Teknologi yang Semakin Canggih
Pada zaman akhir yang serba gampang seperti saat ini, menyampaikan suatu ilmu, opini, dan berita, serasa sangat gampang untuk diketahui ribuan bahkan jutaan orang. Dan tentu sangat baik untuk disampaikan. Hanya saja, tidak semua berita, bahkan ilmu, bisa langsung disampaikan pada orang lain, beberapa ilmu ada yang harus dikaji, atau diverifikasi dan melakukan klarifikasi.
Perkembangan zaman yang serba canggih, menjadi ruang yang sangat bebas untuk menyampaikan hal apapun; mulai dari Al-Qur’an, hadis, hukum Islam, motivasi, atau berbagai masalah yang sedang dijalani. Tentu sebagai umat Islam harus selektif dalam menyampaikannya, mampu mengontrol dirinya dalam menyampaikan ilmu, dan juga perlu mempertimbangkan keadaan dan waktunya.
Kebaikan Termasuk Pilar-Pilar dalam Islam
Menjadi umat Islam yang paripurna artinya selalu berkata baik, atau, jika tidak, maka lebih baik diam, karena pilar-pilar dalam Islam sendiri adalah kebaikan.
Melakukan kebaikan artinya harus jujur dalam semua tindakan yang dilakukan olehnya. Termasuk di antaranya adalah ketika berbicara dan menyampaikan ilmu dan berita. Tidak semua ilmu harus disampaikan pada orang lain, begitupun dengan berita.
Sebagai umat Islam, tidak hanya diwajibkan menjaga perkataan dan selalu berkata jujur saja. Lebih dari itu, seorang muslim juga wajib memiliki kemampuan analisis dan berpikir kritis. Khususnya untuk setiap ilmu dan berita yang didapatkan. Dengan begitu, setiap perkataan yang disampaikan kepada orang lain merupakan perkataan yang baik dan benar.
Beberapa abad silam, sahabat Abu Hurairah pernah mendengar sebuah hadis dari Rasulullah Saw, hanya saja tidak kemudian disampaikan oleh Abu Hurairah, bunyi hadisnya yaitu:
عن أَبي هريرة أَنَّه قال: حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللهِ e وِعَاءَيْنِ، فَأَمَّا أَحَدُهُمَا فَبَثَثْتُهُ، وَأَمَّا الآخَرُ فَلَوْ بَثَثْتُهُ لَقُطِعَ هَذَا الْبُلْعُومْ
Artinya: “Sahabat Abu Hurairah berkata: aku menghafal dari Rasulullah Saw dua wadah, satu telah aku sampaikan, sedangkan yang lain, andai aku sampaikan, pasti leher ini akan ditebas.”
Tidak Semua Ilmu atau Berita Boleh Disebarkan
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan, bahwa ada beberapa ilmu dan berita yang memang harus disimpan, tidak di-publish ke khalayak umum, karena tidak semuanya bisa memahami. Betapapun itu sebagai kebenaran, akan ada orang yang mispersepsi dengan apa yang disampaikan, tentu akan berdampak pada dirinya sendiri.
Mulai dari mendapatkan hujatan tidak baik, ocehan, atau bahkan akan dibunuh. Sebagaimana yang disampaikan oleh sahabat Abu Hurairah di atas, karena memang ada beberapa ilmu dan berita yang seharusnya tidak menjadi konsumsi khalayak umum.
Imam Abu Ishak Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhmi asy-Syatibi, ulama kelahiran Spanyol, dalam kitabnya mengatakan:
ليس كل ما يعلم مما هو حق يطلب نشره وإن كان من علم الشريعة ومما يفيد علمًا بالأحكام، بل ذلك ينقسم، فمنه ما هو مطلوب النشر، وهو غالب علم الشريعة، ومنه ما لا يطلب نشره بإطلاق، أو لا يطلب نشره بالنسبة إلى حال أو وقت أو شخص.
Artinya, “Tidak semua kebenaran yang diketahui, dianjurkan untuk disebarkan, meskipun bagian dari ilmu syariat, dan juga ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hukum, akan tetapi terklasifikasi menjadi bebarapa bagian, di antaranya ada yang dianjurkan untuk disebar, yaitu kebanyakan ilmu syariat, ada juga ilmu yang tidak dianjurkan untuk disebar secara umum, atau tidak dianjurkan disebar ketika melihat pada keadaan, waktu, dan individu.” (Imam asy-Syatibi, al-Muwafaqat lisy Syatibi, [Beirut: Dar Ibnu Affan 1997], juz 5, h. 167)
Dari pemaparan tersebut dapat disimpulkan, bahwa tidak semua ilmu dan berita yang diketahui lantas boleh disebarkan, seperti tidak mengajarkan ilmu-ilmu yang rumit pada orang-orang yang baru belajar, di mana akalnya tidak bisa untuk mencernanya, atau mengajarkan ilmu-ilmu tentang aqidah terlalu dalam pada orang yang masih awam.
Memeriksa Terlebih Dahulu Sebelum Menyebarkan
Ketentuannya, syariat Islam memberikan ruang yang sangat bebas bagi pemeluknya untuk menyampaikan ilmu atau berita yang diketahui. Hanya saja, ada beberapa ilmu dan berita yang tidak boleh disampaikan meskipun benar, menimbang potensi dan keadannya.
Sedangkan, cara menyampaikan kebenaran yaitu dengan menganalisis ilmu yang akan disebarkan atau disampaikan. Jika sudah sesuai dengan aturan-aturan dalam syariat Islam, maka juga perlu mempertimbangkan potensi-potensi yang akan terjadi selanjutnya. Dengan melihat pada situasi, kondisi, dan orang-orang yang mendengarkannya.
Jika sekira tidak menyinggung, atau tidak akan menimbulkan mafsadah, tidak hanya itu, ada tahapan selanjutnya untuk menyampaikan ilmu atau berita yang diketahui olehnya, yaitu, harus bisa berpikir cerdas dan kritis. Apabila akal menerima, maka boleh untuk diucapkan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Imam asy-Syatibi dalam kitabnya:
وضابطه أنك تعرض مسألتك على الشريعة، فإن صحت في ميزانها، فانظر في مآلها بالنسبة إلى حال الزمان وأهله، فإن لم يؤد ذكرها إلى مفسدة، فاعرضها في ذهنك على العقول، فإن قبلتها، فلك أن تتكلم فيها
Artinya, “Batasannya, bahwa kamu harus menimbang masalah (ucapan)mu atas syariat, jika sudah sesuai dengan ketentuan syariat, maka lihatlah potensinya dengan mempertimbangkan keadaan, zaman, dan orang-orangnya, jika ucapannya tidak menyinggung (orang lain), atau tidak menimbulkan kerusakan, maka perlu dipikir dan di angan-angan kembali, jika akal menerimanya, maka boleh untuk mengatakan apa yang ingin disampaikan.” (Imam asy-Syatibi, al-Muwafaqat lisy Syatibi, 1997: juz 5, h. 172)
Yang Disebarkan Ialah Ilmu yang Bisa dengan Mudah Dipahami
Yang terpenting yaitu, bisa mengkondisikan dirinya ketika ingin menyampaikan ilmu, antara ucapan-ucapan yang bisa dicerna dalam ruang publik, ataupun secara khusus. Jika ilmu yang ingin disampaikan memang ilmu-ilmu yang bisa dipahami dan dicerna oleh masyarakat umum, seperti imu tentang ibadah; shalat, zakat, puasa, dan haji, maka menyampaikannya dalam ranah publik sangat dianjurkan.
Namun, jika ilmu yang ingin disampaikan merupakan ilmu-ilmu yang hanya bisa dipahami dan dikonsumsi oleh orang-orang tertentu, menyampaikannya dalam ruang publik tentu tidak baik.
Dalam sebuah hadist, Rasulullah Saw bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ إِثْمًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
Artinya: “Cukuplah seseorang (dikatakan) berdosa, (jika) ia menyampaikan setiap apa yang ia dengar.” (HR Abu Hurairah)
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum menyampaikan ilmu, harus bisa memastikan potensinya. Jika sudah sesuai dengan beberapa ketentuan di atas, menyampaikannya tentu sangat baik.
Karena, menjadi umat Islam yang baik adalah tidak memperkeruh suasana atau menjadikan ajaran yang sangat mulia ini terlihat kurang hikmah dan bijaksana.
Editor: Yahya FR