Pada tanggal 12 September 2021 lalu, Persatuan Islam (Persis) genap berusia 98 tahun berdasarkan perhitungan kalender masehi jika dihitung dari hari kelahirannya, 12 September 1923. Artinya, dua tahun lagi usia Persis akan genap satu abad dan akan memasuki abad kedua pada tahun 2024.
Kelahiran Persis, sebagaimana dicatat oleh Dadan Wildan Anas, merupakan transformasi gerakan dari suatu kelompok tadarusan (pengajian) agama Islam di Kota Bandung yang dipimpin oleh H. Zamzam dan H. Muhammad Yunus. Diantara nama tokoh besar yang penting disebut dan pernah menjadi pemimpin Persis adalah A. Hassan, yang merupakan guru agama Soekarno; M. Natsir, dan Isa Anshary.
Pendirian Persis di Indonesia pada tahun 1923 tidak lahir dari ruang kosong. Mukti Ali dengan sangat jelas menilai lahirnya organisasi seperti Persis, Muhammadiyah, dan organisasi sejenisnya, pada abad ke-20 sebagai indikator dimulainya masyarakat Islam modern di Indonesia.
Absennya Isu Lingkungan Hidup dalam Kajian Persis
Sebagaimana Muhammadiyah dan organisasi keagamaan yang didirikan pada masa sebelum kemerdekaan Republik Indonesia, Persis merupakan organisasi massa Islam yang memiliki pandangan keagamaan bercorak modernis. Bedanya, Persis lebih menitikanberatkan pada eksplorasi pemahaman dan praktik keislaman, sementara Muhammadiyah lebih menekankan pengembangan ajaran Islam melalui lembaga pendidikan dan aktivitas kesejahteraan sosial. (Federspiel, 2021)
Sebagai organisasi berhaluan modernis, Persis tentu sangat intens terlibat untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat muslim di Indonesia sejak masa pendiriannya. Hal ini terlihat dari berbagai upaya dan aktivitas organisasi yang telah dilakukannya sejak lama. Dalam perkembangannya, Persis konsisten memproduksi pengetahuan, fatwa, serta kajian keagamaan dalam rangka menjawab berbagai persoalan masyarakat muslim Indonesia.
Namun, sampai saat ini Persis belum memproduksi karya tulis atau kajian keagamaan yang membahas isu lingkungan hidup yang ditinjau dari pandangan Islam. Hal ini berbeda dengan dengan Muhammadiyah yang telah memproduksi sejumlah buku mengenai isu ini, diantaranya Teologi Lingkungan, Akhlak Lingkungan, dan Fikih Air.
Memang, sebelumnya telah ada sejumlah buku yang membahas mengenai isu lingkungan hidup di kalangan Persis, diantaranya tiga buku yang ditulis oleh Prof. Dr. Maman Abdurrahman MA, Ketua Umum PP Persis periode 2010-2015, yang berjudul Memelihara Lingkungan dalam Ajaran Islam, Eko-Terorisme: Membangun Paradigma Fikih Lingkungan dan buku berbahasa Sunda dengan judul Nutur Galur Laku Rosul: Ngaheunyeuk Leuweung, Ngolah Lahan (Mengikuti Jejak Langkah Rosul: Memelihara Hutan, Mengolah Lahan). Buku lain yang penting disebut adalah Fikih Maritim yang ditulis oleh Lamlam Pahala, Anggota Dewan Tafkir PP Persis. Sebagaimana ketiga buku sebelumnya, buku ini merupakan karya individual.
Dengan demikian, menjelang usia seratus tahun, Persis sebagai gerakan Islam modernis belum memiliki concern terhadap isu lingkungan hidup dan menjadikan dakwah ekologis sebagai gerakan utamanya. Padahal, gagasan modernisme Islam meniscayakan kesadaran terhadap kondisi kekinian, sebagaimana digambarkan oleh kata “modern” yang berarti “baru”, “sekarang” dan “saat ini”. Atas dasar pengertian itu, kita bisa menyebut Persis tetap modernis sejauh persoalan-persoalan kekinian, salah satunya yang paling penting adalah persoalan lingkungan hidup, menjadi kesadarannya.
Empat langkah Menghijaukan Gerakan Persatuan Islam melalui Dakwah Ekologis
Dakwah bermakna mengajak orang kepada kebaikan. Dakwah berasal dari bahasa Arab da’wah yang berasal dari kata da’ā. Kata da’ā memiliki arti “memalingkan sesuatu kepada diri kita melalui suara atau pembicaraan” atau “menuntut kehadiran sesuatu atau mengharapkan kebaikan”.
Dalam perkembangan sejarah, makna dakwah mengalami perluasan, tidak hanya menyampikan pesan melalui “suara atau pembicaraan”, tetapi juga menggunakan media-media lain seperti tulisan dan gambar atau ilsutrasi yang bertujuan mengajak orang kepada kebaikan. (Shihab, dkk, 2007)
Adapun dakwah ekologis yang dimaksud dalam tulisan ini adalah suatu upaya yang dilakukan secara sistematis dan konsisten guna mengajak masyarakat luas untuk memiliki kesadaran terhadap keadilan dan keberlanjutan planet bumi, kritis terhadap berbagai hal yang merusak keselamatan lingkungan, serta berani memperjuangkan keseimbangan dan kelestarian kehidupan di planet ini.
Dalam konteks inilah, Persis penting untuk segera mendorong dakwah ekologis sebagai sebuah gerakan utama pada seratus tahun kedua dalam rangka memperkuat dan memperluas sampai pada tingkat akar rumput.Penulis merekomendasikan lima langkah berikut:
Pertama, Persis perlu melakukan pengarusutamaan Islamic environmentalism sebagai bagian penitng dalam dakwah. Islamic environmentalism adalah pandangan dan gerakan ummat Islam yang terorganisir, kuat, dan berkelanjutan untuk menegakan keadilan ekologis serta melindungi keberlanjutan planet bumi dari berbagai ancaman kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas manusia, dengan berpijak pada pesan-pesan Islam sebagaimana yang terekam dalam al-Qur’an maupun hadits serta karya para ulama.
Pada titik ini, Persis dituntut terus melakukan produksi pengetahuan yang memadukan pendekatan ilmu-ilmu agama semacam teologi, fiqh, filsafat, tasawuf, dan tafsir ilmi, yang diperkaya dengan perdekatan ilmu-ilmu sosial, seperti sosiologi, cultural studies dan antropologi, serta telaah terhadap berbagai kebijakan publik di Indonesia.
Dengan langkah pertama ini, diharapkan akan banyak memproduksi berbagi ijtihad baru yang interdisipliner serta relevan dengan tantangan umat yang bersifat kekinian.
***
Kedua, pada tataran institusional, sangat mendesak bagi Persis untuk segera membentuk satu divisi khusus yang memiliki fokus untuk mengkaji isu-isu lingkungan hidup, krsisis iklim, dan sejumlah isu terkait, yang dapat dijadikan bahan untuk melakukan edukasi dan advokasi kebijakan di tingkat nasional.
Jika di Muhammadiyah telah dibentuk Majelis Lingkugan Hidup Muhammadiyah pada tahun 2003, dan NU telah membentuk Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim (LPBI) pada tahun 2010, maka Persis dapat segera mengisiasi lembaga serupa untuk memperkuat dakwah dalam isu lingkungan hidup.
Ketiga, Persis harus mendorong aktivitas penelitian mengenai isu-isu lingkungan hidup di berbagai perguruan tinggi yang kini telah dibentuk. Hal ini akan memiliki nilai strategis mengingat Persis telah mendirikan Universitas Persatuan Islam yang memiliki program studi ilmu lingkungan. Aktivitas penelitian mengenai isu-isu lingkungan hidup dapat dilembagakan ke dalam pusat studi.
Keempat, Persis juga harus segera melakukan pengarusutamaan isu lingkungan hidup ke dalam kurikulum di banyak pesantren Persis di Indonesia dan berbagai lembaga pendidikan yang dimilikinya. Hingga saat ini, Persis tercatat memiliki 333 Pesantren di seluruh Indonesia, dimana lebih dari 70 persen berada di Provinsi Jawa Barat.
Jika belum bisa dilakukan di banyak pesantren, maka Persis dapat melakukan assessment dan memilih pesantren mana saja yang siap secara sumber daya untuk mengarusutamakanisu lingkungan ke dalam kurikulumnya. Harapannya, pembangunan kesadaran mengenai isu ini dapat dimulai sejak dini.
Menghijaukan Gerakan Persatuan Islam pada abad kedua adalah sebuah kemestian, mengingat krisis ekologis terus terjadi tanpa menujukkan tanda-tanda akan berakhir.
Editor: Yahya FR