Oleh: Amirullah, MA*
Tulisan dengan judul Salah Kaprah Pendidikan Karakter di Sekolah oleh Achmad Munjid di Harian Kompas pada 19 Agustus lalu secara tajam mengkritik kebijakan Kemendikbud RI. Lebih spesifik, tulisan tersebut mengkritik keterlibatan TNI dalam pembinaan karakter nasionalisme siswa melalui kegiatan Pengenalan Lingkungan Sekolah (PLS). Munjid menuding kebijakan tersebut salah kaprah dan harus dikoreksi.
Pada 26 Agustus, satu pekan setelah kritik terbuka itu dilontarkan, Mendikbud Muhadjir Effendy, pada media yang sama, dengan bijak memberikan tanggapan melalui tulisannya “Pendidikan Karakter di Sekolah”.
Muhadjir menjelaskan secara terang maksud dari pelibatan berbagai pihak, termasuk TNI dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah. Sembari meluruskan pandangan Munjid yang menganggap akan terjadi militerisasi di sekolah dan “matinya” berpikir kritis dan logis.
Tulisan ini hadir sekaligus memberikan perspektif terhadap dua pandangan di atas, baik kritik dari Munjid maupun tanggapan dari Mendikbud Muhadjir.
Berpikir Logis Bukan Segalanya
Kritik Munjid terhadap pendidikan di Indonesia yang masih dianggap problematik. Di antaranya sekolah begitu sibuk pada pembinaan moral, kesalehan, ideologi, spiritualitas, nasionalisme, dan kewirausahaan. Sehingga mengorbankan agenda menanamkan daya kritis dan cara berpikir logis yang merupakan tanggung jawab utama sekolah.
Munjid juga berpandangan bahwa dengan kemampuan berpikir logis dengan sendirinya akan dapat membentuk karakter yang melekat dalam diri para siswa. Seperti kejujuran, toleran, nasionalisme, disiplin, kepekaan sosial dan seterusnya. Apakah betul demikian?
Sesungguhnya, kritik banyak pengkaji pendidikan justru sebaliknya. Melihat bahwa pendidikan selama ini lebih cenderung transfer of knowledge. Akibatnya, banyak lulusan yang terlihat mumpuni dalam kemampuan kognitif bidang ilmu yang diminatinya. Namun kurang memiliki kesadaran kebangsaan, humanis, dan bermental keropos.
Kenyataannya, para siswa mempelajari berbagai mata pelajaran yang mendorong mereka untuk berpikir sistimatis, logis atau berfikir saintis. Terwujud dalam mata pelajaran matematika, fisika, kimia, biologi, dan seterusnya. Namun tidak otomatis terbentuk karakter yang cinta tanah air, jiwa bela negara, menghargai dan dapat hidup bersama dalam perbedaan, serta mau bekerjasama dengan orang-orang yang berbeda keyakinan dan aliran sebagai warga bangsa.
Siswa yang Sinis dan Memusuhi Perbedaan
Fenomena seperti ini setidaknya terkonfirmasi dari beberapa survei dan penelitian yang telah dilakukan. Para siswa ternyata masih banyak yang berpandangan sinis bahkan cenderung “memusuhi” perbedaan sesama warga bangsa. Padahal mereka sehari-hari bergumul dengan “olah pikir” dalam proses pembelajaran yang mereka ikuti.
Sebagai contoh, ada 34,3% siswa muslim memiliki pandangan intoleran terhadap orang di luar agamanya. 51,1% berpandangan intoleran terhadap perbedaan mazhab dan aliran sesama agamanya. Bahkan sebanyak 58,5% berpandangan radikal. Demikian laporan penelitian PPIM UIN Jakarta 2017 lalu.
Pada lingkup yang lebih luas lagi, tidak sedikit kita temukan orang yang begitu pandai berpikir kritis dan logis. Bahkan bisa dibilang sangat hebat dalam beradu gagasan dan merangkai kata dalam berdebat. Tetapi mereka mengakhiri hidupnya dalam jeruji penjara karena miskin karakter mulia sebagai manusia.
Fenomena koruptor adalah sedikit contoh dari banyak contoh yang ada. Pembentukan karakter manusia bukanlah melulu soal olah pikir dan pencapaian prestasi kognitif yang tinggi. Ada banyak sisi yang perlu ditumbuhkan.
Integrasi
Masalah di dunia pendidikan kita memang kompleks. Untuk itu, perlu pula pendekatan yang bisa menjawab kompleksitas tersebut. Integrasi antar dan inter disiplin dan lintas sektor perlu dilakukan. Termasuk dalam pembinaan karakter para siswa di sekolah.
Dalam kaca mata integrasi, pelibatan berbagai pihak justru merupakan upaya maju untuk memperkuat karakter para siswa sebagai manusia seutuhnya. Tidak hanya upaya membangkitkan spirit nasionalisme, tetapi juga karakter berwirausaha, karakter di bidang olahraga, seni, anti korupsi dan narkoba. Bahkan yang berhubungan dengan kesadaran kebencanaan dan kesadaran bisa aktif hidup bersama dalam perbedaan. Semua ini tidak bisa hanya mengandalkan guru matematika atau ahli filsafat sekalipun.
Seperti yang dikatakan Mendikbud Muhadjir, bahwa TNI bukanlah satu-satunya pihak yang dilibatkan dalam pendidikan karakter di sekolah. Pihak lain seperti Polri, BNN, BNPB, KONI, PSSI, komunitas-komunitas seni, dan HIPMI juga dilibatkan. Langkah-langkah integrasi seperti ini justru sangat penting dilakukan untuk menjawab kompleksitas tantangan di dunia pendidikan kita hari ini.
Sepanjang pelibatan berbagai pihak pada kegiatan PLS yang selama dua pekan tersebut dilaksanakan dengan inklusif dan partisipatif, dikembangkan dalam iklim yang terbuka dan demokratis, serta dapat memperkaya khazanah dan pengalaman para siswa seperti yang dikatakan Mendikbud , dengan sendirinya apa yang dikhawatirkan oleh Munjid terjadinya militerisasi atau matinya berpikir kritis dan logis menjadi tidak relevan.
***
Saatnya pendidikan kita bergerak ke arah paradigma holistik dan pendekatan yang lebih integratif. Dan kelihatannya, hal ini yang akan diimplementasikan Kemendikbud dengan melibatkan berbagai pihak dalam pendidikan karakter di sekolah. Di mana pembentukan karakter para siswa tidak terpaku dan kaku pada guru dan buku semata, tetapi dapat dilakukan melalui berbagai sumber belajar.
Sumber belajar itu seperti pemutaran film, kunjungan komunitas, kunjungan situs budaya dan rumah ibadah, dan penampilan seni budaya. Juga dapat berbentuk pelayanan sosial, kunjungan museum, kunjungan pasar, workshop, dan diskusi. Hingga menyentuh dunia virtual, inspirasi dari sosok seseorang, dan keterlibatan berbagai pihak terkait.
Dengan pendekatan integrasi lintas disiplin dan sektor seperti ini para siswa tidak hanya diajak untuk berpikir kritis, tetapi juga menggugah “nurani” kesadarannya. Membekali mereka dengan berbagai keterampilan hidup, dan merangsang mereka untuk maju dalam spirit nasionalisme yang kokoh.
*) Ketua DPP IMM Bidang Kader periode 2016-2018. Sekarang aktif sebagai pengajar dan Kepala Devisi Integrasi Keilmuan dan Pengembangan Tradisi Pemikiran LPP AIK Univ. Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.