Perspektif

Semua Tunduk Pada Waktu

3 Mins read

Segalanya mungkin bisa dibeli dengan uang, namun tidak begitu dengan waktu. Larry Page mungkin salah satu yang terkaya di dunia. Google yang diciptakannya menjanjikan informasi tanpa batas yang menyaingi kepakaran profesor-profesor universitas. Namun dengan uang sebanyak itu, dan kecerdasan buatannya yang maha tahu, bisakah Larry Page melakukan hal sederhana seperti memutar balik laju jarum di arlojinya? Tentu tidak bisa. Semua tunduk pada waktu.

Larry Page mungkin bisa melakukan apa saja dengan uangnya, namun tidak untuk membalikkan waktu. Suatu hari, Larry page dan koleganya Sergey Brin akan terbujur kaku di dalam peti, orang-orang hidup akan tersedu menangis saat melayat. Pun begitu dengan waktu, ia ikut melayat. Namun entahlah apa benar ia akan menangis? Karena di hadapan waktu, semua makhluk hidup sama saja. Waktu sudah terbiasa melihat kepergian. Segalanya tidak berharga di hadapan waktu.

Namun tidak sebaliknya. Di hadapan makhluk hidup, waktu amatlah sangat berharga. Makanya pepatah Arab sering bilang: “waktu lebih berharga dari pada emas.” Sah-sah saja jika ada orang-orang yang mendukung gagasan superioritas kulit putih, kemuliaan Arya atas seluruh bangsa di dunia, Yahūdī sebagai bangsa pilihan Tuhan (sya’bullāh al-mukhtār). Namun mereka haruslah berserah diri menerima fakta bahwa di hadapan waktu hirarki tidak ada‒semua yang bernafas setara sama rata.

Semua Tunduk pada Waktu

Adalah takdir waktu memang untuk selalu menang atas manusia, bahkan makhluk hidup seluruhnya. Mungkin masih sedikit sulit untuk dimengerti, namun kesimpulan Dr. Amelia Brand di film Interstellar yang melibatkan Prof. Kip Stephen Throne‒-pakar astrofisika-‒ pastilah benar: “Waktu itu relatif.” Tidak akan pernah ada yang bisa berdamai dengan tatanan mapan itu: “waktu bisa memanjang, dan memendek. Tapi (yang pasti) waktu tidak bisa (berjalan) mundur.”

Mendebat fakta bahwa waktu tidak bisa berjalan mundur memang terdengar konyol (paling tidak untuk saat ini). Di belahan dunia manapun itu: di planet yang semuanya air, tanpa ada daratan. Malamnya berkali lipat panjang dibanding siang. Panasnya bukan main padahal malam. Dinginnya bukan kepalang padahal siang. Di manapun itu, hatta di planet Miller yang sejamnya di sana setara tujuh tahun di bumi. Waktunya tetap sama, maju. Mustahil mundur.

Baca Juga  Pertanian Keluarga: Pertahanan Terakhir dari Krisis

Begitulah waktu. Semua tunduk pada waktu. Waktu bukanlah siaran Netflix, yang bisa diputar ulang, lalu ditonton kembali. Ketika terlewat, sudah barang pasti manusia terlambat. Tidak ada rewatch. Barangkali, pemahaman seperti itulah yang meresap dalam diri seorang Tābi’in bernama Āmir bin Abd Qais. Kata Āmir kepada salah seorang karibnya yang mengajaknya bercakap- cakap‒menghambat perjalanannya menuntut ilmu: “genggam matahari itu (imsik as- Syams).

“Bisakah kamu menghentikan waktu, agar waktuku dalam menuntut ilmu tidak terbuang sia-sia demi membicarakan hal-hal remeh sepeti ini,” begitu kira- kira maksud perkataan Āmir‒ menyindir karibnya dengan perumpamaan cerdas. Para salaf memang begitu memahami petuah ringkas yang al-Qur’ān sisipkan agar manusia berbondong memanfaatkan waktu. “Wal ‘aṣr,” ringkas saja petuah itu, namun kaya makna juga pemaknaan.

Di bukunya Qīmat al- Zaman ‘Inda al- ulamā’ Syaikh Abdul Fattāḥ Abu Ghuddah merekam banyak tokoh Islam yang punya obsesi memelihara waktu. Āmir bin Abd Qais yang menyuruh karibnya untuk menghentikan matahari, bukanlah yang pertama, apalagi yang terakhir. Jauh hari, sebelum Barat memaknai waktu sebagai uang, umat Islam diajarkan untuk memaknainya lebih dari sekedar uang, melainkan juga kehidupan.

Waktu adalah Kehidupan

Waktu adalah kehidupan, karenanya Imām Tsa’lab‒ seorang ahli Nahwu‒ tidak merasa hidup kalau waktunya seharian tidak diisi dengan aktivitas membaca. Di senjakala umurnya yang ke-90 tahun, saking asyiknya membaca buku di genggamannya sambil berjalan- jalan‒ Imām Tsa’lab terpelosok ke dalam sebuah jurang. Tak sanggup bangkit, akhirnya murid-muridnya membopongnya ke rumah. Tak lama berselang akhirnya Imām Tsa’lab meninggal.

Masih banyak lagi yang semisalnya. Sebutlah salah satunya Khalīl bin Aḥmad al- Farāhidi yang dengan santai bilang: “waktu paling berat bagiku adalah waktu makan.” Memang terdengar aneh, apalagi di telinga pelajar zaman sekarang yang tidak bisa belajar tanpa mengunyah kudapan. Bukan artinya tidak makan. Al- Farāhidī tetap makan. Hanya saja waktunya untuk beribadah dan menuntut ilmu lebih ia sayangi ketimbang waktu makan yang banyak memakan waktunya.

Baca Juga  Menumbuhkan Sikap Tolong Menolong dalam Menghadapi Wabah Covid-19

“Otak manusia bekerja lebih baik saat perut kosong,” al- Farāhidī lebih dulu memahami itu, sebelum Sherlock Holmes mengungkapkannya dalam sebentuk kata- kata. Lewat waktu sholat yang lima, waktu sahur dan berbuka, waktu menunaikan zakat fitri,  batas waktu iddah, thalāq, rujū’, ḥaidh, nifās, sampai perkara hutang- piutang, sebenarnya Islam ingin mengajarkan pemeluknya‒ bahwa tidak ada sisi hidup seorang muslim yang terlepas dari aturan waktu.

Maka darinya, ada baiknya apabila kaum muslimin mengiringi segala ibadahnya dengan pemaknaan mendalam tentang harga waktu. Syaikh Muḥammad Ghozālī di bukunya Dustūr Wiḥdah al- Tsaqāfīah baina al- Muslimīn bercerita: bahwa di Mesir ada seorang Imam besar yang menghitung waktu hidupnya perdetiknya saking berharganya untuk dipakai menebar dakwah. Adakah pribadi sepertimana dirinya dewasa ini?

Jikalau ada, mudah-mudahan suatu saat ada astronot muslim di masa depan yang dapat menembus black hole─masuk ke dimensi ke-5, berdo’a  sambil menyusun morse agar mereka yang memaknai waktu hidupnya perdetiknya diberi umur panjang untuk dapat menetap lebih lama di bumi─mengajari manusia makna penting waktu. Syaikh Muhammad Ghozālī tentu akan sangat senang melihat sosok Imam yang dikaguminya, kini berlipat banyak berdakwah di muka bumi─meneruskan perjuangan.

***

Pungkasnya, hargai tinggi-tinggi waktu setiap detiknya. Manfaatkan ia sebaik-baiknya. Karena umat Islam tidak akan berakhir baik, kecuali dengan kebaikan yang membuat baik para pendahulunya. Seandainya di zaman al- Farāhidī, Imām Tsa’lab, dan Āmir bin Abd Qais sudah gandrung industri film, mungkin salah satu dari merekalah yang mendahului Christopher Nolan membidani film besar seperti Interstellar yang begitu mengemukakan martabat waktu.

Allāhu a’lam.

Faris Ibrahim
13 posts

About author
Alumni Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir I Mahasiswa Magister Studi Islam Universitas Islam Internasional Indonesia
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds