Tarjumān al-Mustafid karya Abdurrauf as-Sinkili (1615-1693 M) diyakini merupakan karya pertama ulama Indonesia mengenai tafsir Al-Qur’an. Padahal, Islam telah berkembang di Indonesia minimal sejak abad ke-13 Masehi.
Diseminasi Ajaran Islam
Mengutip pendapat Snouck Hurgronje, Aboebakar Aceh (1985) mengatakan bahwa selang beberapa tahun setelah Islam masuk ke Indonesia, Daulah Abbasiyah digempur oleh pasukan Mongol yang berada di bawah kepemimpinan Hulaghu Khan (hlm. 2). Peristiwa tragis itu terjadi pada tahun 1258 Masehi. Artinya, Islam di Indonesia sudah ada sejak abad ke-13 Masehi.
Aceh diyakini menjadi persinggahan pertama para pembawa misi penyebaran agama Islam ke Indonesia. Tidak heran jika kerajaan Islam pertama didirikan di bagian pulau Sumatera ini. Malik al-Saleh, sosok yang dikenal sebagai perintis kerajaan Islam di Indonesia diketahui wafat pada tahun 1297 M. Pendapat ini muncul setelah dilakukan penelitian terhadap batu nisan tokoh yang bersangkutan.
Secara bertahap Islam kemudian menyebar ke berbagai penjuru Indonesia. Beberapa sarjana, sebut misalnya Kuntowijoyo dan James L. Peacock, mengatakan bahwa abad ke-14 sampai abad ke-16 merupakan ‘gelombang pasang’ diseminasi ajaran Islam. Dalam proses ini, Wali Sanga mempunyai peranan yang besar.
Kolonialisasi
Kesultanan Demak di bawah kepemimpinan Raden Patah merupakan kekuatan besar Islam di Jawa. Meski begitu, Demak yang menggantikan kekuasaan Majapahit segera menghadapi tantangan baru, yakni kedatangan bangsa penjajah. Berturut-turut sejak masuknya Portugis pada tahun 1511 dan segera disusul Belanda pada tahun 1596, Indonesia mengalami apa yang disebut zaman kolonial.
Dengan masuknya bangsa Kolonial ke Indonesia, persebaran Islam menjadi sedikit terhambat. Kolonialisme telah menyita banyak waktu ulama, karena mereka harus menghadapi kolonialisasi, industrialisasi, kapitalisasi, westernisasi, dan juga kristenisasi.
Akan tetapi, kolonialisasi juga membawa ‘berkah’ tersendiri bagi kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia. Jajat Burhanuddin (2012), misalnya, mengatakan bahwa masuknya bangsa Kolonial membuat kerajaan-kerajaan Islam di Aceh maupun Jawa “terlibat dalam perdagangan jarak jauh” (hlm. 18). Dan salah satu tujuan perdagangan dan perjalanan umat Islam adalah ke Timur Tengah.
Karya Tafsir Pertama
Barangkali, karena sebab-sebab itulah hanya sedikit karya ulama Indonesia di bidang tafsir Al-Qur’an. Sejauh data yang bisa didapat, karya ulama Indonesia baru dimulai pada abad ke-17. Peter Riddell dalam The Sources of ’Abd Al-Ra’uf’s Tarjuman Al-Mustafid menyebut bahwa kitab tafsir Al-Qur’an pertama di Indonesia ditulis oleh Syaikh Abdurrauf as-Sinkili (1615-1693 M). Ia merupakan ulama Aceh bergelar Teungku Syiah Kuala. Syaikh as-Sinkili menulis kitab tafsir berjudul Tarjumān al-Mustafid yang ditulis menggunakan aksara Jawi.
Masih di abad yang sama, terdapat tafsir dengan penulis anonim berjudul Tafsir Surah Al-Kahf. Tafsir ini diduga ditulis pada awal abad ke-17, atau ketika Aceh berada di bawah pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada abad ke-18, Haji Habib bin Arifuddin dari Banten menulis kitab tafsir dengan judul Tafsir Al-Asrar (1782 M). Menurut Islah Gusmian (2015), kitab tafsir ini menonjolkan dimensi sufistik yang termuat dalam ayat Al-Qur’an.
Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah
Abad ke-18 dan ke-19 oleh Islah Gusmian dinilai sebagai abad di mana mushaf Al-Qur’an diproduksi secara besar-besaran di Indonesia. Menurutnya, ada dua tipologi mushaf berdasarkan strata masyarakat yang menulis, yakni kraton (kerajaan), dan masyarakat umum. Mushaf Kraton merupakan mushaf yang ditulis dan/atau tersebar di lingkungan Kraton. Sedangkan Mushaf Masyarakat ditulis dan/atau tersebar di masjid, langgar, atau di pesantren sebagai pusat pengajaran Islam.
Pandangan Gusmian secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa kedudukan seseorang di tengah masyarakat mempengaruhi tingkat kedalaman pengetahuannya tentang Islam. Hal ini berkaitan dengan akses atau jaringan keilmuan. Mereka yang punya akses dan pengetahuan lebih itulah yang kemudian menyebarkan dan mengajarkan Islam kepada para kawula. Penulisan mushaf Al-Qur’an oleh para ulama menjadi sarana pengajaran baca-tulis Al-Qur’an.
Pada awal abad ke-18, Syaikh Nawawi al-Bantani (1813-1879 M) menulis sebuah kitab tafsir berbahasa Arab. Ulama yang keilmuannya diakui di dunia internasional ini menulis kitab tafsir berjudul Marh Labid (disebut juga Al-Munir) pada tahun 1887 di Timur Tengah. Selain menulis kitab tafsir, Syaikh al-Bantani juga menulis kitab-kitab tasawuf dan mensyarah kitab karya ulama khalaf.
Selain karya Syaikh al-Bantani, ada juga kitab tafsir lain yang tak dikenal penulisnya, seperti Kitab Faraid Al-Qur’an yang (hanya) terdiri dari dua halaman, serta Kitab Tafsir Fatihah yang ditulis dalam bahasa Arab dan Sunda dengan total empat belas halaman (Gusmian, hlm. 228).
Pada masa selanjutnya, untuk menyebut satu di antaranya, ada Syaikh Sholeh Darat (1820-1903) yang menulis kitab Faidh Al-Rahman. Kitab tafsir yang ditulis oleh guru dari Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asyari ini merupakan kitab tafsir berbahasa Jawa pertama di Indonesia. Pada masa ini pula, perdebatan seputar boleh-tidaknya penerjemaham Al-Qur’an ke bahasa non-Arab (‘ajam) berada pada titik kulminasi.
Peningkatan Jumlah dan Pergeseran Bahasa dan Aksara
Dalam Warisan Islam Nusantara: Tafsir Al-Qur’an Carakan dan Narasi Reformisme, Siti Mariatul Kiptiah (2020) mengungkap adanya perdebatan ilmiah di kalangan para sarjana, seperti Karel Steenbrink, Salman Harun, Ervan Nurtawab, Martin van Bruinessen, dan L.W.C van den Berg, seputar dinamika keragaman karya tafsir ulama Indonesia (hlm. 2-6).
Terlepas dari adanya perbedaan pandangan, hampir semua sarjana tersebut sepakat bahwa penulisan kitab tafsir kian massif seiring meningkatnya arus reformasi keagamaan dan modernisasi peradaban. Kondisi tersebut sedikit-banyak juga dipicu oleh lahirnya organisasi-organisasi keagamaan, seperti Persis, Al-Irsyad, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, dan lain-lain.
Selain peningkatan jumlah, tidak dapat dimungkiri bahwa reformasi keagamaan dan modernisasi peradaban turut mempengaruhi bahasa dan aksara yang dipergunakan. Jika pada masa sebelumnya aksara yang digunakan seperti Jawi, Pegon, dan Cacarakan, maka pada awal abad ke-20, mulai bermunculan tafsir beraksara latin. Bahasa yang dipergunakan pun beragam, mulai dari bahasa lokal hingga bahasa Indonesia (Gusmian, hlm. 229).
Di antara karya tafsir yang mengawali periode ini adalah Tafsir Jawen karya Bagus Ngarpah, Tafsir Soerat Wal-‘Asri karya St. Cahyati, Tafsir Surat Al-Kahfi dengan Bahasa Melayu karya Abdoel Wahid Kari Moeda bin Muhammad Siddik, Al-Burhan: Tafsir Juz ‘Amma karya Abdulkarim Amrullah, Tafsir Al-Qur’an karya Mahmud Yunus, Tafsir Al-Furqan karya A. Hassan, Tafsir Al-Qur’an Juz ‘Amma dengan Bahasa Jawa karya Ki Bagus Hadikusuma, dan lain-lain.
Editor: Yahya FR