Perspektif

MAPK Solo dan Tanggung Jawab Profetik Kita: Sebuah Refleksi

7 Mins read

Perkenalan dengan MAPK

Pada liburan sekolah tahun 1994, Majalah Rindang edisi terbaru yang diterbitkan oleh Departemen Agama (Depag) Jawa Tengah tergeletak di atas meja di ruang tamu. Majalah resmi para abdi negara di lingkungan Depag itu saya buka-buka.

Dalam salah satu rubriknya, sebuah reportase khusus tentang prestasi siswa Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) Solo Jawa Tengah menarik minat dan perhatian saya. Yang saat itu, baru kelas 2 di MTs PPPI Miftahussalam Banyumas, sebuah pesantren modern yang mengacu pada sistem pendidikan Pesantren Darussalam Gontor Ponorogo Jawa Timur. Seusai membacanya secara tuntas, sebuah cita-cita menggurat dalam benak: melanjutkan ke MAPK Solo. Itulah perkenalan pertama kali saya secara virtual dengan MAPK.

Saya bersyukur, meski tinggal di pegunungan Kaliwiro Wonosobo Jawa Tengah yang terpencil, orang tua yang berprofesi sebagai guru di pegunungan tersebut masih mendapatkan informasi penting dan aktual dari majalah-majalah yang bapak berlangganan tiap bulan.

Selain Rindang, bapak saya berlangganan Panjimas, Suara Muhammadiyah, Media Dakwah, Al-Muslimun, dan majalah untuk anak-anak seperti Majalah Kuncung, Majalah Aku Anak Sholeh. Karena itulah, ketiadaan teknologi dan informasi lainnya pada masa kuat-kuatnya Orde Baru saat itu. Majalah yang terbit dwi mingguan atau bulanan merupakan media transformasi informasi dan gagasan penting yang turut membentuk keinginan kuat saya untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya.

Mendaftar ke MAPK

Setamat Tsanawiyah, alhamdulillah, nilai ijasah MTs saya memenuhi syarat daftar ke MAPK. Bersama Abdul Hafidh (dari Purbalingga), saya pergi mendaftar sekolah ke MAPK Solo. Kami pun sempat pergi ke MAPK Yogyakarta untuk sekedar membandingkan dengan Solo. Karena tidak cocok dengan letak madrasah yang berada di kota.

Kami pun mantap hanya mendaftar di MAPK Solo yang terletak di pinggir makam Bonoloyo yang luas dan besar itu. Cita-cita yang menggurat sejak membaca Majalah Rindang tersebut akhirnya terkabul.

Kami berdua diterima. Di sinilah, di “madrasah plus” ini saya mendapatkan “pengalaman plus-plus” yang bersifat kosmopolitan dan mengglobal.

Sistem sekolah yang inklusif secara latar belakang sosial dan mazhab keagamaan di bawah asuhan para guru seperti KH Ustadz Sukemi Mbah Kemi, KH Doktor Zamakhsyari Ari Zamakhsari, KH Ahmad Rosyidi, LC, Ustadz Mahmud, MS, KH Muhammad Ilyas, KH Ustadz Khusnul Aqib, KH Mundzir, Ustadz Lukman Hakim serta para maha guru lulusan LIPIA, Australia, Mesir, Arab Saudi, dan Pakistan-India, serta alumnus perguruan tinggi negeri di Indonesia lainnya yang berwawasan luas telah menitiskan spirit kuat untuk terus “meniti jalan pedang” dalam menimba pengetahuan di manapun berada.

Legasi Brilian Menteri Munawir Sjadzali

Salah satu legasi positif pemerintah Orde Baru untuk bangsa, khususnya umat Islam, adalah lahirnya pusat-pusat keunggulan (centers of excellency) pada dekade 1980-an. Sebagai penganut mazhab pembangunan dan stabilitas politik dan keamanan, Soeharto menyadari pentingnya pembangunan manusia Indonesia yang cerdas, beriman, dan bertakwa untuk menyongsong era tinggal landas pada milenium baru.

Menhankam LB Moerdani mulai mencetuskan perlunya sekolah unggulan semi militer di pendopo Tamansiswa Yogyakarta pada tahun 1985 dan gagasan tersebut baru diwujudkan dengan pendirian SMA Taruna Nusantara di Magelang yang diresmikan Panglima ABRI Tri Soetrisno pada tahun 1990.

