Perspektif

Hukum Adat yang Semakin Tercekik oleh Hukum Positif

4 Mins read

Manusia selalu hidup bermasyarakat, agar kehidupan menusia dalam masyarakat teratur dan tertib, maka diperlukan hukum. Manusia, masyarakat, dan hukum, merupakan suatu komponen yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Pameo Romawi yang menyatakan ubi societas ibi ius (di mana ada masyarakat, di situ ada hukum) mengambarkan hubungan ini dengan tepat sekali. Dalam pergaulan antara manusia dan masyarakat, tidak hanya diatur oleh hukum.

Akan tetapi, juga dipedomani oleh agama, moral, susila, kesoponan, dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya terdapat suatu hubungan yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya.

Hukum Mengatur Pola Hidup Manusia

Satu hal yang membedakan hukum dengan kaidah-kaidah sosial lainnya adalah pentaatan terhadap ketentuan hukum dapat dipaksakan dengan suatu cara yang teratur. Hukum sebagai kaidah sosial tidak lepas dari nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat.

Bahkan, dapat dikatakan bahwa hukum merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat, tentunya merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.

Hukum merupakan kedudukan paling tinggi di negara kita, dalam hal mengatur pola kehidupan masyarakat kota maupun masyarakat yang ada di desa. Dan dengan kemajemukan warga negara Indonesia, yang terdiri dari berbagari ras, suku, agama, dan adat membuat hukum harus menyesuaikan dengan hal tersebut dan konteks zaman.

Tidak sedikit polemik yang terjadi dalam hukum itu sendiri. Contohnya, yang sekarang menjadi salah satu problematika terbesar dalam bidang hukum yang ada di negara kita adalah, ketika hukum positif berhadapan dengan hukum adat.

Sudah berapa banyak kasus yang terjadi di negara kita. Ketika hak masyarakat adat yang ada di wilayah tertentu diambil secara tidak adil oleh korporasi, perusahaan, atau investor. Yang menggunakan hukum positif, sebagai tameng untuk berbuat semena-mena kepada masyarakat adat hanya untuk mengisi perut mereka. Hal ini menggambarkan, eksistensi hukum adat sebagai living law bangsa Indonesia semakin hari semakin termarginalkan.

Baca Juga  Proses Pembentukan Hukum Islam di Masa Rasulullah

Eksistensi Hukum Adat yang Semakin Memudar

Hukum adat yang semula menjadi hukum yang hidup dan mampu memberikan solusi dalam berbagai permasalahan pergaulan hidup masyarakat Indonesia, semakin hari semakin pudar eksitensinya.

Semakin terpinggirkannya keberadaan hukum adat sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia, salah satunya karena anggapan bahwa hukum adat sangat bersifat tradisional dan tidak dapat menjangkau perkembangan zaman (globalisasi dan teknologi).

Implikasi dari politik hukum Indonesia ini dirasakan pula di dalam pemecahan permasalahan di masyarakat yang menafikan hukum adat, yang sebenarnya lebih relevan. Sebagai contoh, maraknya konflik horizontal, antara masyarakat adat di satu wilayah, seharusnya dapat diselesaikan melalui peran lembaga penyelesaian masyarakat adat.

Masalah krusial yang timbul dalam keseharian adalah perbedaan persepsi antara penguasaan tanah oleh masyarakat berdasarkan hak ulayat dengan kepentingan umum yang menjadi beban dan kewajiban negara.

Tidak sedikit konfik yang terjadi antara masyarakat adat dengan korporasi, yang berlindung di balik ketiak Undang-Undang Republik Indonesia. Di antaranya adalah, kasus yang menimpa salah satu masyarakat adat di riau yakni pak bongku.

Contoh Kasus

Beliau adalah salah satu masyarakat adat yang menggarap lahan seluas 0,5 ha untuk ditanami ubi kayu dan ubi menggalo untuk makan sehari-hari. Tanah yang hendak di kerjakan oleh bapak bongku merupakan tanah ulayat yang saat ini diperjuangkan dan berada di area Konsesi Hutan Tanam Industri (HTI) PT. Arara Abadi distrik Duri II, Kabupaten Bengkalis, Riau.

Pada 3 Novemver 2019. Saat ia menebang pohon di tanah ulayat miliknya, ia ditangkap oleh security PT. Arara Abadi dan selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Sektoe Pinggir. Beliau hanya menebang total hanya sekitar 20 pohon saja dan pohon yang ditebang oleh beliau adalah pohon liar sejenis eucalyptus dan akasia bukan pohon yang sengaja dikembangkan oleh perusahaan.

Baca Juga  A Design Lover’s Guide To Mexico City

Pak Bongku di tuntut 1 tahun penjara dan denda sebesar Rp. 500.000.000 dan 1 bulan penjara sesuai dengan pasal 82 Huruf (c) No. 18 Tahun 2013 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Perusakan Hutan.

Dalam kelanjutan proses hukum yang dijalani Pak Bongku, beliau akhirnya dibebaskan setelah menjalani hukuman kurang lebih 7 bulan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II A Bengkalis, melalui asimilasi sesuai dengan Permenkumham Nomor 10 tahun 2020.

Tentang syarat pemberian asimilasi dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran Coovid-19. Bagaimana Undang-Undang, Putusan, dan Hukum Adat menjawab persoalan ini?

Tentu pertanyaan inilah yang membuat penulis ingin sekali mengetahuinya. Secara normatif, beberapa peraturan perundang-undangan telah mengamanatkan adanya pengakuan dan perlindungan untuk Masyarakat Hukum Adat, meskipun implementasinya belum seperti yang diharapkan.

Undang-Undang Indonesia

Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), sebagai hasil amandemen pertama UUD 1945, menyatakan bahwa “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang.’’

Ketentuan Pasal 18B UUD 1945 diperkuat dengan ketentuan Pasal 28I ayat (3) UUD 1945  bahwa “Identitas budaya dan masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban”.

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan Masyarakat Hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya, sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Di mana, masyarakat Hukum Adat selama ini belum diakui dan dilindungi secara optimal dalam melaksanakan hak pengelolaan yang bersifat komunal, baik hak atas tanah, wilayah, budaya, dan sumber daya alam yang diperoleh secara turun-temurun, maupun yang diperoleh melalui mekanisme lain yang sah menurut hukum adat setempat.

Baca Juga  Spirit Asyura: Komitmen Melawan Tiran dan Kezaliman

Belum optimalnya pengakuan dan pelindungan hak Masyarakat Hukum Adatt yang bersifat komunal, mengakibatkan munculnya konflik di Masyarakat Hukum Adat.

Sehingga, menimbulkan ancaman stabilitas keamanan nasional, serta pengakuan dan perlindungan hak Masyarakat Hukum Adat dalam peraturan perundang-undangan saat ini belum diatur secara komprehensif.

Perlunya Undang-Undang Pelindung Hukum Adat

Sehingga, perlu diatur secara khusus dalam satu Undang-Undang. Berdasarkan pertimbangan tersebut, perlu membentuk suatu rancangan undang-undang tentang Pengakuan dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat.

Sedangkan menurut Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/PUU-XII/2014 telah secara tegas menyebutkan “ketentuan pidana kehutanan dikecualikan terhadap masyarakat yang secara turun temurun hidup di dalam kawasan hutan dan tidak ditujukam untuk kepentingan komersial”.

Dan menurut Hukum Adat sendiri melihat kasus ini, tentu sangat kontradiksi dengan apa yang sudah menjadi ketetapan atau hukum yang berlaku di masyarakat adat yang sudah menetap di daerah tersebut selama turun-temurun.

Editor: Yahya FR

Ghifari Fajar Anugerah
2 posts

About author
Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds