Oleh: Andi Muhaimin Darwis*
Tepat pada 19 Juli 2017, Kementrian Hukum dan HAM dengan resmi membubarkan HTI (Hizbut-Tahrir Indonesia). Keputusan ini menuai reaksi dari berbagai kalangan dan menjadi perbincangan terhangat publik saat itu. Terlebih lagi, menyusul kasus pembakaran bendera yang dianggap milik HTI oleh GP Ansor di Garut, Jawa Barat.
Sejak saat itu, diskursus tentang Khilafah Islamiyah santer dikumandangkan. Ada yang setuju, ada pula yang menganggap idealita tersebut sangat utopis untuk diterapkan di Indonesia.
Sebenarnya, isu ini telah berkembang di Mesir sejak tahun 1980 hingga 1990-an. Puncaknya, ketika seorang yang mengaku Sekularis bernama Farag Fouda menentang konsep ini.
Ia menganggap bahwa ide mendirikan Khilafah Islamiyah disebabkan hilangnya etos berijtihad oleh para Ulama’. Sistem ini juga dianggap hanya sebagai jalan politik untuk sebuah ‘kekuasaan’ berkedok agama.
Farag Fouda dan Khilafah
Farag Fouda ditembak mati pada 8 Juni 1992 oleh “Jamaah Islamiyah” (Gamaa Islamiyah), 5 hari setelah debatnya dengan kaum pro-Khilafah. Mirisnya, tak ada yang menuntut atas kematiannya, bahkan Ulama’ sekalipun. Mayoritas dari mereka menganggap darahnya halal karena pemikiran Farag Fouda dianggap melenceng dari nilai-nilai Islam.
Kembali ke masa kini, rekan-rekan di sekitar Penulis mendadak pro-Khilafah. Cerita lepas mereka kadang mengarah kepada tegaknya Khilafah Islamiyah di Indonesia. Tentunya untuk membebaskan negara dari kebatilan dan kezaliman.
Lalu bermimpi bahwa Indonesia seketika menjadi negara yang makmur dan tentram. Jujur saja, Penulis merasa risih jika konsep ini yang mendasari segolongan orang untuk tidak ikut memilih pada Pemilihan Umum. Tidak ingin bergabung menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) dan hilang hasrat untuk menjadi TNI atau Polisi.
Meski tak sepenuhnya setuju pada pandangan Farag Fouda, namun pendapat beliau banyak benarnya. Konsep Khilafah ini lebih condong kepada doktrin ketimbang konsep.
Baca Juga: Khilafah HTI, Khulafaur Rasyidin, dan NKRI Bersyariah
Di dalam bukunya yang berjudul “Kebenaran Yang Hilang”, Ia mengatakan “Ketika mereka tidak mampu melakukan ijtihad yang sesuai dengan zaman, mereka langsung menolak zaman”.
Ungkapan ini sangat realistis , melihat sikap konservatif para pendukung Khilafah dalam keseharian. Hampir-hampir tak mengenal Ijtihad dalam bernegara.
Pendapat beliau tentang kelemahan sistem Khilafah juga tertuang dalam buku yang sama. Ia mempertanyakan banyak hal yang menjadi pertanyaan (yang semestinya menjadi pertanyaan) kita semua.
“Di waktu bersamaan, mengapa mereka tidak mengajukan kepada kita (rakyat) tentang agenda politik yang terperinci? Yang menjadi panduan untuk menghadapi problem seperti agenda reformasi politik dan ekonomi, kebudayaan, pemerintahan dan tata caranya, serta pendidikan dalam sudut pandang Islam.”
Khilaf dalam Berkhilafah
Pembaca yang terhormat, kadang kita terlena dengan pandangan yang kita anggap Islami. sehingga tak perlu banyak bertanya tentang itu. Namun, saat ini pertanyaan itu mesti hadir.
Mayoritas pemeluk Islam di Indonesia (termasuk penulis) bukan tak setuju dengan tegaknya Khilafah. Hanya saja, ide ini masih terlalu abstrak untuk direalisasikan.
Kita hampir tak pernah bertanya tentang bagaimana mekanisme Khilafah untuk memilih pemimpin? Bagaimana sistem ini menekan inflasi? Bagaimana cara khilafah membayarkan utang Indonesia sementara pembangunan harus terus dijalankan? Bagaimana Khilafah memandang tayangan KKN Desa Penari yang menakutkan rakyat? dan puluhan pertanyaan lainnya.
Ini yang semestinya menjadi diskursus ketimbang hanya percaya bahwa Khilafah dapat menyelesaikan seluruh problem. Jika seluruh dari komponen Politik, Ekonomi, Pendidikan, Kebudayaan dan Pemerintahan telah terkonsep dengan baik, maka sistem ini telah patut diajukan sebagai solusi bangsa.
Dengan begitu, kita tak banyak khilaf dalam berkhilafah. Lebih banyak menuduh anti-Islam daripada menjelaskan gagasan.
Pada pertengahan bukunya, Farag Fouda mengatakan : “Mudah mudahan dengan begitu dada mereka lebih lapang dan mereka tahu bahwa menggunakan akal pikiran jauh lebih baik dibanding vonis pengkafiran. Dan bahwa tafkir haruslah dikedepankan daripada takfir”.
Sebelum mengakhiri tulisan ini, Penulis hendak menyampaikan sedikit pandangan Ahmad Sarwat di dalam buku “Fiqih Politik”, bahwa ada banyak upaya mendirikan negara Khilafah oleh Ikhwanul Muslimin, HTI, An-Nabhani, DI TII, ISIS.
Tetapi, pada implementasinya mereka berbeda pendapat tentang konsep Khilafah itu sendiri. Dus, Konsep Khilafah mana yang akan kita ikuti? Artinya, para pendukung Khilafah juga banyak yang mengikuti penafsirannya sendiri. Jadi, hukum Allah swt. mana yang mereka tegakkan?
Tentunya, menyakitkan bila kita telah mati-matian berjuang agar mendirikan hukum Allah swt. Berbenturan dengan banyak orang, putus persaudaraan, namun pada akhirnya hukum yang terbentuk hanya berasal dari kekuatan imajinasi kita.
*Aktivis Ikatan Pelajar Muhammadiyah