Kok bisa setiap agama adalah penistaan atas agama-agama lainnya? Karena ada truth claim dalam tiap agama. Bersama klaim kebenaran itu, hadir juga tudingan kesalahan atau ketidakselamatan. Kepada siapa? Ya kepada iman apa pun di luar diri agama terkait.
Maka, perlu dipilah mana penistaan yang berkonsekuensi hukum dan mana yang tidak, demi penataan kehidupan bersama.
Kata kuncinya: ruang. Sebuah penistaan alias penghinaan semestinya baru akan berakibat hukum jika dan hanya jika terlontar di ruang publik. Sebab di ruang publik, interaksi antar-penganut-iman berjalan.
Tapi selama di ruang privat, ya gak papa. Lha wong memang itulah iman, dan iman ortodoks hampir selalu menegasikan iman yang lain. (Beda sama kamu lho, kalo khusus kamu kan levelnya sufi, spiritualis, sudah melebur bersama semesta dan tidak lagi peduli dengan perbedaan apa pun juga.)
Contoh: di ruang privat, seorang Kristen bilang ke jemaat sendiri bahwa Muhammad itu nabi palsu, ya terserah. Atau seorang muslim di ruang terbatasnya bersama kelompok pengajiannya menyebut Yesus bukan Tuhan, ya tidak masalah.
Persoalan akan muncul ketika topik-topik domain privat tadi dilempar ke ruang publik. Teriak-teriak pakai toa, atau pasang spanduk di perempatan, atau disebar di medsos. Di situlah potensi gesekan bakal terjadi. Itulah kenapa perlu hukum untuk mengaturnya. Sekali lagi: di ruang publik.
“Halah, ribet! Saatnya pasal penistaan dihapuskan!”
Gak gitu juga. Palingan yang mau gitu terpengaruh gaya-gaya Ngeropa Ngamerika. Lha wong di sana memang pandangan dunianya beda kok sama yang di sini. Buat kita dari dulu, agama selalu jadi hal penting dalam level society. (Iya, iya, buat kamu enggak penting, itu urusanmu, tapi kan aku gak sedang ngomongin kamu aja).
Maka, ketika kemarin ada yang menyebut ajaran Ahmadiyah itu menista agama Islam, itu absurditas paling ra mutu. Lha iman orang Ahmadiyah memang begitu, dipegang dalam hati mereka, mosok menista. Mereka yakin mereka Islam, mosok dipaksa ngaku bukan Islam. Logikane piyeee ngono lho.
Kalo misalnya trus di Depag Bimas Islamnya ogah ngurusin Ahmadiyah, itu terserah aja. Itu perkara administratif, atau pol mentok perkara hak konstitusional. Tapi secara keyakinan, mana bisa iman dipaksa-paksa. Le mikir ki gek piyee kuwi.
Maka, trus sa tarik sekalian, bahwa bukan cuma Ahmadiyah, bahkan setiap agama tu pada hakikatnya ya menista agama-agama lainnya. Tapi ia tidak bisa diposisikan sebagai penistaan dalam kacamata hukum positif atau dalam kehidupan sosial, selama poin ajaran yang bergesekan dengan agama lain cukup disimpan di ruang-ruang privat.
Seharusnya begitu. Semestinya seperti itu. Tapi hidup ini memang sering tidak mengikuti yang seharusnya dan yang semestinya.