Review

Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

5 Mins read

Hijrah Intelektual Buya Syafii: Puritanisme ke Progresif

Ada yang menarik, sesaat setelah saya membaca buku biografi Buya Ahmad Syafii Maarif Titik-Titik Kisar di Perjalananku (Ombak : 2006), yaitu pengakuan Hijrah Intelektual yang mencerahkan. Buya sempat terjebak pada paham keislaman yang kurang mencerahkan, hingga mampu menuju kelahiran kembali menemukan paham keislaman yang mencerahkan. Lalu bagaimana kisah hijrah intelektual Buya Syafii?

Hijrah Intelektual Buya Syafii

Saya pikir perlu merekamkan ulang kepada pembaca sekalian, bagaimana perjalanan pemikiran Buya Syafii Maarif hingga di usianya yang ke 43 belum mampu melahirkan pemikiran keislaman yang mencerahkan Itu. Sejatinya kemampuan bahasa Inggris Buya yang sudah mumpuni, dan pemahaman nahwu sharaf yang masih melekat kuat, tidak berbanding lurus dengan perkembangan pemahaman keislamannya.

Demikian tulis Buya, “Sampai aku meninggalkan Athens tahun 1978, rasanya tidak ada yang dapat kutawarkan untuk menembus kebuntuan Intelektualisme Islam. Pada usia 43 tahun, wawasan keislamanku tidak pernah melampaui Ikhwan, Maududi dan Masyumi.” (hlm. 215)

Negara Islam, begitulah paham dan cita-cita yang digandrungi Ahmad Syafii Maarif Muda. Sosok yang mengidolakan partai Masyumi, partai umat Islam yang besar saat itu. Namun, semua itu luruh setelah menyimak ceramah-ceramah Fazlur Rahman.

Sejak kuliah di Athens (1976-1978) buya tidak mendapatkan pengalaman yang berarti yang menggugah pemikiran dan pemahaman keislamannya. Semua pemahaman itu beliau anggap suatu yang statis, tidak bergerak menuju pemahaman yang begitu berarti. “Paham keislamanku belum banyak beranjak sampai aku pada suatu hari aku belajar di Chicago.” (2016 : 194)

Bahkan sejak sudah di Chicago, dengan penuh percaya diri, cita-cita negara Islam masih melekat sebagai suatu yang harus terwujud. Dengan nada penuh heroik, Buya bertanya kepada Fazlur Rahman “Professor Rahman, please just give me one fourth of your knowledge of Islam, I’ll convert Indonesia into an Islamic State” (2016 : 195). (Profesor Rahman, berilah aku seperempat pengetahuanmu tentang Islam, lalu aku akan mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.”)

Permintaan ‘konyol’ ini, menandakan bahwa Buya masih dipengaruhi paham pemikiran lama. Sebagaimana Buya menerangkan dalam biografinya itu “Otakku ‘berdansa’ di panggung paham keislaman yang kurang mencerahkan” (ibid).

Buya berfikir, Rahman akan mendukung cita-citanya itu. Namun, setelah banyak berinteraksi dengan Rahman, tak disangka itulah yang menimbulkan kelahiran kedua pemikiran tentang keislamannya. Paham yang menurut Buya sebagai paham yang mencerahkan.

Baca Juga  Bagaimana Demokrasi Bisa Mati?

Pemikiran negara Islam itu diilhami sampai waktu perjalanan kuliah di Athens. Tokoh-tokoh itu banyak yang dirujuk dari dunia Timur. Seperti misalnya Maududi dan tokoh-tokoh Ikhwan. Demikian tulis Buya, “Aku masih terpasung dalam status quo. Masih berkutat pada Maududi, Maryam Jameelah, tokoh-tokoh Ikhwan, Masyumi, dan gagasan tentang negara Islam.” (hlm. 209)

Inilah periode Athens yang tidak memberikan stimulasi pada pemahaman keislaman Buya, terutama terkait bentuk negara dan politik. Hal ini di karenakan pergaulan Buya bersama teman-teman yang semua menghendaki hadirnya negara Islam. Organisasi yang diikutinya misaalnya, Buya menulis demikian “Aku aktif dalam MSA (Muslim Students’ Association), yang masih sangat merindukan tegaknya negara Islam di suatu negeri.” (hlm. 209)

Namun demikian, Buya tetap bersyukur. Pergaulannya selama di Athens itu membuahkan keteguhan sikap dan keluhuran moral. Sebagaimana diketahui, dunia Barat yang serba bebas itu, menuntut moral yang kuat. Maka tugas menuntut ilmu haruslah hal yang utama, menjaga moral harus terjaga. Demikian tutur Buya “Ilmu Barat dipelajari, tetapi nilai-nilai budayanya yang serba bebas sejauh mungkin dihindari” (hlm. 210).

Kritik Paham Fundamentalis

Periode Chicago mengilhami pemikiran keislaman buya yang baru dan mencerahkan. Inilah pijakan dimana kemudian Buya mampu merefleksikan secara dalam atas pemahaman yang lalu.  Bahkan secara kritis melakukan kritik terhadap tokoh-tokoh yang turut mempengaruhi pemikirannya di masa lalu hingga periode Athens.

Hossein Nasr, tokoh syi’ah moderat dari Islam mendapatkan kritik dari Buya Syafii. Nasr memilih hijrah ke Amerika Serikat untuk mebidangi kajian pemikiran Islam di Universitas Washington. Namun demikian, sebagai catatan yang diberi Buya, teori-teorinya dinilai belum berangkat dari pandangan Qur’an. Demikian tulis Buya “Maka tidak mengherankan Nasr sampai usia tuanya adalah  guru besar pada Universitas Washington untuk kajian-kajian keislaman, tatapi tak satu pun mencoba berangkat dari pandangan dunia al-Qur’an” (hlm. 211).

Kritik tajam juga dialamatkan kepada tokoh Muhammmad bin Abdul Wahab, yang kemudian melahirkan pengikut dan gerakan dikenal dengan Wahabi. Menurut penelusuran buya, gerakan ini diilhami dari Imam Ahmad bin Hambal dan Ibn Taimiyah. Ada yang dilupakan oleh Wahabi, bahwa Ibn Taimiyah selain sebagai aktivis, dia juga kaum intelektual ulung, kelas wahid.

Inilah bentuk kesalahan fatal dari gerakan wahabisme. Inilah yaang dipotret oleh Buya terhadap dunia Arab, sedikit sekali pemikir dari dunia Arab yang mau diajak berpikir radikal, lebih terlena dan malas berpikir mendalam. Demikian tegas Buya, “Gerakan Wahabi lebih banyak mengambil sisi aktivisme dari Ibn Taimiyah, sementara dimensi intelektual dilupakan” (hlm. 212).

Baca Juga  Ilmu Mantik dan Era Keberlimpahan Informasi

Kesalahan utama dari para pendukung pemikir-pemikir diatas berangkat dari kebencian dan penolakan atas realitas dunia Barat. Bahkan, para pendukungan pemikiran Maududi dan Sayid Qutb tidak betah tinggal di negerinya yang penuh dengan praktik penguasa korup, otoritarian, dan ulama yang konservatif. Di sisi yang sama mereka benci atas pratik pergaulan Barat seperti pergaulan seks dan pro-zionisme.

Sudah seharusnya membangun peradaban tidak berangkat dari kebencian, namun dari objektifikasi. “Teori-teori keislaman yang bertolak dari sikap anti asing (baca Barat) ternyata tidak mampu menawarkan solusi bagi masalah modernitas yang semakin sekuler kalau bukan ateistik.” (hlm. 213). Maka perlu untuk mengedepankan sikap lapang dada, bukan ekstrem anti sesuatu, sebab menurut Buya kearifan bukan soal Barat dan Timur. 

Terakhir yang perlu direkam disini adalah proyek ISTAC (International Institute of Islam Thought and Civilization) yang digawangi Naquib al-Attas, pemikir kelahiran Bogor yang Hijrah ke Malaysia. Sepanjang berinteraksi dengan al-Attas, menurut Buya ada sikap anti Egalitarianisme, tentu dengan menghormati dan mendukung niat positif mengenai pengembangan pemikiran Islam.

Sialnya, gejolak politik di negeri Jiran itu, membuat ISTAC tidak mampu bergerak maksimal. Al-Attas yang dinilai dekat dengan Anwar Ibrahim, dan dia merupakan lawan politik Mahatir Mohammad. ISTAC akhirnya dilebur ke dalam Universitas Islam Internasional Malaysia, tentu ini pukulan dan mengubur cita-cita luhur ISTAC.

Demikian tulis Buya, “ISTAC kehilangan kemandiriannya, ruhnya menjadi sirna. Yang positif dari al-Attas adalah ISTAC mau dijadikannya pusat kajian ilmiah bagi pemikiran Islam yang sangat beragam” (2006).

Berguru Pada Rahman

Kuliah-Kuliah dengan Prof. Fazlur Rahman mengilhami kelahiran pemikiran kesilaman Buya Syafii jilid kedua. Pemahaman akan Islam, sekarang tidak dimaknai sebatas simbol, tapi jauh dari itu, merupakan sumber moral utama dan pertama bagi kehidupan ini.

Buya menulis “Aku merasa sedang mengalami kelahiran kedua dalam pemikiran. Islam bagiku adalah sumber moral utama dan pertama. Al-qur’an adalah Kitab Suci dengan sebuah benang merah pandangan dunia dalam semua hal, termasuk acuan dalam berpolitik.” (hlm. 224)

Rusaknya dunia politik saat ini, atau keringnya politisi negarawan, jika kita lihat–meminjam teori Buya di atas, maka diakibatkan dari tidak merujuk pada pesan dan moral utama al-Qur’an. Sehingga tidak sedikit politisi hanya menjadikan jabatan sebagai pekerjaan (sumber rezeki) bukan pengabdian yang luhur untuk bangsa dan negara.

Baca Juga  Buya Syafii, Wali Allah yang Penuh Keteladanan

Inilah bentuk pengakuan Buya, bahwa berguru kepada Rahman telah merubah sikapnya secara mendasar tentang pemahaman keislaman. “Pergumulanku dengan kuliah-kuliah Rahman selama empat tahun telah memengaruhi sikap hidupku dengan sangat mendasar.” (ibid)

Menurut keterangan Buya, kuliah Rahman jauh dari keramaian. Mungkin Rahman menerapkan prinsip, kualitas jauh lebih megah dari pada kuantitas. Seperti pentingnya melahirkan seorang tokoh yang menjadi rujukan di suatu negara, dan itu menjadi sangat berarti.

Ada dua hal yang saya catat dalam tulisan ini mengenai posisi Rahman berdasarkan pengakuan Buya. Pertama, Rahman adalah pemikir dengan pengetahuan yang luas, meliputi masa klasik dan modern.

Demikian tulis Buya, “Rahman dengan segala kelebihan dan kekurangannya adalah seorang pemikir muslim yang sangat akrab dengan kajian Islam klasik dan modern plus pengetahuannya yang luas tetapi sangat kritikal terhadap dunia modern.” (hlm. 224)

Kedua, kuliah Rahman jauh dari doktrinasi. Kuliah Rahman jauh dari cara-cara mendakwahi, yang mengubur pemikiran kritis mahasiswanya. Namun yang dilakukan Rahman penuh dengan objektifikasi, kritikal yang membangkitkan nalar mahasiswanya.

Buya menulis demikian “Otakku mau tidak mau telah mengalami pencucian: aktivisme tanpa kontemplasi yang dalam akan bermuara dengan kesia-siaan, ibarat sumur tanpa dasar. Argumen-argumen Rahman tentang Islam jauh dari mendakwahi.” (hlm. 225). Selanjutnya Buya menegaskan  “Semua kuliah yang disampaikan Rahman dengan jelas, tegas, mendalam, objektif, kritikal dan komprehensif. Terserah kepada mahasiswa untuk menilainya. Mereka diberi kebebasan penuh untuk mendebat.” (hlm. 226-227)

Demikian tulisan ini. Dengan maksud agar pengalaman Buya ini dapat menjadi pelajaran untuk kita semua. Menjadi sumber inspirasi bagi generasi muda agar tidak menyesal dalam keterlambatan memahami Islam yang mencerahkan. Sebagaimana bentuk penyesalan Buya, di usia kepala empat baru memahami paham keislaman yang mencerahkan.

Generasi muda harus banyak membaca dan bergaul. Generasi muda yang bercita-cita menjadi pemikir ulung agar mampu menguasai bahasa Qur’an dan bahasa Inggris. Dalam kehidupan ini, prinsip utama yang harus menjadi pegangan adalah meletakkan Al-Quran sebagai sumber moral utama dan pertama. Buya telah mengikuti filsafat garam (tegaknya nilai-nilai Islam seperti keadilan dan musyawarah), bukan filsafat gincu (negara Islam).

Editor: Nabhan

Riyan Betra Delza
4 posts

About author
Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah
Articles
Related posts
Review

Ketika Agama Tak Berdaya di Hadapan Kapitalisme

4 Mins read
Globalisasi merupakan revolusi terbesar dalam sejarah kehidupan manusia. Dalam buku berjudul Beragama dalam Belenggu Kapitalisme karya Fachrizal A. Halim dijelaskan bahwa globalisasi…
Review

Kitab An-Naja, Warisan Filsafat Ibnu Sina

4 Mins read
Kitab An-Naja adalah salah satu karya penting dalam filsafat Islam yang berisi tentang gagasan besar seorang filsuf bernama Ibnu Sina, yang juga…
Review

Kitab Al-Fasl Ibnu Hazm: Mahakarya Filologi Intelektual Islam Klasik

3 Mins read
Ibnu Hazm (994–1064 M), seorang cendekiawan Andalusia, dikenal sebagai salah satu pemikir paling produktif dan brilian dalam sejarah intelektual Islam. Karya-karyanya mencakup…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds