Perspektif

Menyingkap Makna dan Filosofi di Balik Penggunaan Sarung

3 Mins read

Dalam Ensiklopedia Britanica, disebutkan bahwa sarung telah menjadi pakaian tradisonal masyarakat di Yaman. Kemudian, sarung mulai masuk ke Indonesia pada abad ke-14 dibawa oleh para saudagar Gujarat dan Arab. Penyebutan sarung di berbagai daerah Jazira Arab sangat beragam.

Di Yaman, sarung dikenal dengan nama futah, izaar, wazaar, atau ma’awis. Sedangkan, di Oman, sarung dikenal dengan nama wizaar. Kemudian untuk di Arab Saudi orang lebih mengenalnya dengan nama izaar.

Penggunaan Sarung yang Multifungsi Tanpa Memandang Agama

Bila budaya Barat identik dengan penggunaan piyama sebagai seragam tidur, hal ini berbeda dengan seragam tidur yang dipakai di negara Yaman. Pemakaian sarung di Yaman terutama yang dipakai oleh suku Badui adalah sebagai pakaian tidur.

Penggunaan sarung tidak hanya berhenti di Yaman, penggunaannya pun meluas hingga di luar wilayah Semenanjung Arab. Bahkan penggunaan sarung juga menyebar hingga masuk ke Indonesia.

Dalam negara Indonesia, penggunaan sarung juga menjadi hal yang amat lumrah ditemukan di berbagai wilayah. Sarung amat mudah dijumpai dikenakan oleh setiap masyarakat terutama bagi penganut agama Islam. Pakaian sarung identik dikenakan oleh masyarakat muslim Indonesia ketika dalam pelaksanaan shalat. Bahkan, saking mudahnya benda tersebut ditemukan, niscaya hampir setiap rumah yang ada di Indonesia, dipastikan memiliki dan menyimpan sarung di dalam rumahnya.

Dalam penggunaannya, sarung tidak hanya identik dengan benda yang dikenakan ketika ritual umat Islam Indonesia belaka, namun penggunaan sarung juga digunakan oleh orang-orang di luar agama Islam, seperti umat Hindu di Bali. Mereka menggunakan sarung di setiap upacara-upacara adat dan acara ritual keagamaan.

Menerka Makna di Balik Penggunaan Sarung

Menurut Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi, pada Seminar Nasional Sarung Nusantara pada 6 April 2017, sarung bila dimaknai secara lebih spesifik dalam budaya Sunda, katanya “Sarung itu dari kata Sa dan Rung. ‘Sa’ itu bisa diartikan tidak terbatas atau berlebihan. Ini adalah sifat dasar manusia yang dalam dirinya mengandung tanah, air, udara, dan api. Manusia itu ketika sudah punya tanah, masih ingin memperlebar kepemilikan tanahnya. Begitu juga dengan air. Manusia mempunyai kecenderungan memompa air sebanyak-banyak, padahal yang diminum hanya dua gelas. Begitu juga udara dan api. Keduanya dimanfaatkan dan dikuasai secara belebihan. Kemudian, kata ‘Rung’ artinya dikurung.  Yakni, segala ketamakan manusia yang terdapat dalam keempat unsur tersebut berusaha dibatasi atau dikurung.”

Baca Juga  Wahyudi Akmaliyah: dari “Kesantunan Offline” Menuju “Kesantunan Online”

Penggunaan sarung juga tak lekang oleh zaman, dari masa dahulu hingga sekarang,  sarung selalu identik dan melekat dengan pakaian yang digunakan oleh para santri yang tengah mengenyam ilmu di pesantren. Namun yang memakai sarung tidak melulu harus seorang santri. Sarung yang digunakan oleh para santri digunakan tidak hanya ketika sedang melakukan ibadah semata, namun penggunaan sarung juga dipakai untuk menemani berbagai aktivitas para santri.

Sarung juga dipergunakan para santri sebagai pakaian tidur dan kadang juga dipakai sebagai pengganti selimut. Maka tak aneh bila para santri disebut sebagai kaum sarungan karena dalam setiap kegiatannya sarung selalu membersamai para santri dalam berbagai kondisi.

Kemudian tidak hanya dalam budaya sunda, dalam budaya pesantren sarung memiliki makna filosofi tinggi. Sarung berasal dari kata “sarune dikurung”. Hal ini merupakan sebuah instruksi kehidupan, agar manusia mengedepankan rasa malu, tidak sombong, tidak arogan, apalagi sembrono.

***

Karena itu, dalam kultur pesantren saling menghormati diutamakan, yang muda menghormati yang tua dan yang tua menyayangi yang muda. Karena sarung adalah identitas. Tidak hanya sekedar identitas saja, sarung merupakan simbol kesederhanaan dan fleksibilitas seperti fungsi sarung itu sendiri walaupun bentuknya sederhana namun memiliki berbagai macam fungsi. Bahkan, sarung juga bermakna sebagai bentuk perlawanan terhadap modernitas yang cenderung memiliki konotasi yang negatif atau bahkan dapat merusak moral bangsa.

Sarung juga tidak memiliki karet, atribut resleting dan kancing, maksud dari tanpa atribut ini mengartikan bahwa kita semestinya bersikap fleksibel, tidak kaku dalam bergaul.

Adanya ruang ketika kain sarung dipakai adalah sebuah pengibaratan untuk menerima dengan lapang apa yang menjadi permasalahan untuk dirasai bersama. Gulungan kain di perut mengisyaratkan supaya kita tetap kuat menjaga silaturahmi antar sesama.

Baca Juga  Kemanusiaan Universal: Pesan Abadi Ibadah Haji

Pada akhirnya, sarung yang awalnya hanya sebatas pakaian tidur, sekarang fungsi sarung menjelma menjadi salah satu pakaian kehormatan untuk menunjukkan nilai kesopanan yang tinggi di masyarakat.

Tidak hanya sampai di situ, bahkan sarung juga merupakan bentuk dari adab atau sopan santun dan juga sebagai simbol hidup yang bersahaja.

Editor: Yahya FR

Avatar
6 posts

About author
Seorang santri yang sedang nyantri di Unpad Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Ilmu Sejarah dan bercita-cita ingin melanjutkan program studinya di Turki
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds