Semenjak hadirnya Taliban yang secara terang-terangan mengakui kekuasaannya terhadap negara Afghanistan, di situlah munculnya kembali penjara bagi perempuan.
20 tahun silam, penjara bagi perempuan itu kian tertutup, namun kehadirannya kembali Taliban saat ini, bagi perempuan Afghanistan bukannya sebagai angin segar, justru sebaliknya.
Janji Taliban kepada perempuan Afghanistan yang sebelumnya yang akan memimpin 180 derajat berbeda dari 20 tahun silam, mulanya bisa dipercaya oleh masyarakat meski dengan ragu-ragu. Nyatanya, keraguan tersebut lama-lama berubah menjadi kenyataan dengan berbagai kebijakan yang diterapkan oleh Taliban kepada perempuan.
Taliban berjanji bahwa kepemimpinan merea saat ini akan menerapkan prinsip moderat. Mereka berjanji akan menghargai perempuan dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan aktif dalam ranah pemerintahan (BBC News).
Janji-janji Taliban kepada perempuan Afghanistan hanyalah omong kosong belaka. Mereka malah sembunyi di balik jubah Islam untuk menyengsarakan perempuan. Kesempatan perempuan untuk memperoleh pendidikan, nyatanya dipersulit.
Banyak syarat menyusahkan yang diterapkan. Di antaranya yakni dilarangnya bercampur-baur antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan, karena tidak sesuai dengan syariat Islam.
Kebijakan Taliban yang Menyengsarakan Perempuan
Salah satu pernyataan Taliban yang cukup konyol yakni ketika mengatakan bahwa perempuan tidak pantas berada di tatanan kementerian. Sebab, tugas perempuan hanya melahirkan. Mereka hanya memandang perempuan sebagai objek seksual belaka. Alasan tersebut jelas tak ada dasarnya dalam Islam bahkan jauh dari esensi ajaran Islam.
Beberapa kebijakan lainnya yang bisa dilihat, yakni: kewajiban memakai burqa, pembatasan keluar rumah, pembatasan bekerja dan sekolah pada perempuan, hingga larangan musik non keagamaan (CNN Indonesia).
Kebijakan semacam ini justru sangat memenjarakan perempuan, membatasi gerak perempuan untuk berkiprah dalam ranah publik, belajar, mengembangkan diri bahkan melakukan aktifitas yang selama ini menjadi konsen dalam hidupnya.
Kita bisa mengatakan bahwa Taliban adalah kelompok yang merepresentasikan keagamaan yang jauh dari landasan humanis. Bahkan menciderai Islam sebagai agama rahmatal lil ‘alamin.
Jika di masa silam, Rasulullah membawa ajaran Islam sebagai pembebasan bagi perempuan dari belenggu budaya dan tradisi yang memenjarakan. Akan tetapi, dalam konteks ini, justru Taliban lah yang memenjarakan perempuan.
Benarkah Islam Demikian?
Kebijakan Taliban yang diberlakukan kepada perempuan perlu kita gugat bersama. Tidak hanya sebagai sesama muslim perempuan, lebih dari itu, sesama saudara dalam kemanusiaan.
Perjuangan menegakkan kembali keadilan, mendapat hak untuk hidup secara aman dan damai, kebebasan berekspresi, dan mengungkapkan pendapat, harus lah dierbut kembali dari Taliban. Supaya, perempuan Afghanistan bisa mempunyai kendali atas hidupnya yang sejatinya merdeka.
Padahal, hak untuk berpendapat pada perempuan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Hal ini berdasarkan pada dialog Rasulullah dengan Khawlat binti Tsa’lab. Ia mengadukan kepada Rasulullah perihal suaminya (Aus bin al-Samit) yang telah men-zihar-nya. Kemudian turunlah empat ayat pertama dari surat al-Mujadalah:
“Sungguh Allah telah telah mendengar ucapan wanita yang berdialog denganmu tentang suaminya, dan ia mengadu kepada Allah. Allah mendengar percakapan kalian berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat….”
Berdasarkan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa Islam sangat menjujung hak perempuan dalam memberikan pendapat, mendengarkan berbagai saran, serta menjadikan saran tersebut sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan. Taliban justru membalikkan fakta sejarah demikian misi jahatnya.
Tidak hanya itu, kehadiran perempuan dalam ranah pemerintahan justru tidak pernah dipertentangkan oleh ajaran Islam. Dalam kesejarahan Islam, sudah 1.232 perempuan yang menerima periwayatan hadis.
Kehadiran Ibunda Khadijah, Ibunda Aisyah tidak serta merta menjadi istri Rasulullah. Lebih dari itu, perempuan-perempuan hebat di samping Rasulullah yang menjadi istrinya adalah perempuan yang memiliki karir sosial luar biasa. Mereka memiliki kebermanfaatan yang cukup tinggi kepada masyarakat, baik dalam ranah pengetahuan hingga aspek-aspek lainnya.
Dalam sebuah video yang beredar di media sosial beberapa belakangan ini, menampilkan sebuah gerakan yang dilakukan para perempuan Afghanistan dalam menentang Taliban.
Gerakan tersebut mendapatkan respon yang cukup keras dari kelompok Taliban. Bahkan, mereka menggunakan kekerasan ketika memperlakukan para perempuan.
Apakah demikian wajah Islam yang seharusnya ditampilkan? Islam tidak ramah terhadap perempuan? Bukankah kebijakan Taliban saat ini justru merupakan bentuk gugatan pada peran perempuan masa Rasulullah yang sudah berdikari seperti Ibunda Khadijah ra dan Ibunda Aisyah ra? Wallahu a’lam.
Editor: Yahya FR