Perspektif

Masalah Kemiskinan, Zakat Solusinya!

4 Mins read

Masalah Rumit Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah rumit nan pelik yang dialami oleh hampir seluruh negara yang mayoritas penduduknya Muslim di belahan dunia mana pun, tanpa kecuali Indonesia.

Bahkan, selama masa pandemi Covid-19 yang berjalan lebih dari satu tahun lamanya telah menyebabkan angka kemiskinan melonjak signifikan. Dalam laporan Badan Pusat Statistik (BPS) persentase angka kemiskinan di Indonesia mencapai 10,19 % (persen) per September 2020 lalu.

Faktor-Faktor Kemiskinan

Artinya, jika jumlah penduduk Indonesia 271 juta orang, maka 27,55 juta sisanya berada dalam kondisi miskin. Kemiskinan dapat disebabkan berbagai faktor di antaranya.

Pertama, faktor badaniah lebih melihat kepada mentalitas seseorang.

Kedua, kemiskinan yang disebabkan bencana alam, berupa, kekeringan, kebanjiran, termasuk juga pandemi Covid-19.

Ketiga kemiskinan buatan, faktor kemiskinan yang disebabkan oleh kebijakan. Bisa berupa peperangan, kebijakan sistem dan ekonomi, dan kebijakan pembangunan yang tidak memihak kepada masyarakat kecil.

Kemiskinan Dekat dengan Kekafiran

Nabi Muhammmad Saw pernah menyampaikan sebuah peringatan melalui haditsnya: “Kemiskinan mendekatkan seseorang kepada kekafiran”. Ini mengindikasikan bahwa masalah kemiskinan bukan saja menjadi masalah sosial budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga masalah agama (Islam).

Oleh karena  itu, upaya penanganan masalah kemiskinan di samping dilakukan dengan  pendekatan secara sosial budaya, ekonomi dan politik, tetapi juga dari perspektif agama, serta harus dilakukan secara serius, terintegrasi, dan berkesinambungan.

Penanganan kemiskinan melalui agama di antaranya dapat dilakukan melalui pemberdayaan zakat. Dalam data yang dipublikasikan oleh Puskas BAZNAS tahun 2020, Indonesia memiliki potensi zakat sebesar Rp. 233, 84 triliun. Namun kenyataan di lapangan hanya mampu terakumulasi sebesar Rp. 8 triliun atau 3,5 persen.

Di dalam Al-Qur’an setidaknya ada 20 ayat berbeda yang mempertautkan zakat dengan shalat. Hal ini menunjukkan bahwa antara shalat dan zakat sama pentingnya dan mempunyai hubungan fungsional yang sangat erat.

Baca Juga  Bolehkah Uang Zakat Digunakan untuk Korban Bencana?

Orang yang sudah mengikrarkan kalimat syahadat wajib menegakkan shalat dan membayar zakat. Oleh karena itu, zakat akan kehilangan makna sosialnya bila tidak timbul dari hati yang takwa dan perasaan bersih.

Demikian pula shalat, akan kehilangan makna spiritualitasnya jika tidak dapat menumbuhkembangkan kepekaan sosial di tengah-tengah masyarakat. Adanya pengaruh timbal balik tersebut, sebagai lambang terdapatnya kesatuan batin antara dimensi vertikal ketuhanan dan dimensi horizontal kemanusiaan.

Zakat Tidak Hanya Berdimensi Ritual

Oleh karena itulah, maksud diajarkan zakat kepada umat Islam sebagai ibadah yang tidak hanya berdimensi ritual (pribadi) tetapi juga sosial. Meski ajaran zakat secara utuh baru diberlakukan pada tahun-tahun terakhir kehidupan Nabi Muhammad Saw, namun sejak beliau diutus, anjuran menyantuni kaum lemah menjadi perhatian Al-Qur’an.

Banyak wahyu turun pada priode Mekkah yang  menyinggung pentingnya institusi zakat. Ajaran tentang zakat adalah ajaran yang menekankan kepada persaudaraan dan rasa kasih sayang antar sesama.

Konsep zakat menandingi dan bahkan mengulangi semua ajaran-ajaran kesejahteraan sosial dari ideologi manapun datangnya. Konsep zakat bertitik tolak dari ajaran Al-Qur’an bahwa harta  benda yang dimiliki adalah amanat Allah dan berfungsi sosial.

Di sinilah misi Islam menciptakan keseimbangan sistem ekonomi masyarakat melalui institusi zakat. Karena itu, zakat adalah ibadah yang menjangkau dimensi kehidupan secara luas.

Disamping itu, kedudukan kewajiban zakat dalam Islam sangat mendasar dan fundamental. Begitu mendasarnya, sehingga perintah zakat dalam Al-Qur’an sering disertai dengan ancaman yang tegas.

Ketika Zakat Dipaksakan untuk Menuntaskan Masalah Kemiskinan

Zakat pada masa Khalifah Abu Bakar ra. pernah dipaksakan terhadap orang-orang Yamamah yang dipimpin oleh Musailamah. Musailamah dan pengikutnya diperangi oleh Khalifah Abu Bakar ra. Bukan karena mereka dituduh “murtad”, tetapi karena tidak membayar zakat.

Baca Juga  Jangan Sampai Feminisme Diatur Logika Patriarki

Ketika Umar bin Khathab mencoba mengingatkan Khalifah Abu Bakar, “Wahai Abu Bakar,  apakah kamu akan memerangi orang yang sudah membaca Syahadat?”. Beliau menjawab: “Ya betul mereka membaca Syahadat, tapi mereka menolak membayar zakat”.

Kemudian Abu Bakar ra. terkenal dengan sumpahnya: “Biarpun mereka tidak membayar kepada saya sesuatu seharga seutas tali unta, akan saya perangi”. Hal tersebut dinilai dapat juga dilaksanakan dalam konteks orang-orang kaya (konglomerat dan orang-orang yang telah mampu berzakat) di negara Indonesia yang “enggan” mengeluarkan zakatnya. Perang yang dimaksud adalah berupa bentuk pemaksaan yang dilakukan melalui suatu peraturan/kebijakan yang dibuat oleh negara.

Dalam permasalahan ini, zakat tidak dimaksudkan untuk memiskinkan orang kaya dan tidak pula melecehkan jerih payah mereka. Sebab, zakat hanya diambil dari sebagian kecil harta orang yang berkelebihan dan disalurkan kepada mereka yang kekurangan, dengan beberapa kriteria tertentu dari harta yang wajib dizakati.

Jadi tidak akan ditemukan orang yang menjadi miskin akibat membayar zakat, orang yang akan melarat akibat dari kebiasaannya membayar zakat. Dari sini, zakat merupakan mekanisme keagamaan yang berintikan semangat pemerataan pendapatan.

Sehingga secara ideal, zakat bisa dikembangkan menjadi instrumen keagamaan yang berpotensi mempengaruhi aktivitas perekonomian masyarakat. Oleh karena itulah dikatakan bahwa zakat di samping berfungsi sosial, juga berperan untuk menumbuhkan dan  mengembangkan  ekonomi masyarakat.  

Karena itu, zakat tidak saja mengandung makna teologis, yaitu kepatuhan individu kepada Tuhan, ataupun sosial ekonomi, distribusi kekayaan terhadap orang-orang miskin. Tetapi zakat bisa dimaknai secara politik strategis sebagai instrumen jangka panjang untuk memelihara kelangsungan hidup suatu bangsa.

Zakat Membangkitkan Ekonomi Umat

Dengan kata lain, selain membersihkan jiwa dan harta, zakat juga merupakan alat pemerataan yang ampuh dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Baca Juga  Ibu Hamil dan Covid-19 (2): Hal yang Perlu Perhatian dari Kita

Tujuan zakat baru dapat dipahami dan diyakini apabila di dalam jiwa seseorang telah tumbuh beberapa nilai, seperti keimanan, kemanusiaan, dan keadilan. Oleh karena itu, Al- Qur’an menggunakan kata sedakah sebagai padanan dari kata zakat tersebut.

Karena, makna sedakah itu sendiri merupakan manifestasi atas pengakuan dan pembenaran yang melahirkan keyakinan. Sehingga, timbul kesadaran untuk memberikan sebagian dari harta yang disayangi itu dalam bentuk zakat.

Hal itu dipandang logis dan wajar, bahkan merupakan keharusan. Jadi, tujuan zakat itu bukan semata untuk menyantuni kaum fakir miskin, akan tetapi lebih jauh adalah untuk memberantas  kemiskinan itu sendiri.

Setidak-tidaknya, tujuan zakat adalah mempersempit ketimpangan ekonomi di dalam masyarakat hingga batas seminimal mungkin. Dan menjadikan perbedaan ekonomi di antara masyarakat secara adil dan mengurangi kemiskinan yang ada di tengah masyarakat. Termasuk mengatasi pengangguran.

Seseorang yang hidup dalam kemiskinan nyaris menjadikan jalan hidupnya sesat, mudah terperosok kepada tindakan kriminal dan berbagai pelanggaran lainnya. Apabila kaum miskin hidup berdampingan dengan orang kaya, dan mana kala di antara dua kelompok sosial tersebut tidak ada perekat yang kuat, maka tentu akan timbul kedengkian yang mendalam, yang bisa berkembang menjadi kebrutalan umat.

Salah satu perekat yang dapat mempersatukan di antara orang miskin dan kaya ialah dengan jalan orang yang kaya menyisihkan sebahagian hartanya. Memberi kesempatan untuk berusaha dengan memberikan permodalan dari harta zakat. Membimbing dan memberikan bantuan kepada orang yang hidup dalam kemiskinan agar mereka mampu menentukan suatu usaha yang cocok dan selanjutnya bisa dikembangkan sendiri.

Editor: Yahya FR

Ali Ridho
15 posts

About author
Penggiat Literasi dan Pendidik
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds