang seperti pengentasan kemiskinan, penyediaan sarana pendidikan, layanan kesehatan, kelestarian lingkungan, ketahanan pangan, penanggulangan bencana alam dan sebagainya menjadi alasan mengapa UNDP dan BAPPENAS menggandeng lembaga filantropi Islam sebagai mitra mereka,” ujar alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah tersebut.

Diluncurkannya naskah Zakat on SDGs oleh BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional) dan pengarusutamaan SDGs menjadi faktor penting untuk mengikat lembaga filantropi Islam dalam mempercepat pembangunan. Lembaga Amil Zakat Nasional sudah semakin akrab dengan pencapaian SDGs.

Reporter: Yusuf

Avatar
1344 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Savic Ali: Muhammadiyah Lebih Menderita karena Salafi Ketimbang NU

2 Mins read
IBTimes.ID – Memasuki era reformasi, Indonesia mengalami perubahan yang signifikan. Lahirnya ruang keterbukaan yang melebar dan lapangan yang terbuka luas, nampaknya menjadi…
Report

Haedar Nashir: dari Sosiolog Menjadi Begawan Moderasi

2 Mins read
IBTimes.ID – Perjalanannya sebagai seorang mahasiswa S2 dan S3 Sosiologi Universitas Gadjah Mada hingga beliau menulis pidato Guru Besar Sosiologi di Universitas…
Report

Siti Ruhaini Dzuhayatin: Haedar Nashir adalah Sosok yang Moderat

1 Mins read
IBTimes.ID – Siti Ruhaini Dzuhayatin Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyebut, bahwa Haedar Nashir adalah sosok yang moderat. Hal itu terlihat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *