Perspektif

Bagaimana Cara Meneguhkan Nalar Humanitas di Era Disrupsi?

3 Mins read

Islam Memandang Manusia

Nalar Humanitas Berbicara mengenai humanitas, tidak terlepas dari manusia sebagai subjek. Berdasarkan konsep penciptaan manusia yang ada di Al-Qur’an. Syariati berpendapat bahwa manusia diciptakan melalui dua unsur penting, yaitu, ruh Tuhan dan tanah lumpur. Berasal dari tanah yang rendah dan hina yang membawanya ke hakikat yang rendah.

Manusia adalah mahluk yang punya potensi intelektual, potensi kebebasan, dan potensi spritual. Oleh karena itu, manusia dikaruniai amanat yang paling agung, yaitu sebagai wakil Tuhan, sebagai khalifahnya di bumi ini.

Dalam hal ini, manusia harus melakukan evolusi, mengubah dirinya dari keadaan lumpur menjadi ruh ketuhanan. Dari kehinaan dan kemuliaan. Dari kebodohan ke pencerahan. Dari penindasan ke kemerdekaan. Dari keadaan basyar ke insan. Selain itu, manusia juga harus membebaskan dirinya dari belenggu alam, sejarah, masyarakat dan egonya sendiri. (Ferutama, 2008: 5-6)

Konsep manusia dalam Islam dapat dipahami bagaimana Al-Qur’an memberikan konsep tentang manusia yaitu al-insan, al-basyar, banu adam dan zuriyat adam.

Al-insan memiliki makna etimologi, maka dapat dikatakan bahwa kata insan mengandung konsep manusia yang memiliki keramahan dan kemampuan mengetahui yang sangat tinggi. Atau dalam ungkapan lain, manusia merupakan mahluk kultural dan sosial.

Manusia disebut basyar karena kulit manusia tampak berbeda dengan kulit makhluk lainnya. Kata ini dalam Al-Qur’an merujuk kepada tubuh dan bentuk lahiriah manusia. Istilah banu adam merujuk kepada pengertian manusia karena adanya kaitan dengan nama Adam yang memberi kesan historis dalam konsep manusia, bahwa manusia berasal dari satu sumber dan satu darah, walaupun mereka tersebar dalam berbagai warna kulit, ras dan bangsa. (Syafei, 2012:745-746)  

Manusia dan Keberpihakan

Dua tafsiran yang yang diutarakan oleh Kuntowijoyo atas keberpihakan yaitu keberpihakan pada dhuafa dan keberpihakan pada mustadafin. Perpihakan dhuafa (orang kecil/lemah) diistilahkan sebagai gambaran atas kesenjangan natural dan kemiskinan.

Baca Juga  Ketika Seorang Filsuf Bermain Sosial Media

Sedangkan keberpihakan kepada mustadafin (teraniaya) diistilahkan untuk menunjuk suatu gambaran atas kesenjangan struktural, atau disebabkan karena kekuasaan. (Susanto, 2018 : 22)

Kacamata Islam mengungkapan bahwa manusia itu adalah sebuah keramahan dan kemampuan yang dimilikinya adalah sebagai autentitas yang dimilikinya. Secara lahiriah, manusia juga memiliki keistimewaan dan kesempurnaan yang dianugerahi oleh Allah SWT. Selain itu juga,  manusia memiliki historis dari satu sumber dan satu darah meski pada akhirnya mereka tersebar dalam berbagai warna kulit, ras, dan bangsa.

Hal itulah yang mengutuhkan auntentitas manusia itu sendiri. Beban yang dimiliki oleh manusia itu adalah bagaimana ia harus memanifestasikan nilai-nilai yang diyakininya dibawa turun ke bumi.

Kebudayaan semakin berkembang dan bergerak secara dinamis, hal tersebut menuntut manusia untuk terus berpikir dan mempelajari hal-hal baru. Ini adalah sebuah misi bersama Kuntowijoyo memberikan gambaran dua fungsi bagi komunitas Islam yaitu pertama interest group kepentingan dan pressure group (penekanan). Sebagai kepentingan atas jalan Tuhan (fisabilillah) dan yang kedua kepentingan kaum dhuafa (dapat berbentuk pemberdayaan) dan mustadafhin (dapat berbentuk advokasi).

Meneguhkan Nalar Humanitas di Era Disrupsi

Menjadi sebuah paradoks perkembangan zaman menuju zaman modern era teknologi dan digitalisasi. Sebuah era yang maju ilmu pengetahuan dan teknologinya, namun tidak dibarengi dengan kemajuan berpikir, hati, dan keimanannya.

Seperti dalam hadis Nabi, “Dalam tubuh manusia ada sebuah segumpal daging apabila daging itu rusak maka rusaklah seluruh tubuh manusia, taukah apakah segumpal daging itu? segumpal daging itu adalah hati” ( (Sani M. A., 2017).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dibarengi dengan kemajuan keimanan dan hatinya menjadikan negeri ini hanya sebagai ladang perebutan kekuasaan.

Baca Juga  Menuju Indonesia Unggul: Optimalisasi Pendidikan Nonformal

Era digitalisasi dan informasi ini sebagai peluang bagi kader persyarikatan Muhammadiyah dan khususnya untuk Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah IMM. Sebab saat ini, Muhammadiyah mampu diterima baik oleh masyarakat karena amal usaha Muhammadiyah yang mampu membantu peran pemerintah khususnya dalam amanat UUD 45 yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Lain dengan dahulu saat Kiai Dahlan berjuang mendirikan Muhammadiyah, era terbuka saat ini menjadi tantangan dan peluang bagi kader IMM untuk membantu tujuan Muhammadiyah menjunjug tinggi agama Islam sehingga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Kini, kehadiran digital seseorang dilihat dari interaksi digital mereka, juga dari jejak yang terekam di media dan platform daring. Banyak orang memiliki lebih dari satu bentuk kehadiran digital, seperti akun Facebook, akun Twitter, profil Linkedln, Blog, Tumblr, akun Instagram, dan lain sebagainya.

Dalam dunia yang semaki terhubung ini, kehidupan digital menjadi tak dapat dipisahkan dari kehidupan fisik seseorang di masa mendatang. Membangun dan mengelola kehadiran digital akan merupakan hal yang biasa. Sama seperti ketika orang memutuskan bagaimana hendak tampil di kehidupan sehari-hari melalui gaya berpakaian, kata-kata, serta tindakan.

Di dunia yang terhubung tersebut, orang akan mampu mencari sekaligus memperoleh informasi, menyampaikan gagasan secara bebas, menemukan dan ditemukan, serta mengembangkan dan memelihara relasi secara virtual di mana pun seluruh dunia (Schwab, 2019).

Nalar Humanitas: Bukan Sekadar Simbolik

Meneguhkan nalar humanitas di era disrupsi tidak hanya berhenti pada tataran simbolik di ruang digital. Melainkan juga prinsip dan misi kenabian itu harus menyentuh kepada akar rumput secara langsung.

Namun, yang perlu diperbarui yaitu proses masifikasi gerakan tajdid ke dalam ruang digital dimulai dari akun-akun Facebook, Instagram, dan Twitter AMM itu tidak berhenti pada proses penyampaian informasi. Melainkan juga harus pada proses tataran pendidikan kepada masyarakat.

Baca Juga  'The Power of Doa' yang Terlupakan

Lalu selain itu, juga Angkatan Muda Muhammadiyah harus memiliki concern strategic humanity dalam ruang digital. Yang mana, optimalisasi kemanusiaan kita harus mampu pada tahapan menggalang persatuan untuk sebuah transformasi kebaikan-kebaikan yang dapat disentuh oleh kaum dhuafa dan mustad’afin.

Hal ini adalah peluang untuk terus mengaktifkan dakwah Muhammadiyah di tengah masyarakat tentunya dengan modal riset dan tahapan-tahapan pendekatan yang baru. Mohammad Dzajman Al-Kindi menyatakan menyesuaikan diri secara kreatif, dengan bersandar.

Strategi ini merupakan esensi dari ummah atau jamaah sebagai institusi yang mampu melawan diferensiasi sosial dan sekularisasi kultural. Kebersamaan merupakan salah satu ciri penting dari organisasi Muhammadiyah (Al-Kindi, 2020).

Editor: Yahya FR

Wikka Essa Putra
2 posts

About author
Ketua Umum Pimpinan Cabang IMM Jakarta Timur 2020-201
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds