IBTimes.ID – Pada tahun 1932, dalam Konferensi Konsul-Konsul Muhammadiyah di Yogyakarta, tercetus ide untuk membuat Majelis Tanwir.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dalam kegiatan Peresmian Masjid At-Tanwir PP Muhammadiyah Jakarta, Kamis (11/3).
“Saat itu, ketika membahas surat Al-A’raf ayat 157, para konsul Muhammadiyah dari seluruh Indonesia tersebut berselisih paham. Sehingga mereka memutuskan untuk membuat Majelis Tarjih yang bertujuan untuk mengupas ayat tersebut,” ujar Haedar.
Pada tahun 1935, Majelis ini berubah menjadi Majelis Permusyawaratan di bawah Muktamar Banjarmasin. Maka, menurut Haedar, sejak tahun 2000, Muhammadiyah mempopulerkan istilah Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan.
Ia menyebut bahwa Majelis Tarjih sedang menyusun Tafsir yang bernama Tafsir at-Tanwir. Hal tersebut menandakan bahwa Muhammadiyah ingin memberikan cahaya bagi kehidupan umat dan bangsa.
Menurut Haedar, Masjid At-Tanwir tidak hanya digunakan untuk urusan-urusan ibadah, tetapi juga untuk mencerahkan pemikiran, sikap, dan tidakan umat secara keseluruhan.
“Saya percaya masjid-masjid di seluruh tanah air membawa misi untuk membangun pondasi takwa. Dari takwa itu akan lahir perilaku yang cerah dan mencerahkan,” imbuhnya.
Adapun dalam hal perbedaan pengelolaan, menurut Haedar itu adalah rahmat yang turun dalam bentuk perbedaan.
“Ada masjid milik ormas, ada masjid milik negara. Masjid milik negara ini milik bersama, tidak boleh milik mazhab tertentu. Karena negara tidak boleh bermazhab, kecuali mazhab Pancasila,” papar guru besar UMY tersebut.
Masjid-masjid tersebut, menurut Haedar, harus bekerja sama menjadi satu kekuatan kolektif yang menjadikan Indonesia sebagai baldatun thoyyibatun wa Robbun Ghofur.
Ia juga berpesan agar masyarakat bersikap arif dan bijaksana di era media sosial. Maka, masjid harus menjadi titik temu bagi seluruh umat Islam. Masjid menjadi tempat musyawarah yang penuh hikmah dan kebijaksanaan.
“Namun, jika saling egois, akan terjadi keretakan di tubuh bangsa. Di sinilah semangat pencerahan harus membawa semangat mencerdaskan hati, pikiran, dan tindakan dan semangat persatuan di tengah keragaman,” imbuhnya.
Menurutnya, jika ada masjid yang diindikasikan dengan stigma yang kurang baik, perlu digunakan pendekatan pencerahan. Misalnya, pengurus masjid tersebut harus dicerahkan dan diajak duduk bersama.
Alumni Ikatan Pelajar Muhammadiyah tersebut juga berpesan kepada pemerintah agar masjid milik pemerintah tidak perlu diborongkan kepada satu kelompok tertentu.
“Nanti akan kita sangga bersama masjid negara menjadi pencerah batin, pencerah hati, pencerah pikiran, dan gerakan bangsa Indonesia,” tutup Haedar.
Reporter: Yusuf