Indonesia merupakan negara yang amat sangat kaya dan diberkahi dengan berbagai anugerah. Keberagamaan kebudayaan yang dimiliki Indonesia sudah tidak perlu diragukan lagi. Setiap pulau yang terikat dengan nilai-nilai Nusantara memiliki kebudayaan masing-masing yang tetap dijunjung tinggi. Beragamnya budaya yang dimiliki Indonesia ini terlihat dari hasil kebudayaan tiap-tiap daerah. Hal ini dapat terlihat melalui karya seni, pakaian adat, tarian daerah, lagu daerah, dan upacara adat di daerah sekitar.
Selanjutnya, multikulturalisme merupakan suatu ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud dapat mencakup nilai-nilai, politik, sistem sosial, dan tentunya budaya. Multikulturalisme sendiri berkeyakinan bahwa seluruh warga negara memiliki kedudukan yang sama. Multikulturalisme di Indonesia terbentuk karena kondisi geografis dan sosio-kultural yang begitu mendukung.
Oleh karenanya, keberagaman etnik atau subkultur yang tersebar di suatu masyarakat itu menjadi cukup terlihat. Dari begitu banyak dan beragamnya perbedaan yang dimiliki, nantinya akan terbentuk suatu masyarakat multikultural. Masyarakat multikultural ini nantinya akan membentuk hasil kebudayaan yang multikultural pula.
***
Sekaten merupakan suatu tradisi yang diadakan oleh Keraton Yogyakarta dan Surakarta sebagai perayaan hari kelahiran baginda besar Nabi Muhammad SAW. Sekaten sendiri merupakan peninggalan atau jejak dari multikulturalisme. Jika ditinjau melalui sisi historis, Sekaten yang diadakan tiap tahun oleh umat Islam disana ini telah berlangsung dari abad ke-16 sejak Kesultanan Demak masih berdiri. Tradisi Sekaten ini lalu dipertahankan hingga sekarang oleh Kesultanan Yogyakarta dan Surakarta.
Upacara Sekaten dimaknai berasal dari bahasa Arab yaitu “syahadatain” yang memiliki arti dua kalimat syahadat. Sekaten dirayakan setiap tahunnya mulai dari hari kelima hingga hari ke-12 di bulan Mulud. Upacara Sekaten ini pada umumnya berisikan penabuhan gamelan Kyai Gunturmadu dan Kyai Nagawilaga yang ditutup dengan Grebeg Maulud.
Dibunyikannya gamelan Sekati pada bulan Maulud inilah yang membuat tradisi Sekaten kerap kali dipanggil dengan sebutan lain yaitu perayaan Muludan. Seiring berjalannya waktu perayaan Sekaten berkembang lagi dengan beberapa acara, seperti ditambahkannya pasar malam. Gamelan khas Jawa yang dibunyikan pada perayaan agama Islam ini juga menjadi bukti bahwa Sekaten merupakan jejak peninggalan dari multikulturalisme.
Seperti yang telah dijelaskan, rangkaian utama dari Sekaten adalah pembunyian Gamelan Sekati. Dulunya, para wali membunyikan Gamelan Sekati ini agar masyarakat yang mendengar akan tertarik untuk datang dan duduk mengikuti acara, hingga akhirnya mendengarkan dakwah yang disampaikan oleh para wali.
***
Artinya, para wali mengapresiasi dan sadar akan nilai serta budaya yang ada di sekitar mereka. Meskipun membawa ajaran baru, para wali tersebut tetap beradaptasi dengan budaya disekitar mereka dengan menyampaikan ajaran yang mereka bawa dengan pendekatan yang dapat diterima oleh masyarakat sekitar.
Hal ini merupakan faktor penting dalam keberhasilan para wali dengan proses Islamisasi mereka di pulau Jawa. Mereka tidak memaksa, melainkan masuk dalam kebudayaan itu dengan damai. Oleh karenanya, ajaran yang mereka bawa diterima oleh masyarakat sekitar. Bahkan hingga saat ini, Sekaten masih dipertahankan dan menjadi upacara adat keagamaan yang dirayakan tiap tahunnya.
Yang perlu dipahami adalah kondisi bahwa saat itu, Islam belumlah menjadi agama mayoritas seperti sekarang. Oleh karenanya, para wali menggunakan pendekatan melalui kesenian gamelan untuk menarik perhatian masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa para wali saat itu paham bahwa tanah yang sedang mereka pijak merupakan rumah bagi masyarakat multikultural.
***
Multikulturalisme menjamin setiap warganya akan hak mempertahankan jati dirinya (identity). Hal ini diperlihatkan dengan bagaimana masyarakat Yogyakarta dan Solo tersebut tetap memegang teguh kebudayaan Jawa mereka selagi menerima ajaran agama Islam. Selanjutnya, bangga terhadap nenek moyangnya (ancestry). Hal ini ditunjukkan dengan bagaimana tetap dipertahankannya upacara tersebut bahkan hingga saat ini. Artinya, masyarakat tersebut bangga akan keislaman yang dibawa para wali serta tradisi budaya Jawa yang disatukan pada upacara Sekaten. Terakhir, mempunyai rasa memiliki (sense of belonging). Masyarakat Yogyakarta dan Solo sungguh menerima Sekaten sebagai bagian dari kebudayaan mereka.
Melainkan menimbulkan perpecahaan karena perbedaan antara kebudayaan Jawa dan agama Islam, Upacara Sekaten justru hadir sebagai titik tengah dari kedua perbedaan tersebut. Melalui Sekaten, masyarakat justru berkompromi dan bersikap menerima akan perbedaan yang nyata terlihat.
Sekaten dapat hadir sebagai perwujudan bahwa perbedaan justru dapat membawa sebuah kesatuan, dan menjadi pengikat di antara masyarakat tersebut. Upacara Sekaten menjadi bukti bahwa perbedaan itu dapat diterima, bahkan disatukan. Selain itu Sekaten juga menjadi bukti nyata akan sebuah masyarakat multikultur yang menganut ideologi multikulturalisme. Sebuah perdamaian yang selama ini telah diidamkan.
Editor: Yahya FR