Pada 1980-1990-an, Bapak dan Ibu saya, seorang guru PNS dan aktifis Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah di desa, berlangganan sejumlah majalah kaum pembaharu, reformis dan modernis Islam seperti Suara Muhammadiyah, Majalah Panji Masyarakat (HAMKA), Suara Masjid (Moh Natsir), Media Dakwah (DDII), dan Majalah Rindang (Depag Jawa Tengah). Dari majalah tersebut, sejak masih duduk di SD di kampung, saya mengenal pemikiran-pemikiran pembaharuan Islam dan para pemikirnya terutama dari HMI seperti Nurcholish Madjid, Kuntowidjoyo, M. Amien Rais, Ahmad Syafii Maarif.
Saya juga mulai mengenal para intelektual Muslim muda seperti Komaruddin Hidayat, Azyumardi Azra, Bahtiar Effendy, Fachry Ali, yang pada dekade itu masih muda belia. Saya masih ingat foto Komarudin Hidayat dan Azyumardi Azra yang berpose di kantor redaksi Majalah Panji Masyarakat. Saya juga masih ingat foto dan lukisan Bahtiar Effendy yang tengah mengikuti program pertukaran pelajar AFS di Amerika Serikat di Majalah besutan Buya Hamka itu.
Sejak kecil, saya terpapar, dengan gagasan dan debat para intelektual pemikir Muslim tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kini tengah berulang tahun ke-75. Saya baru menyadari belakangan, bacaan-bacaan di masa kecil itulah, yang memengaruhi atau mendorong saya untuk belajar agama Islam sejak di Pesantren Modern Miftahussalam Banyumas (GUPPI Golkar), MAPK MAN Solo, dan Fakultas Ushuluddin UIN Yogyakarta. Sejak kecil, jika saya refleksikan, saya ternyata bercita-cita ingin seperti para intelektual dan pembaharu Muslim tersebut. Setidaknya, bisa menulis dan berorganisasi dengan baik.
Setelah tamat di MAPK, saya tak lagi berminat sekolah di Al-Azhar Kairo. Minat itu pernah bergelayut ketika saya kelas 2 di MAPK. Guru saya, KH Ahmad Rosyidi, alumni Al-Azhar Mesir, karib Gus Musthofa Bisri di Kairo, selalu mempromosikan Al-Azhar sebagai pilihan terbaik. Guru-guru saya yang lain, lulusan Ummul Qura Arab Saudi dan Pakistan atau India, juga tak kalah menarik minat para siswa MAPK untuk menimba ilmu di kampusnya masing-masing.
Di madarasah ini, saya juga bersyukur didik oleh para tokoh dan kiyai jebolan pesantren NU seperti KH Yusuf, KH Sukemi Mbah Kemi dan Kiyai Mundzir yang mengajar kitab kuning Al-Khusunul Hamidiyah, Ta’limul Muta’allim, dan Alfiah Ibn Malik. Al-Azhar dan Timur Tengah pada kelas 2 itu begitu membetot keinginan. Tapi, orang tua saya punya pandangan lain. Sebaiknya kuliah S1 di Indonesia, setamat itu silakan mau ke mana saja terserah.
Pupus sudah keinginan belajar di Timur Tengah atau Afrika Utara. Saya ingin kuliah di Indonesia dan Barat. Itulah cita-cita di MAPK Solo saat itu. Saya pun memilih jurusan Tafsir Hadis Ushuludin Jogja, karena di sinilah, saya masih bisa mengkaji Qur’an dan Hadis dari sumber-sumbernya Arabnya. Jurusan lain tidak menarik.
Semenjak menginjakkan langkah pertama di Jogja, saya bertekad menjadi aktifis Muslim. Bacaan-bacaan dan pengenalan virtual atas pemikiran Muslim dan pembaharunya di kala kecil makin menyeruak. Tetapi, saya menemukan dunia pergerakan mahasiswa Islam di Jogja kala itu terlibat dalam kompetisi rumit, saling menjegal dan menjatuhkan, apalagi urusan politik kampus. HMI yang saya idamkan sejak kecil, ternyata, juga saling tubrukan antara HMI MPO (menolak Pancasila) dan HMI Dipo (pro Pancasila). Saya masygul di tahun pertama kuliah. Dus, saya pun urung mendaftarkan diri ke HMI atau organisasi mahasiswa Islam ektra kampus manapun.
Sebagai gantinya, saya aktif diskusi dengan berbagai kelompok mahasiswa. Saya aktif terlibat diskusi dan kegiatan teman-temen PM-11, dan terutama yang aktif di KORDISKA (Kops Dakwah Islam Sunan Kalijaga), yang didominasi oleh aktifis PMII seperti Muhammad Nur Hayid, Maesur Zaky dan Zainal Arifin. Secara kultural, saya juga banyak terlibat dengan kegiatan teman-teman PMII atau santri Pondok Krapyak dan Wahid Hasyim. Saya juga sering ikut diskusi yang diselenggarakan oleh HMI Dipo. Di sana, saya bertemu dengan Syamsurizal Panggabean, aktifis HMI dan dosen UGM, yang menulis bersama. Praktis, di awal tahun, saya menyenangi kegiatan ilmiah para organisasi ektrakampus tersebut, tanpa terlibat aktif sebagai anggota.
Tahun kedua, setelah tahun pertama menjelajah alam intelektual yang beragam di organisasi-organisasi Islam, saya justru tertarik dengan sebuah organisasi kecil di lingkungan IAIN/UIN Sunan Kalijaga, yakni Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). IMM adalah organisasi kecil. Tidak satupun teman-teman saya di MAPK yang bergabung dengan organisasi ini. Saya pun, meskipun lahir dari kedua orang tua aktifis Persyarikatan, sebelumnya tidak berminat dengan IMM. Ya, saya secara kultural Muhammadiyah, tetapi tidak pernah mendengar kiprah IMM sebelumnya. Entah dorongan apa, saya pun mendaftar dan bergabung di Ikatan ini.
Berorganisasi di IMM, saya menjumpai banyak kelemahan dan kekurangan. Di banding HMI dan PMII, saya menemukan IMM pada saat itu adalah organisasi underdog di percaturan politik kampus, maupun percaturan pemikiran-intelektual Islam. Namun, saya menemukan para kader dan aktifis IMM lebih senang dengan gerakan sosial dan dakwah, bukan dunia politik. Kader dan para aktifisnya dikenal “anggun moral, anggul intelektual”. Setidaknya, itulah semboyan Ikatan ini. Dari dunia serba-underdog itulah, ditambah dengan kader yang tidak sebanyak dan sementereng HMI dan PMII (kemudian KAMMI), saya justeru banyak belajar dan menggali manfaat.
Di kemudian hari, setiba di Jakarta awal tahun 2012, saya bertemu dengan tokoh-tokoh aktifis-intelektual Muslim HMI, yang saya kenal melalui tulisan atau buku-buku mereka. Baik, tokoh lama maupun tokoh baru. Saya bertemu dengan Hajriyanto Y Thohari (saat itu Wakil Ketua MPR, Ketua Partai Golkar), pada hari saya menginjakkan kaki di Jakarta pada awal Februari 2012. Dari Hajri inilah, saya diperkenalkan dengan aktifis HMI lainnya; Bahtiar Effendy, Rizal Sukma, Amich Alhumami, Agus “John Lenon” Edi Santoso, dan aktifis HMI yang ada di Partai Golkar dan Muhammadiyah.
Sejak itu, saya banyak mengenal lebih dekat tokoh HMI lainnya Muhajir Effendi, intelektual muda HMI M Alfan Alfian, Herdi Sahrasad, dan politisi dan pengusaha Nurhadi Mussawir dan M Yana Aditya. Di gerakan kiri Islam, selain Agus Lenon, saya bertemu dengan AE Priyono, Edwin Partogi, dan Usman Hamid (meski, Usman bukan aktifis HMI). Bersama tiga kawan Islam Kiri itu, saya mendirikan Public Virtue (Yayasan Kebajikan Publik) yang bergerak di advokasi kerakyatan, kebajikan, dan demokrasi digital.
HMI adalah sebuah jaringan pergerakan, pemikiran, dan perkaderan yang solid. Ketika bekerja di UMY, saat masih mahasiswa di UIN, saya dikader menulis dan riset oleh almarhum Said Tuhuleley (aktifis HMI, pernah dipenjara oleh Orde Baru). Pak Said inilah yang berjasa besar dalam karir intelektual saya, terutama intelektualisme kiri yang memihak pada rakyat banyak. Dia mengajarkan saya bahwa Islam adalah agama progresif yang musti harus memberdayakan ummat dan bangsa, melawan sistem dan struktur yang menindas.
Selain itu, tokoh HMI yang memengaruhi minat intelektual saya adalah Moeslim Abdurrahman. Kang Moeslim mempertajam visi intelektual Islam organik dan transformatif yang secara generik saya pelajari teori dan praksisnya dari Ahmad Dahlan, Haji Misbah, Tan Malaka, Ali Syariati, dan Hassan Hanafi.
Dalam mentorship Buya Syafii, Kang Moeslim, dan Amien Abdullah (ketiganya aktifis HMI), sejumlah anak muda Muhammadiyah menggeliat naik ke panggung pemikiran dan intelektualisme Islam Indonesia melalui Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) yang berdiri pada 2003 di Cipogo Bogor: Ahmad Najib Burhani (IMM), Zuly Qodir (HMI MPO), Zakiyuddin Baidhawy (IMM), Piet Khaidir (IMM), Hilman Latief (HMI MPO), Ahmad Fuad Fanani (IMM), David Krisna Alka (IMM), Pradana Boy ZTF (IMM), Ayu Arman — untuk menyebut generasi awal JIMM di antaranya.
Saat mendirikan PT IndoStrategi Jaya tahun 2014, bergerak di bisnis chemical industries and maintenance BROM (www.brom.co.id), saya diajak bergabung menjadi pengurus Himpunan Pengusaha KAHMI (HIPKA). Di sinilah, sejak saat itu, saya berkenalan dan berjejaring dengan, salah satunya, tidak satu-satunya, dengan para pengusaha muda dan senior yang pernah menjadi aktifis di HMI.
Sebelumnya, saya sudah sampaikan kepada KAHMI, bahwa saya tidak pernah ikut LK atau Batra di HMI secara resmi, tetapi memang secara pemikiran dan gerakan saya dekat dengan pemikiran, gerakan, dan para tokoh HMI. Di lingkungan para wirausahawan dan pengusahan HMI ini, saya banyak belajar menguak sisi-sisi usaha dan bisnis. Saya menemukan prinsip egalitarianisme antara senor dan yunior dan meritokrasi, persis yang saya jumpai di Muhammadiyah, begitu kuat di HMI.
Tetapi, saya juga melihat, sebagian kader dan aktifis HMI terjebak pada primordialisme dan lingkaran “perkoncoan” yang kadang merugikan. Hal ini, mungkin, disebabkan oleh begitu soliditas dan kohesifitas jalinan dan jejaring yang kuat dan luas antara para kader. Kohesifitas atau solidaritas tradisional memang bagai dua mata sisi yang sulit dilepaskan. Dampaknya, bisa positif, bisa juga negatif. Seimbang adalah pilihan terbaik.
Saya juga mendapati, HMI yang awalnya didirikan oleh Lafran Pane, aktifis Pemuda Muhammadiyah, sebagai kawah candradimuka organisasi-organisasi Islam di Indonesia yang inklusif, sekarang telah menjadi sebuah “mazhab gerakan” atau organisasi massa Islam sendiri seperti Muhammadiyah dan NU. banyak kader yang tidak masuk atau aktif di organisasi Islam yang ada. Cukup dengan ke-HMI-annya.
Dalam hal ini, untuk kepentingan strategis pembumian gagasan Islam progresif, mungkin, HMI meski terus menjadi pensuplai dan asupan segar ormas-ormas Islam yang ada, seperti para kadernya di masa-masa sebelumnya. Gagasan “keislaman, keindonesiaan, dan kemoderanan” yang digulirkan para pemikir dan intelektual HMI lebih punya kaki-kaki operasionalnya jika bergabung dengan barisan massa yang telah tergabung dalam kekuatan Islamic civil society (ICS) yang telah mapan.
Namun dalam satu atau dua dekade terakhir, api pemikiran, pembaharuan Islam yang menjadi trade-mark HMI tampaknya mulai atau bahkan telah luntur. Yang menonjol, sebagai gantinya, adalah aktifisme dan pengkaderan politik. Ini bagus, tetapi tidaklah cukup untuk memperkuat argumen trilogi Islam, indonesia, dan modernitas tadi itu. Karena itu, tidak heran, jika gerakan atau organisasi mahasiswa Islam tarbiyah dan hizbut tahrir, tampaknya, setidaknya menurut riset Alex Arifianto, lebih menarik minat para mahasiswa dan generasi muda di kampus-kampus Indonesia belakangan ini.
Dirgahayu HMI!
Editor : Yusuf