Sebelumnya, madrasah unggulan telah didirikan pada 1987 di 14 daerah di Indonesia oleh Departemen Agama yang dipimpin oleh seorang santri diplomat dan birokrat Menteri Agama Munawir Sjadzali yang membantu Presiden Soeharto pada 1983-1993.

Baca Juga  Tahun Baru Hijriyah: Sejarah, Tradisi, dan Hikmahnya

Resah dan khawatir dengan langkanya ulama-intelektual Indonesia yang berpandangan progresif, Syadzali yang alumni Pesantren Mambaul Ulum Surakarta itu menganggap perlu membangun “madrasah plus” yang memadukan metode pesantren modern dan tradisional di Indonesia.

Dalam refleksi kritis Syadzali, kedua jenis pesantren itu telah menjadi ‘akar tunjang’ bagi pendidikan dan juga keberadaan Islam di Indonesia. Namun, dalam sejarahnya yang panjang, keduanya memiliki kelebihan sekaligus kekurangan masing-masing.

Pesantren tradisional dikenal fasih dalam mengkaji dan mendalami kitab kuning (tradisi pengetahuan Islam klasik) tetapi gagap dalam penguasaan bahasa dan literatur Islam modern. Soeharto merestui ide Sjadzali untuk mengawinkan dua khazanah pendidikan tersebut melalui MAPK.

Pada tahun 1990, menyusul keberhasilan pilot project MAPK di 14 daerah, Departemen Agama mendirikan MAPK Solo melalui Keputusan Menteri Agama No. 73 tahun 1987. Dalam perjalanannya, MAPK Solo yang bertempat di MAN 1 Surakarta mengalami perubahan dan perkembangan dengan dibuka kelas putri pada tahun 1994.

Satu-satunya MAPK di Indonesia yang menggelar kelas untuk putri. Selanjutnya, MAPK Solo berubah nama menjadi Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) pada 1997 dan akhirnya kembali menjadi MAPK dengan mengganti “Khusus” dengan “Keagamaan”.

Perubahan dan perkembangan sejarah MAPK Solo sendiri tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pendidikan madrasah di Pemerintah Pusat, seiring dengan perubahan dan perkembangan politik pendidikan Islam di Indonesia.

MAPK dan Politik Akomodasi Islam Orde Baru

Dalam hal ini, MAPK adalah sebuah legasi Pemerintah Orde Baru. Terutama Departemen Agama di bawah Menteri Munawir Sjadzali. Jika dilihat dalam spektrum yang lebih luas tentang politik pendidikan Orde Baru, kemunculan jenis MAPK ini juga merupakan kelanjutan dari paket kebijakan politik akomodasi Islam Soeharto.

Jika pada awal Orde Baru, Soeharto menerapkan depolitisasi Islam, yakni mengempiskan dan mempersempit ruang Islam politik melalui serangkaian kebijakan fusi partai-partai Islam pada 1973 dan pengarusutamaan Pancasila sebagai asas tunggal organisasi sosial politik (orsospol) pada 1984, maka pada akhir dekade 1980-an dan awal 1990-an, Soeharto mengubah kebijakannya lebih “ijo royo-royo”.

Perubahan ini ditandai dengan perginya Soeharto dan Ibu Tien ke Mekkah untuk menunaikan haji pada 1991, pendirian ICMI pada 1992 di Universitas Muhammadiyah Malang, ribuan masjid Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila, Bank Muamalat pada 1992, dan juga susunan kabinet yang mayoritas berlatar Muslim pada 1992-1997 dan 1997-1998.

Dalam konteks inilah, dukungan politik dan finansial Soeharto pada pendirian MAPK di berbagai daerah, termasuk di Bonoloyo Solo, dapat dibaca sebagai buah dari strategi politik Orde Baru yang ramah pada pemakmuran Islam kultural, bukan Islam politik.

Dalam hal ini, strategi dakwah atau islamisasi dari dalam (islamisation from within) yang dilakukan sejumlah politisi dan birokrasi Muslim seperti Profesor Munawir Sjadzali tampaknya cukup berhasil.

Secara lebih luas, hasil dari strategi Islam kultural ini juga ditandai dengan semakin ramai dan semaraknya masjid-masjid, lautan jilbab di sekolah dan universitas selain di ruang publik seperti pasar dan pusat perbelanjaan modern, serta terus membludaknya jumlah jamaah haji dari tahun ke tahun.

Jasa Soeharto Mengislamisasi Rakyat Indonesia

Tidaklah heran, jika Robert Hefner (Civil Islam, 2000) Andrée Feillard dan Remy Madinier (La Fin de l’innocence, 2007) dan sarjana lainnya menganggap Soeharto berjasa besar pada islamisasi masyarakat Indonesia, terutama dengan menerapkan mata pelajaran agama di sekolah negeri dan reformasi atau modernisasi sistem pendidikan madrasah, termasuk MAPK di dalamnya.

Baca Juga  Teologi Al Ashr: Spirit Kaum Milenial

Dengan pemberlakuan pelajaran agama di sekolah dan perguruan tinggi, anak didik yang berasal dari keluarga Muslim abangan atau berlatar komunis akhirnya terislamisasikan melalui mata pelajaran wajib yang diikutinya.

Fenomena transformasi sosial keagamaan di kalangan keluarga abangan (nominal Muslim) atau kejawen dan komunis menjadi santri baru banyak terjadi. Sederhananya, misalnya, ditandai dengan penggantian nama Jawa “Surono” menjadi nama Arab yang lebih islami “Syamsudin”, “Joko Pitono” menjadi “Abu Qatadah” dan sebagainya banyak dijumpai di Jawa.

Karena itu, tidak heran jika kebijakan ini memperkuat komunitas Muslim moderat dan kultural yang menjunjung “semarak Islam dan semarak demokrasi”, tetapi juga memicu ledakan komunitas Muslim baru yang lebih menyukai “semarak Islam dan sepinya demokrasi”.

Komunitas yang disebut terakhir tersebut muncul dan tumbuh seiring dengan membanjirnya paham-paham politik Islam transnasional yang mengusung utopia khilafah atau negara Islam yang diterima tanpa sikap kritis.

Di sinilah tantangan baru yang menuntut tanggung jawab MAPK dan para alumninya terletak; yakni bagaimana MAPK, siswa dan alumninya dapat mendorong tumbuhnya pemahaman dan dakwah Islam yang moderat, progresif, dan berkeadilan di Indonesia dan bagaimana siswa dan alumni MAPK dapat terlibat dan melibatkan diri dalam denyut nadi kehidupan umat dan bangsa dengan problematika dan dinamikanya yang luas.

Peran Profetik MAPK Memproduksi “Ulama-Intelektual”

Setelah tiga dekade lebih, proyek MAPK tampaknya cukup berhasil. Alumni MAPK—yang selama tiga tahun dibina dan dikader dalam sistem pendidikan “jalan tengah” antara tradisional dan modern, telah berkontribusi besar bagi perkembangan wacana dan pemikiran Islam di perguruan tinggi Islam di seluruh Indonesia.

Hampir tidak ada satu pun UIN, IAIN, atau STAIN yang tidak ada alumni MAPK-nya. Bahkan, mahasiswa S2 dan S3 di luar negeri yang berasal dari perguruan tinggi Islam, sebagian besarnya berasal dari MAPK dalam dua dekade terakhir. Begitu juga, banyak alumni (sebagian besarnya) menjadi birokrat dan abdi negara di bawah Kementerian Agama.

Mereka inilah yang fasih menangkal ideologi-ideologi keagamaan yang tidak senafas dan sebangun dengan Islam yang ramah. Keresahan dan kecemasan Pak Menteri Syadzali atas kelangkaan intelektual dan ulama plus tampaknya telah terobati.

Setidaknya, telah berkumpul barisan kaum ulama-intelektual yang menjaga nilai Islam yang rahmatan lil’ alamin di NKRI tercinta ini. Kita patut bersyukur.

Namun demikian, tantangan umat Islam dan bangsa Indonesia di masa kini dan mendatang tampaknya semakin besar. Hal ini, tentu saja, menuntut pemaknaan ulang secara progresif apa yang disebut “ulama-intelektual” plus seperti diharapkan oleh para founding fathers MAPK.

***

Dalam konteks sosial, politik, ekonomi, dan budaya yang penuh gejolak dan dinamika sekarang ini, baik dalam radius nasional, regional, maupun global, tampaknya peran “ulama-intelektual” yang disandang para alumni perlu diperluas lagi pemaknaannya.

Tugas kenabian tersebut, dapat dipahami, bukan hanya memberikan pencerahan (tanwir, enlightenment) di dunia teks keagamaan (hadlarat al-nushush al-diniyyah), tetapi juga meluas pada konteks (context, dluruf) dan bidang-bidang lain yang luas, semisal politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, di mana umat Islam dan bangsa Indonesia menjadi subyek sekaligus objek.

Baca Juga  Makna dan Tujuan Pendidikan Menurut Quraish Shihab

Sederhananya, saya pribadi berharap alumni MAPK Solo, terutama, makin banyak yang menekuni dan terjun di dunia-dunia “sekuler” dengan menjadi politisi, pengusaha, pegiat sosial, budayawan-seniman, dan profesi lainnya.

Mereka ini diharapkan tetap bertungkus lumus pada peran profetik “ulama-intelektual”, memberikan pencerahan dan solusi pada persoalan keseharian umat dan bangsa melalui kesediaan untuk terlibat dan melibatkan diri secara langsung dalam dunia yang ditekuninya.

Dengan bekal pengetahuan agama yang didalaminya, saya yakin seorang alumni akan menjadi pelopor (precursor) perubahan dan transformasi sosial di dunia profesi yang digelutinya.

Melek Teks dan Konteks

Etos dan spirit inilah yang saya kira menjadi kunci penting dari maksud dan tujuan para pendiri, pengasuh, dan guru di MAPK Solo. Bukankah raison d’etre (asal usul) pendirian MAPK salah utamanya adalah melahirkan seorang ulama-intelektual atau ulama-intelektual yang “melek” teks dan konteks?

Bukankah intelektual-ulama atau ulama-intelektual dewasa ini bukan saja dituntut fasih dalam soal teks keagamaan, tetapi juga fasih dalam advokasi dan praksisme politik, sosial, ekonomi, dan kebudayaan?

Saya memahami “intelektual-ulama” atau “ulama-intelektual” ini sebagai etos dan spirit kenabian kita sebagai alumni MAPK. Di sini, oleh karena itu, saya hanya ingin berharap bahwa alumni MAPK Solo dapat mengisi ruang-ruang kosong dan luas yang membutuhkan dakwah Islam yang mencerahkan, membebaskan, dan mampu mengubah “biji enau” menjadi “sebutir emas”.

Dengan etos dan spirit progresif ini, alumni MAPK dapat berkontribusi pada pembangunan dan kesejahteraan umat dan bangsa secara proaktif. Tidak saja dibidang sosial-keagamaan (masjid), tetapi juga tanggap sasmita di bidang politik (balai desa dan kota), dan ekonomi (pasar dan bursa efek), dan seni kebudayaan (panggung rakyat, teater).

Sebab, persoalan dan krisis dewasa ini lebih karena persoalan politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan kita. Problem radikalisme keagamaaan, misalnya, yang memicu aksi kekerasan dan terorisme di kalangan Islam, tidak saja, didekati dengan pendekatan keagamaan moderat, tetapi juga perlu dicari akarnya secara ekonomi dan sosial kebudayaan.

Problem kemiskinan dan kesejahteraan perlu didekati dengan pendekatan ekonomi dan politik kesejahteraan, sebab seperti sabda Nabi Muhammad kaad al-faqru an yakuna kufran. Jika radikalisme-terorisme itu dianggap sebuah kekufuran, maka pengentasan dan pemberantasan ekonomi lebih masuk akal.

***

Terakhir, saya dan tentunya kita semua berharap, para siswa dan alumni MAPK yang punya social and intelectual capital yang cukup baik itu dapat terus mengembangkan diri dan bertebaran di muka bumi Allah (intisyar fi ardlillah) dan menjadi apa saja untuk berkontribusi bagi umat, bangsa, dan kemanusiaan universal sesuai dengan etos dan spirit sekaligus visi dan misi “ulama-intelektual” atau “intelektual-ulama”.

Secara pribadi saya bermimpi, suatu saat nanti — tidak akan lama lagi, alumni MAPK (Solo) dapat saling berjejaring dan bekerja sama dalam mengadvokasi dan mengagregasi kepentingan publik, syukur-syukur, sebagai pemangku dan pengambil kebijakan publik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif serta di jaringan komunitas bisnis atau lembaga sosial keagamaan di Indonesia.

Dirgahayu MAPK SOLO ke-31

Fil khayri wal ihsan.

Musim Panas, Villefranche-sur-Saone Perancis, France.

Editor: Rozy

Avatar
11 posts

About author
Santri S3 Filsafat dan Epistemologi, Ecole Normale Superieure (ENS) de Lyon, France; Staf Pengajar Ilmu Qur'an dan Tafsir (IQT), Universitas Muhammadiyah Surakarta; Sekjen Public Virtue Institute (PVI) Jakarta; Associate Research Fellow, Institute of Defence and Strategic Studies, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University of Singapore
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds