Sekilas tentang Imam Al-Ghazali
Beliau adalah Asy-Syekh Al-Imam Al-Bahr, Hujjatul Islam, A’Jubat Az-Zaman, Zain Al-Abidin, Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, As-Syafi’i, Al-Ghazali atau yang masyhur disebut dengan Imam Al-Ghazali, dilahirkan pada tahun 1058 H/450 M di kota Thus, provinsi Khurasan yang saat ini termasuk ke dalam wilayah Republik Iran.
Sebagian ulama menisbahkan nama beliau dengan tempat kelahirannya “ghazalah” dengan huruf za’ tanpa tasydid. Sedangkan ulama’ yang lain menisbahkan nama beliau dengan profesi sang ayah sebagai seorang tukang tenun “ghazzali” dengan huruf za’ yang bertasydid.
Jika ditinjau dari aspek kebahasaan kedua penyandaran nama tersebut benar. (Ash-Shallabi, 2020) Al-Ghazali adalah sosok ulama’, cendekiawan, sekaligus filsuf yang cerdas dan jenius.
Semasa hidupnya, banyak karya yang beliau lahirkan, baik dalam bidang ilmu syariah, ilmu jiwa, ilmu sastra, ilmu seni, ilmu logika, ilmu tafsir, dan ilmu hadis. Di antara karya yang fenomenal adalah kitab Ihya’ ‘Ulum ad-Diin yang membahas tentang prinsip dan metode penyucian jiwa.
Ada pula Tahafut al-Falasifah yang membahas tentang kritik terhadap para filsuf muslim yang beraliran aristotelianisme terutama pemikiran dari Ibnu Sina dan Al-Farabi khususnya dalam masalah akidah dan ilmu kalam.
Gelar Hujjatul Islam yang dimilikinya berasal dari sikapnya yang lantang agar ijtihad dihidupkan kembali. Oleh sebab itu, tulisan ini hendak menguraikan secara ringkas tentang metode ijtihad yang digunakan Imam Al-Ghazali sebagaimana tertulis di dalam kitabnya yang berjudul al-musthasfa min ‘ilm al-Ushul merujuk pada Desertasi karya Syamsul Anwar dengan judul Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min ‘ilm al-Ushul, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.
Desertasi ini menjelaskan tiga metode penemuan hukum Islam yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali, yaitu pertama, metode penemuan hukum dengan penerjemahan linguistik; kedua, metode kausasi; ketiga, metode penemuan hukum teologis.
Landasan Metode Penggalian Hukum Islam Dalam Kitab Al-Mustashfa
Dalam kitab al-Mustashfa, Imam Al-Ghazali membagi ruang lingkup pembahasan ushul fiqh menjadi empat bagian. Yakni, pertama, hukum-hukum syara’. Kedua, dalil-dalil hukum syara’ seperti Al-Qur’an, sunah, dan ijma’. Ketiga, sisi penunjukan dalil. Keempat, pelaku penggalian hukum berdasarkan kapasitas keilmuan dan pemahamannya yang disebut dengan mujtahid.
Kitab al-Mustashfa buah karya Imam Al-Ghazali berusaha memadukan antara wahyu dan akal dalam teori hukumnya. Metode ini dilakukan dengan cara menggabungkan dua sistem pengetahuan Islam yang merujuk pada tekstual nash dengan sistem pengetahuan yang berlandaskan penalaran logis manusia (kontekstual).
Dalam mukadimah kitab ini, Imam Al-Ghazali menjelaskan pentingnya pemahaman yang mendalam kepada ilmu mantiq. Jika seseorang belum menguasainya, maka ilmunya tidak dapat dipercaya.
Bahkan Imam Al-Ghazali menjadikan mantiq sebagai syarat sah dalam melakukan sebuah ijtihad. Dalam memandang hakikat hukum, Imam Al-Ghazali berpendapat bahwa hakikat hukum adalah apa-apa yang telah diterima oleh manusia sebagai beban hukum yang dilaksanakan oleh mukallaf. Dalam kitab ini, Imam Al-Ghazali berkata“Pembagian hukum pada dasarnya terbagi menjadi tiga hal, yaitu apabila dia haram, maka tinggalkanlah dan jangan engkau mengerjakannya, kedua, apabila dia wajib, maka kerjakanlah dan jangan engkau tinggalkan, ketiga, apabila dia mubah, yang dapat dikerjakan kerjakanlah, apabila tidak dapat diterima, maka tinggalkanlah”.
Secara terperinci, pembagian hukum yang terdapat dalam kitab ini tidak ada perbedaan dengan ulama ushul lainnya. Yakni pembagian hukum syara’ terbagi menjadi dua, yaitu hukum taklifi dan juga hukum wadh’i.
Terkait sumber hukum dalam kitab al-musthafa, Imam Al-Ghazali tidak ada perbedaan mengenai tiga sumber hukum Islam yang utama yaitu Al-Qur’an, sunah, ijma, namun dalam kitab ini dalil akal dan juga istishhab dimasukan ke dalam sumber hukum Islam yang utama.
Terkait dengan sumber-sumber hukum Islam yang masih dalam perdebatan, ada yang secara tegas ditolak oleh Imam Al-Ghazali. Seperti qoul madzhab as-shahabi, karena tidak ada jaminan kebenaran dari para sahabat. Dan ada juga yang diterima secara penuh yaitu istihsan dan juga mashlahah mursalah. (Abu Bakar, 2019)
Metode Penafsiran Hukum dalam Kitab Al-Mustashfa Min al-Ushul
Mengenai hal ini, dijelaskan secara ringkas oleh Abu Bakar dalam Jurnalnya yang berjudul “Konsep Pemahaman Hukum Islam Al-Ghazali” yang juga merujuk kepada Desertasi Prof. Dr. Syamsul Anwar, M.A tentang “Epistemologi Hukum Islam dalam al-Mustashfa min al-Ushul Karya Imam al-Ghazali”, di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2000.
Dalam kitab ini, Imam Al-Ghazali merumuskan tiga metode penafsiran hukum, yaitu, metode interpretasi linguistik atau penafsiran ilmu bahasa, metode kausasi, dan metode teologis. Yang dimaksud metode penafsiran linguistik adalah ilmu hukum Islam termasuk ke dalam sistem pengetahuan bayani (ilmu kebahasaan), di dalamnya berisi teks-teks yang menempati posisi penting sebagai sumber pengetahuan dan faktor yang menentukan substansi dari sistem tersebut.
Metode ini mengkaji lafal pada tiga aspek, yaitu : pertama, sebuah lafal dikaji dari segi jelas atau tidaknya; kedua, sebuah makna dikaji dari dilalah atau penunjukan terhadap makna yang dimaksud yaitu hukum yang terkandung di dalam makna tersebut; ketiga, sebuah makna dikaji dari segi cakupan makna yang terkandung, naik luas atau sempitnya.
Sedangkan Metode Kausasi adalah penjabaran dari qiyas yaitu perluasan hukum dari sebuah nash yang diterapkan kepada kasus baru berdasarkan illat dari kasus yang dijelaskan secara rinci oleh nash kepada kasus baru.
Dalam metode ini Imam Al-Ghazali melakukan justifikasi kebenaran dari penetapan sebuah hukum dengan dua hal, pertama, keyakinan mujtahid dalam melakukan qiyas mengenai adanya kasus pokok yang menjadi dasar ditetapkannya hukum pada kasus yang berlaku dan adanya sebuah illat atau atribut yang terdapat pada cabang sehingga kasus pokok yang memiliki dasar nash diberlakukan pada kasus cabang; kedua, menganggap bahwa setiap mujtahid adalah benar dalam hal penggalian hukum pada sebuah kasus yang tidak dijelaskan oleh nash secara tegas atau qath’i, meskipun terdapat perbedaan ijtihad di antara mujtahid. Dan yang terakhir adalah metode penemuan hukum teologis yaitu sebuah penafsiran pada undang-undang untuk menentukan suatu hukum dengan melakukan pertimbangan tujuan dari undang-undang tersebut. (Abu Bakar, 2019)
Kesimpulan
Dalam kitab al-Mustashfa Imam al-Ghazali menjadikan ilmu mantiq sebagai salah satu syarat dalam berijtihad. Apabila seorang mujtahid tidak menguasainya maka ilmunya tidak dapat dipercaya. Penemuan hukum yang terdapat dalam kitab ini, terbagi menjadi tiga bagian yaitu penafsiran berdasarkan ilmu bahasa, kausasi, dan teologis. Seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan tingkah laku manusia, perlu penggalian hukum dan pengkajian epistemologi hukum Islam agar sesuai dengan realitas yang terjadi, tentu dengan meninjau kepada batasan-batasan dalam disiplin ilmu ushul fiqih yang dibuat oleh para ulama ushulliyyin.
Editor: Fathur